Thursday, September 13, 2007

Menguak Potensi Bisnis pada Bangunan Kuno

Berbisnis sekaligus Melestarikan Nilai Sejarah, dan Budaya: Anda Mau Coba?

Siapa yang tak takjub melihat nilai sejarah dan keunikan bangunan kuno yang masih terjaga? Tengok saja daerah Kotagede, Baciro, Kotabaru ataupun Sagan (kawasan kota kuno Yogyakarta). Beberapa diantara bangunan kuo tersebut masih terawat dan terlihat baik, bahkan ada yang diadaptasikan dengan menambah unsur modern. Bangunan kuno mencerminkan perjalanan identitas sebuah kota. Kotagede misalnya, pernah menjadi pusat pemerintahan Kerajaan Mataram pada tahun 1577 oleh Ki Ageng Pamanahan. Ia menjadi saksi bisu atas berbagai peristiwa yang terjadi dalam sejarah Daerah Istimewa Dogyakarta (DIY). Menghancurkan bangunan kuno berarti turut pula menghancurkan sejarah dan identitas sebuah kota.
Meski terkesan ketinggalan zaman, bangunan kuno ternyata memiliki beberapa potensi bisnis. Ini dibuktikan oleh beberapa pemilik usaha di Yogyakarta yang menggunakan bangunan kuno sebagai tempat menjalankan usahanya. Beberapa bangunan merupakan bisnis keluarga. Buah dari keberanian menanggung resiko, keuletan dan siasat kreatif, usaha mereka makin menguntungkan. Selain mendatangkan keuntungan, memfungsikan bangunan kuno sebagai tempat usaha juga dapat melestarikan warisan budaya.
Menurut Titi Handayani, Direktur Eksekutif Jogja Heritage Society (JHS), dalam istilah konservasi, alih fungsi bangunan diistilahkan dengan adaptivius, yakni penyesuaian fungsi bangunan untuk masa kini. Salah satunya, tempat usaha. Konservasi bukan berarti mengawetkan, namun perlu juga perkembangan. Salah satu alasan mengapa si pemilik rumah ingin merubah fungsi rumah, yakni pemilik merasa bahwa bangunan tidak berguna lagi jika difungsikan seperti fungsi lama.
Wujud alih fungsi bangunan kuno menjadi tempat usaha dapat kita lihat salah satunya di kerajinan dan toko perak Ansor’s Silver, Kotagede. Kotagede merupakan kota yang terkenal dengan kerajinan peraknya di Yogyakarta. Memasuki showroom Ansor’s Silver bagai kembali pada suasana Jawa zaman dahulu. Arsitektur bangunannya merupakan perpaduan antara bangunan Belanda berdinding tebal dan pendopo Jawa dengan ornamen wayang. Iringan gamelan makin menambah kental suasana tradisional. Menurut Udjang Simbara, direktur Ansor’s Silver, Bapak Ansor Kartoutomo, pemiliknya, tertarik dengan keunikan arsitektur bangunannya. Lalu bangunan itu dibeli dan dijadikan showroom kerajinan perak pada tahun 1994. Tempat ini kemudian menjadi daya tarik tersendiri bagi wisatawan domestik maupun mancanegara. Usaha perak dipilih karena sang pemilik ingin memperkuat citra daerah perak Kotagede. Jika dilihat dari segi arsitektur, bangunan ini tergolong bangunan yang dibangun pada tahun 1800-an. Sang pemilik berniat melestarikan bangunan tua itu. Pelestarian ini dibuktikannya tanpa mengubah bentuk dan konstruksi bangunan, ia hanya menambahkan beberapa ornamen semipermanen, melakukan pengecatan berkala dan menambahkan cor agar bangunan bertambah kokoh.
Pun demikian dengan Irsyam Sigit Wibowo, pemilik resto Omah Dhuwur, Kotagede. Menurutnya, suasana bangunan kuno berpotensi sekali untuk dijadikan tempat bisnis. “Saya beli tempat ini sekitar tahun 2000 atau 2001. Konstruksi tidak banyak yang diubah, soalnya mengurangi nilai. Disini yang diunggulkan memang suasananya. Bagi pemilik bangunan kuno, mbok ya kalau bisa dikembangkan saja untuk usaha jika sudah tak berniat meninggali, sayang kalau dibiarkan tak terawat” ujar pegiat komunitas motor besar ini. Mengembangkan bangunan kuno menjadi tempat usaha juga memerlukan siasat kreatif, diantaranya mengenai tata letak ruangan. “Bangunan ini dulunya rumah, untuk mengalihfungsikannya menjadi resto ya butuh siasat” tukasnya. Suasana asri dan pemandangan kolam yang dapat dinikmati dari atas resto menambah kesan santai. Lebih lanjut, pak Irsyam, begitu kemudian pemilik bisnis keluarga ini disapa, menyayangkan tingginya pajak bumi dan bangunan (PBB) yang diterapkan pemerintah DIY. “Biaya perawatan bangunan ini mahal, kalau bisa PBB nya mendapat diskon. Lagipula yang saya lakukan ini juga termasuk merawat warisan budaya.” Ujarnya.
Menanggapi mahalnya PBB bagi pemilik bangunan kuno, Titi Handayani, menyatakan, hal ini sedang diperjuangkan oleh JHS. Namun, belum ada respon dari pemerintah DIY. “Kalau ingin ada yang melestarikan bangunan, ya pemerintah harus memberi insentif, setidaknya pemotongan pajak yang signifikan. Di negara lain malah ada yang digratiskan dari PBB. Di Indonesia, khususnya DIY memang ada peraturan mengenai pemotongan 25% bagi pemilik, itu menurut saya masih telalu sedikit, yang saya sayangkan lagi, banyak masyarakat yang belum tahu prosedur mendapatkannya, pemerintah juga belum punya data mengenai bangunan mana yang layak disubsidi” ujarnya. Hal yang sama juga diungkapkan oleh Dr. Ir. Arya Ronald, dosen jurusan teknik Arsitektur Universitas Gadjah Mada (UGM), “Saya setuju kalau disubsidi, PBB bisa dihitung dari luas lahan, jenis rumah dan bangunan di kelas mana, kemudian dimasukan kedalam sebuah rumus. Ketika ada warga negara yang melestarikan bangunan kuno maka harus ada keringanan. Di Belanda, negeri yang lebih menghormati warisan budaya, memberi subsidi untuk perawatan.” Tambah akademisi yang akan menelurkan buku berjudul Gemulai Arsitektur Jawa ini.
Pambudi Narotama, pemilik dan pengelola Indraloka Homestay di kawasan Sagan, memiliki pandangan lain tentang PBB yang dipungut pada pengelola bangunan kuno. “Keluarga saya merawat dan memang tak berniat mengubah kekhasan konstruksi bangunan. Diubah paling hanya 20 %, itu pun tidak permanen. Tempat yang dibangun pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1930 ini pernah disurvei oleh Dinas Purbakala. Bangunan ini mendapat subsidi sebesar 40 hingga 60 % untuk perawatan. Setahu saya yang mendapat subsidi hanya bangunan ini dan Sekolah Menegah Pertama Negeri 1 (SMP N 1) Yogyakarta.” Ujar desainer interior ini.
Ada sejumlah tips dalam mengembangkan alih fungsi bangunan kuno menjadi tempat usaha. Tips ini antara lain dikemukakan Titi Handayani, menurutnya, untuk memperkuat tembok bisa dengan memlesternya. Ia juga memberi peringatan agar jangan mengganti jenis ataupun bentuk kayu. “Kayu bangunan kuno, biasanya Berkualitas kebih baik, kalau di cat nanti teksturnya bisa hilang. Selain itu ciri khas bangunan. Contohnya, Baudanyang di Kotagede jangan dihilangkan” ujar dosen yang mengajar di Akademi Teknik Yayasan Keluarga Pahlawan Negara (AT YKPN) ini. Tampaknya, anjuran pelestarian ini dilakukan pula di Gabah Resto yang terletak di kawasan Sagan. “Kita tidak mengubah konstruksi sama sekali, buktinya, mantan penghuni yang orang Belanda, sudah lama tidak ke sini, namun sekalinya bertandang kemari masih hafal benar tempat ini” ujar Dani Kurniawan, Finance Supervisor Gabah Resto. Peringatan lain juga disampaikan oleh Dr. Ir. Arya Ronald, yakni agar tidak mengubah dan mengurangi jendela dan ventilasi. “Bangunan berongga itu lebih kuat. Lagipula, jendela menunjukan pemiliknya welcome, tidak asosial. Arsitektur tanpa ada nilai humanisnya akan hambar” tambah kakek empat cucu ini. Dari sudut pandang sosial, Titi Handayani mengungkapkan, begitu bangunan menjadi lebih public maka konsekuensinya akan banyak dikunjungi orang luar, pemilik harus memikirkan dampak sosial, misalnya, jika di dekatnya ada masjid dan lingkungan sekitar penduduknya mayoritas santri, jangan mengembangkan diskotek.
Jargon DIY sebagai kota budaya dapat terwakili oleh pelestarian bangunan kuno dan tradisionalnya. Ini akan menjadi daya tarik bagi wisatawan jika masyarakat dan pemerintah mau peduli dan kerjasama dalam pengembangannya. Usaha pribadi dalam sektor ini jelas menguntungkan, karena memiliki nilai tambah yakni nilai seni, sejarah dan budaya. Jadi, mari berbisnis sekaligus melestarikan budaya! [Tiwi]

2 comments:

  1. Anonymous1:28 AM

    kapitalis selalu mereproduksi semua hal demi uang/ kapital

    ReplyDelete
  2. Anonymous6:00 PM

    Tulisan wis dimuat neng Rumah Jogja kok dimuat meneh neng blog (http://www.rumahjogja.com/magz/edisi3/?page=teras). Mendokumentasikan tulisannya sendiri po ? Kayaknya ini tulisanmu di media yang sempat diterbitkan. Jurnal khan belum publish..

    Kelik

    ReplyDelete