Tuesday, December 23, 2008

Cinta dan Doa yang Absurd

Senin malem, 221208, aku berencana menonton film bersama Ifa n Agus. Sepertinya film yang bagus n lagi diputar di 21 hanya twilight dan tiga cinta tiga doa. Berdasarkan rekomendasi beberapa orang yang sudah menonton twilight, film ini tak sebagus novelnya yang best seller. Biasalah... sindrom filmisasi novel, pasti imajinasi jadi terbatasi dan penonton yang telah membaca novelnya dibuat kecewa. Tapi, kupikir, masih ada lah ya filmisasi novel yang berhasil: Laskar Pelangi. Itu satu-satunya menurutku. Akhirnya, kami bertiga memutuskan menonton tiga cinta tiga doa. Janjianlah kami bertemu di B21.

Senin siang, Ifa meng-sms ku bahwa ada kawannya, Patria, yang ingin ikut nonton bersama kami. Patria, si cowok charming (ni kata ifa lho pat, mau GR juga gapapa hihihi) ini juga menawarkan tebengan mobilnya... hihihi... lumayanlah, pulang malem dikit asal dianter pake mobil. Jam 17. 30 aku tiba di kos ifa, 15 menit kemudian patria juga di kamar yang (sedikit) berantakan ini. Mendingan lah kondisi kamarnya daripada waktu Ifa stress mengerjakan skripsinya hehehe. Tak lama, azan maghrib berkumandang, akupun melaksanakan kewajiban absen kepada Tuhan terlebih dahulu.

Kami pun meluncur jam 18. 00 dari kosan ifa dan menjemput Agus di B21. Jam 18. 41 kami tiba di amplas. Agus memesan tiket, aku dan ifa membeli jagung berondong. Unfortunately, kami dapat tempat duduk nomer tiga dari depan. Ya gapapalah, ifa kan ga bawa kacamata. Mmmm kami menonton film yang diperankan oleh Nicholas Saputra n Dian Sastro ini. Kupikir filmnya bakal bagus, lha wong ada butet nya juga. Ternyata... penonton kecewa hahaha

Jadi ceritanya ada tiga santri yang bersahabat dan memiliki konflik pribadi masing-masing. Si Huda (Nico), rindu ibunya yang lama tak menengoknya di pesantren. Si Syahid, yang pingin nge-bom syahid dan mati sahid, n si Rian (Yoga Pratama) yang terobsesi jadi pembuat film.

Suatu ketika Huda bertemu Dona (Dian Sastro) di sebuah kuburan. Konon, setiap hari Dona melakukan ziarah kubur ibunya. Akhirnya mereka berkenalan, dari perkenalan tersebut Huda tau kalau Dona pernah tinggal di Jakarta. Maka, Huda pun meminta tolong Dona untuk mencarikan alamat ibu Huda di Jakarta dan memastikan keadaannya. Dona menyanggupi asal Huda membayarnya. Akhirnya interaksi terjalin antara santri dan penyanyi dangdut ini.

Dalam film ini Dian Sastro berperan sebagai penyanyi dangdut yang seksi nan bahenol. Kontras sekali dengan kehidupan Huda yang religius. Film yang bersetting dari tahun 2001 hingga 2005 ini mungkin bisa mengeksplor suasana pada waktu tersebut, dari jenis uang yang diterbitkan pada tahun tersebut, logo breaking news SCTV pada tahun tersebut, namun sayangnya dialong anatara Huda dan Dona berlangsung sangat datar dan tidak mengalir, logat Jawa si Dona terkesan dipaksakan, apalagi ketidaklihaian si Nico menghayati kehidupan pesantren tradisional makin mengganggu kekhusukan menonton. Konflik antara Huda yang tak pernah dikunjungi ibunya diputus begitu saja dengan kenyataan bahwa ternyata sang ibu yang kerja di sebuah pub telah meninggal. Si Huda ini ceritanya jadi santri kesayangan Romo Kyai, petinggi di pesantren tersebut. Biasalah seperti fenomena pesantren tradisional lainnya, ada santri kesayangan yang dijodohkan dengan anak dedengkot pesantren tersebut sebagai 'balas jasa'.

Konflik aneh yang disajikan dalam film ini tak hanya dialami Huda tapi juga Rian. Awalnya, Rian mengajukan syarat pada ayahnya; ia mau belajar di pesantren asal dibelikan handycam. Namun, ia mulai lupa permintaannya tersebut tatkala ayahnya meninggal. Ketika ia hampir lulus dari pesantren, sang ibu mengiriminya handycam. Handycam inilah yang akhirnya menjerumuskan ia, Huda, Syahid dan Romo Kyai ke dalam penjara karena si Syahid yanbg keranjingan mati syahid mengikutu kajian islam garis keras di luar pesantren, pelatihan perangnya dan merekam dirinya sebelum ia mati syahid. Tak hanya itu, handycam itu juga telah merekam dian sastro yang lagi casting jadi artis oleh si Huda. Rekaman yang lain juga digunakan Rian untuk merekam film2 di pasar malam dan perkenalannya dengan butet. Handycam itu lalu diambil oleh ustadz nya, ya karena pesantren tradisional peraturannya memang begitu. Entah bagaimana handycam ini bisa sampai ke tangan polisi pada saat seru-serunya pengeboman WTC. Akhirnya ditangkaplah mereka bertiga dan dituduh penganut islam garis keras. Well, di luar carut marut yang disebabkan handycam tersebut, ternyata latar belakang mengapa Rian diberikan handycam baru yakni karena ibu Rian ingin menikah lagi. Rian yang emosi tak bisa digambarkan dengan menghayati oleh sang pemeran pun dengan kelanjutan konflik rian dengan ibunya. Lagi-lagi seakan diputus begitu saja.

Si Syahid juga mengalami konflik serupa, di satu sisi ayahnya sakit ginjal dan harus dioperasi kalau tidak harus cuci darah, di sisi lain ia ingin cepat mati syahid. Suatu ketika sawahnya dibeli oleh ekspat Amerika yang amat dibencinya untuk kesembuhan ayahnya. Namun, tanahnya hanya laku sepuluh juta. Ia mencak-mencak pada bule tersebut, tapi sayang sang bule hanya menganggapnya sebagai luapan rasa terimakasih karena tak mengerti bahasa indonesia. Saat penandatanganan surat kuasa, bule itu akhirnya mengerti bahwa syahid butuh dana banyak untuk pengobatan ayahnya. Akhirnya si bule yang menanggung semuanya tanpa diketahui siapapun. Dan syahid mengurungkan niatnya untuk mati syahid.

Film ini diawali dengan mimpi masing2 tiga santri tersebut serta doa yang mereka tulis di dinding pojok pesantren. Selain konflik tiga santri tersebut film ini juga dibumbui kehidupan pesantren, yaaa biasalah tentang kencan diam2 antara santriwan dan santriwati, fenomena sodomi di pesantren sampai poligami di kalangan ustadz yang tak kunjung mendapatkan anak lelaki untuk meneruskan tradisinya.

Menurutku, film ini ga jelas klimaks dan antiklimaksnya. Akhirnya si Dona masih menyanyi, Huda menikah dengan anaknya Romo Kyai, Syahid dibebaskan dari penjara dan Rian memang sudah menjalankan usaha video shoting pernikahan seperti impiannya dulu. Sepertinya ada dialog yang terpotong saat si ustadz garis keras ngomong "Orang kafir itu halal......" ga dilanjutkan "darahnya" yaa mungkin ini untuk kepentingan sponsornya yang dari perancis juga sih. Selain itu, mungkin film ini juga bertendensi untuk meluruskan ayat-ayat tentang bagaimana umat islam bergaul dengan keberbedaan yang seringnya ditafsirkan secara liar sehingga melegitimasi kekerasan dan peperangan. Lalu apa lagi ya.... mmmm akhirnya aku berkesimpulan semuanya dataarrrr dan ya! Absurd...

Tuesday, December 16, 2008

Tindakan SAR Saat Lapar: Coto Makasar



Jumat siang, 12 Des 2008 aku diminta menemani Frida buat nyariin titipan dosen yang jadi atasannya ke sebuah pertokoan bilangan Malioboro. Ceritanya, Frida dititipin sesuatu yang awalnya kami pikir akan mudah didapat tapi ternyata sangat sulit. Setelah menelusuri beberapa dari timur Jogja, barat Jogja akhirnya ke selatan dikit… hhhmmmpf ketemu deh. Gitu ya rasanya jadi asisten dosen, sampe hal-hal terkecil sang dosen yang ga ada hubungannya dengan urusan akademik, sang asisten ikut mengurusi.. ck.. ck..

Setelah tiga jam menelusuri pertokoan tersebut, sang lapar mulai menyerang. Pertanyaannya kemudian, mau makan dimana? Yah, yang namanya orang laper pasti ketemu makanan yang enak dikit aja langsung deh diserbu kayak orang ga makan seminggu. Sempat kepikiran beberapa referensi kuliner yang kayaknya enak dicoba siang itu, Mie Bangka, Pecel, Gudeg, mmm..

“Kalo kesana suka lama tuh mba, udah laper banget kan.. yang deket dan lumayan mak nyus dari sini kayaknya coto makasar deh, mau kesana ga?” tawar si Frida

“Ya udah deh, tapi ini kayaknya emang kamu yang lagi pengen deh,” sahutku sambil berpikir ada tho coto makasar di Jogja? Ya iyalah, kota pendidikan githu, setiap tahun orang-orang dari berbagai daerah di Indonesia bahkan yang dari luar negeri buat pertukaran pelajar datang kesini. Bisa dipastiin kulinernya lebih beragam dengan biaya makan yang lebih murah pula dibanding Jakarta, Surabaya, atau kota besar lainnya. Mulai deh otak mulai ngigau ga jelas, nanya sendiri, dijawab sendiri.

“Beneran, tapi kalo mau yang lain ya ga papa,” kata Frida lagi

“Yo wes, kesana aja, lha wong aku belum pernah nyoba, semoga ga mengecewakan,” balesku.

Kami pun meluncur kesana. Sampailah kami ke Coto Makasar di Jl. Abu Bakar Ali No. 5, Kotabaru, Yogyakarta, depannya persis asrama mahasiswa Sulawesi Selatan, bisa sambil ngeceng kan? Heheheh. Ancer-ancer nya nih ye; Stadion kridosono ke barat arah Abu Bakar Ali, itu lho… juga yang kearah perpus st. Ignatius n banyak orang jualan helm. Nah kalo udah liat persimpangan STEI, ada gang agak kecil gitu ke kiri, lurus aja 50 meter langsung deh ketemu, atau tanya orang-orang disekitar situ udah pada hafal tempatnya.

Tak lama kemudian kami pesan Coto Makasar n Es Jeruk. Mmmm tunggu dulu, ternyata ga Cuma coto makasar, ada es palu butung n es pisang ijo, Makasar banget kan? Satu porsi coto makasar dibanderol enam ribu rupiah, itu belum ada nasinya, eh ga pake nasi ding… Pakenya ketupat yang satuannya dihargai limaratus perak. Kamu bisa request coto yang daging aja atau pake jeroan. Tapi kayaknya lebih sehat yang daging aja deh.

Pesenan langsung datang tiga menit kemudian dan bau rempah-rempahnya kecium banget. Begitu dicicipi….. Hmmm cakep banget rasanya… walaupun aku ga ngerti resepnya nih ye, tapi boleh lah ya sok tau hehehe, dari perspektif sang tester nih: ada bubuk kedele yang gurih banget, mrica yang agak banyak, kerasa dikit sih pedes panasnya, bawang putih, santen, n rempah-rempah lainnya yang aku ga tau namanya. Mmmm cirri khas masakan Indonesia timur banget deh. Beda sama masakan Jawa yang manis, palagi masakan Aceh atau Padang yang lebih asin, meskipun sama-sama pake banyak rempah-rempah, tapi kayaknya yang coto makasar ini porsi rempahnya lebih sedikit dan lebih berasa gurihnya.

Jadi kepikiran, ternyata lidah tiap daerah juga beda-beda ya, (Gilaaaa.. ya masak gidong, Farid aja Fatahilah masak Fatahidong, hehe piss Rid, mencoba jayus, hehehe) Suatu ketika aku nyoba masakan Italy, eropa banget cirri khasnya; ga pedes, banyak susunya, bumbu rempah sama sekali ga ada, kalo ada merica pun dikiiiit banget, asin dan gurihnya tu berasal dari keju. Kalo masak daging ya.. dagingnya dibikin agak manis, bumbu yang sering menonjol palingan pake bawang putih dan minyak zaitun.

Ke timur dikit di China, dominasi tumis-tumisan, mulai kerasa cabe dan bawangnya. Jepang juga gitu, rempah-rempahnya ga terlalu nendang tapi masih cocok di lidah Asiaku lah ya. Ke timur lagi ada India, Arab dan segenap negara yang nama belakangnya pake –tan, yang ini nih rempah-rempahnya mulai kerasa banget,unsur kambing juga mulai banyak, pedesnya bener-bener dari merica, nendang sekaligus panaassssss. Manifestnya sih yang paling biasa disana: Nasi Kebuli, cuakep banget rasanya…

Anganku pun melayang jauh ke seluruh kuliner di dunia… mmm sampe ga kerasa semangkuk coto makasar, tiga ketupat, satu tahu n sate telur ludes (rakus banget nih).

“Piye mbak? Ga kecewa kan?” Tanya Frida
“Ya enggak lah, enak banget sumpah, jadi satu referen nih, hehe,” Sahutku

Tak lama kemudian kami pun meluncur ke kos kami di daerah Jl. Kaliurang km 5. Cotoooo Makasar.. kau tak terlupakan.. apalagi oleh Nura yang terobsesi sama orang Makasar… hehe piss Nur!


Monday, December 15, 2008

Keledai pun Tak Mau Terjebak Lagi di Lubang yang Sama

Bulan depan mubes. Musyawarah Besar di Balairung; Persma yang saat ini butuh narsis menurutku. Sebentar lagi aku akan hengkang dari sana juga rumah kecil itu. Tujuanku menulis ini hanyalah melukis sejengkal kisah di Balairung. Awalnya, aku menyepakati apa yang pernah diobrolkan bersama Abdi perihal ujaran Hegel tentang sejarah yang mencatat bahwa sepanjang sejarahnya, manusia tak pernah belajar apapun. Mubes oh mubes, kadang aku berpikir, tak pernah belajar apapun. Perubahan? It’s bull! 21 tahun kok molor terus, mutungan terus. Terkadang sulit memang mengungkapkan apa yang dirasakan pada orang lain, lebih baik dipendam, dan sayangnya ini akan berbahaya. Apalagi memisahkan hubungan profesional dan emosional, saya paling kesal mengadaptasi dengan teman-teman yang punya masalah seperti ini. Memutus ritus perlu greget dari kesadaran masing-masing awak. Semuanya tentu. Ketika mimpi sebuah lembaga tak dibarengi dengan perjuangan kolektif, betapa menyakitkan. Tapi izinkan aku melukis kisah ini. Kisah tentang warna kerja di persma terbesar di dunia berbahasa Indonesia.

“Nafas Intelektual Mahasiswa” Jargon itu begitu lekat dengan Badan Penerbitas Pers Mahasiswa yang aku geluti selama hampir tiga tahun ini. Ujaran seseorang tentang definisi intelektual berikut bisa jadi benar; sosok orang yang dapat mempertahankan hidupnya dan orang lain dalam situasi yang genting sekalipun. Sudahlah, tak ada lagi kata-kata romantis tentang intelektual yang perlu dilebihkan. Itu lebih baik daripada semua bermuara pada dusta. Dusta hanya akan membimbing pada pertahanan yang buruk. Dan awak-awak Balairung kini nyaris tak dapat mempertahankan hidup lembaga karena dusta mewarnai kondisi internal.

Adalah dusta jika seseorang hanya mampu menghasilkan pemikiran dan pernyataan dasyat tanpa adanya bukti nyata. Kakean diskusi, miskin data, bar kuwi molor sisan. Bicara dusta, mari bicara Balairung sebagai sebuah badan penerbitan pers mahasiswa. Tentu saja juga tentang aku, kau dan kita semua. Mengerjakan produk bukanlah hal yang main-main: dusta!, Mengerjakan produk selesai tepat waktu: dusta! Persma sebagai ajang aktualisasi yang dipilih secara sadar dan bertanggung jawab: dusta! Toh, keluh kesah masih terdengar kala awak mengerjakan produk. Tapi, di luar itu saya apresiasi bagi teman-teman di angkatan pertama dan kedua yang menikmati rumah ini.

Padahal, layaknya gerakan pers, persma hanya dapat hidup dengan produk penerbitan. Banyak faktor yang mempengaruhi eksisnya lembaga pers. Eksistensi lembaga pers salah satunya berkorelasi positif dengan kuantitas dan kualitas produk. Jika dalam penerbitan produknya saja diwarnai dusta, saya yakin eksistensi persma terancam. Celakanya, jika persma tak bergegas refleksi diri, ia akan segera musnah. Persis seperti ramalan Karl Marx terhadap kapitalisme. Juga ramalan tetangga kepada tetingginya.

Beruntung, Balairung masih dapat menerbitkan dua produknya-jurnal dan balkon- meski tertatih. Dua produk tersebut juga menjadi jalan pijakan Balairung sebagai pers mahasiswa: berwacana dan berkomunitas. Pijakan itu yang akhirnya melahirkan sinergi kerja empat divisi. Social trust dalam sinergi kerja membutuhkan satu prasyarat yakni adanya norma yang disepakati.
Sayangnya, social trust yang digemborkan sejak awal semakin luntur karena dalam pengerjaan produk diwarnai keegoisan masing-masing awak dan divisi. Akhirnya aku sepakat dengan Abdi yang memberi jeda antara perasaan egois dan pembagian kerja. Aku tahu sejak awal tugas kita masing-masing telah dibagi, tapi bukankah dalam menjalankannya kita harus tetap berkoordinasi? Artinya ada kerjasama disana, pembagian kerja tentu tak dimuarakan pada keegoisan. Sangat egois ketika tak saling menghargai kesepakatan, tak saling mengingatkan dan tentu saja mementingkan kepentingan sendiri.

Ceritanya berawal ketika Dewan Pemimpi(n) dari Redaksi, Produksi dan Artistik, Riset dan perusahaan berkumpul untuk membicarakan matriks jurnal. Akhirnya disepakati jurnal akan terbit oktober dengan asumsi akhir juni selesai edit bahasa, sehingga biSA berangkat KKN dengan tenang. Namun salah satu divisi molor, sekiranya kurang satu tulisan yang masuk dari divisi tersebut, sedangkan divisi yang lain telah berusahan dan berhadil memenuhi kesepakatan awal. Maka, mutung2 an tak terhindarkan lagi. Terjadilah proses yang tidak dewasa itu. Padahal riset diburu oleh korporasi yang mendanai penelitiannya, akibatnya hasil riset yang sudah jadi itu belum bisa terbit juga, Selak basi validitas datane, dab! dan korporasi tersebut membatalkan kontraknya apalagi setelah riset mengajukan MoU yang baru. Perusahaan juga diburu pengiklan dan jurnal telat, apa yang terjadi, entahlah. Forum asertif yang direncanakan tak pernah terlaksana karena ketidakhadiran beberapa DP. Konflik ini hanya sebagian kecil dari banyak konflik yang terjadi.

Baiklah… ketika keegoisan sudah menjadi budaya disini, aku mencoba untuk tak memakai perasaan. Inilah yang membuat keraguanku hilang kala aku harus sendirian di angkatan tiga divisi riset. Aku harus egois, ikut ritme, tak peduli pada awak-awak yang tak lagi membersamai, toh aku masih punya bala kurawa yang siap berlari meski terengah.

Namun, obrolan dengan ifa yang masih bingung soal pembagian kerja dan identitas kebalairungan mengejutkanku.

“Sebenarnya balairung akan mendidik awaknya jadi yang semacam apa sih? Keren ya.. balairung masih bisa jalan tanpa alur koordinasi yang jelas dari struktur, maksudku pada prakteknya, konsep sebenarnya sudah jelas di AD ART. Permasalahannya adalah kita tak dibiasakan dengan forum asertif. Dimana semua orang bisa dan berani menyatakan apa yang dirasakannya dan kemudian ada diskusi dan hal jawab. Semuanya terlalu terbawa perasaan dan akhirnya berujung mutungan, kerja jadi kacau” Tutur Ifa.

“Aduh, kayaknya mengungkap apa yang dirasakan di forum besar susah juga, mungkin secara pribadi. Kalau orangnya cuek sih ga papa tapi kalau sensitif jadinya ya... aku ragu..” Aku menanggapi.

“Iya kayak gitu, kemarin aja aku melihat proses yang tidak sehat itu. Ada editor yang dikritik editor lain, tapi editor yang dikritik malah jadi mutung dan ga mau ngedit, yo wis editen kono, gitu...” Sahut Nura

“Nah, aku jadi inget raker kedua, kok bisa muncul komunitas tanpa otak? Mbok ya jangan ada dikotomi antara anak2 yang ‘serius’ dan tidak. Kalau bisa anak-anak yang lain mengejar teman-temannya dan anak-anak yang dianggap serius itu harusnya lebih terbuka,” Putra menimpali.

Sebelum pembicaraan ini aku SMS an dengan Ifa

“Kok jadi kayak gini to; talk with putra hopeless, talk with oky he feels guilty n tak ada hal lain selain memberinya maaf dan kepercayaan lagi (bagiku ini menyebalkan), talk with abdi feels like hells n make me want to suicide, come on... ini persma terbesar di Indonesia. Koordinasi yang seperti ini? Kalian terlibat konflik, It’s shock me out!”
Sender: Noor Alifa

“Wis to fa ga usah pake perasaan, cuek aja lah. Kalau dipikir pakai perasaan, lebih baik nafikanlah sama sekali,” Jawabku

“Itulah menurutku yang menggerakan balairung, utamanya perasaan bersalah”
Sender: Noor Alifa

Baiklah… baiklah… Maafkan saya… Lantas, apa kondisi demikian yang akan terus-terusan mewarnai internal persma terbesar di dunia berbahasa Indonesia ini? Tanyakan pada rumput yang bergoyang hahaha...

Oh ya, teringat pada apa yang pernah disampaikan dosen pembimbingku, bahwa posisi kerangka teori dalam sebuah penelitian bukan dipaksakan sama dengan data lapangan. Melainkan, hanya tuntunan untuk dikaji lewat penelitian selanjutnya tidak disepakati atau dikritisi. Ini karena konteks ruang, waktu, budaya dan subjek penelitian tatkala teori itu lahir samasekali berbeda dengan saat ini. Dan akhir-akhir ini aku tidak sepakat dengan apa yang diujarkan Hegel bahwa manusia tak pernah belajar apapun sepanjang sejarahnya. Aku tidak menyepakatinya karena dari obrolan kumpul divisi, menghasilkan rekomendasi-rekomendasi yang siap dilaksanakan dan kini terlaksana meski tak sempurna. Ketidaksempurnaan akan terus menjadi cambuk perubahan. Masih ada keyakinan bahwa manusia merupakan makhluk yang dinamis. Keledai pun tak mau terjebak lagi di lubang yang sama. Semoga konflik yang terjadi dapat menunjukan sisi fungsionalnya.

Brontokusuman, 261108 pkl 10. 33. Ada mbak Norah Jones yang masih nyanyi...
Spinning, laughing, dancing to her favorite song
A little girl with nothing wrong, is all alone

Eyes wide open, always hoping for the sun
And she'll sing her song to anyone that comes along

Crooked little smile on her face tells a tale of grace
Thats all her own

Sulitkah Menjadi Indonesia?


“Ukhti dibayar berapa untuk melakukan pemurtadan? Hati-hati dengan isu inklusifisme yang mereka gulirkan”

“Bhineka Tunggal Ika” Jargon ini begitu lekat ditanamkan dari sejak saya TK sampai sekarang. Saya yakin, semua orang Indonesia paham maknanya; Berbeda tapi tetap satu. Perbedaan di Indonesia merupakan sebuah realitas. Tapi kadang terdapat oposisi biner; di satu sisi jargon ini ditanamkan dalam pelajaran PPKn, harus dihafal –layaknya murid merupakan bejana kosong yang siap diisi, tak dididik untuk memiliki daya kritis dan pemahaman realitas, begitu ujar Paulo Freire—di sisi lain ada sekolah khusus anak orang kaya, sekolah khusus keyakinan ini, sekolah khusus suku ini, suku itu, kelas akselerasi sampai SLB.

Benarkah generasi kita sudah benar-benar dididik “Bhineka tunggal ika” jika sejak dari ‘bonggol’nya saja sudah dikonstruksi untuk mengotak-kotakan sesuatu? Seperti apa yang ditanamkan sejak kecil tentang apa yang hitam dan putih; “oooo anak ini cacat, dia beda, ga bisa apa-apa, harus dikasihani”, padahal sebenarnya ‘cacat’ hanya konstruksi pikiran. Saya yakin setiap anak diciptakan untuk memiliki bakat kognitif maupun non kognitif masing-masing. Itu baru soal perbedaan fisik dan mental, belum lagi masalah krusial seperti ideology hingga kesukuan “oooo anak suku ini begitu suku itu begini”, “pokoknya harus berhati-hati bergaul dengan anak-anak yang seperti itu”, “eh kamu jangan baca buku ini-itu, berbahaya!”, “eh jangan main sama anak itu, nanti kamu jadi begini,” Fenomena ini pun turut membawa kesadaran pada saya betapa sejak kecil tiwi dididik untuk mengotak-kotakan sesuatu, tak memahami realitas, dan dihalangi untuk berpikir kritis. Pasti masih banyak tiwi-tiwi warisan orde baru lainnya. Kenapa logika yang dipikirkan selalu negasi, bukan logika positif atau solutif? Saya yakin, anak-anak Indonesia sudah cukup cerdas untuk berpikir tentang konsekuensi atas lingkungan mana yang mereka pilih dengan sadar untuk bersosialisasi.

Fenomena yang sangat menarik bagi saya adalah ketika saya menjadi panitia sebuah diskusi sekolah mutikultural. Kebetulan yang mengadakan adalah sebuah lembaga non-islam –islam, agama yang saya anut, sebagai rahmat bagi semua, yang menurut saya sebenarnya cukup bisa mendidik bagaimana menghargai perbedaan, seperti diajarkan agama yang lainnya-- dan saya mendapatkan SMS yang demikian;

Si A : Ukhti dibayar berapa untuk melakukan pemurtadan? Hati-hati dengan isu inklusifisme yang mereka gulirkan

Saya : Saya kira, komitmen agama kita sebagai rahmat bagi semesta alam tak pernah terwujud jika masih ada orang-orang yang selalu berpikir negasi seperti anda. Bahkan Rasulullah mengajarkan untuk menghormati orang asing. Jika memang kita berbeda, marilah kita membiarkan itu berjalan , itu toleransi, toh saya tidak mencampuri urusan keyakinan mereka apalagi memaksakan kehendak. Saya, anda, maupun kawan-kawan yang lain yang masih beragama, tak beragama bahkan yang tak percaya Tuhan sekalipun pastilah dari lubuk hati terdalam mengandaikan perdamaian.

Sampai akhirnya pulsa saya yang tinggal sepuluh ribu rupiah habis untuk meladeni SMS nya. Kenapa saya jadi bodoh begini? Merugikan diri sendiri padahal seharusnya saya membiarkannya dengan kecurigaan dan keyakinannya itu.

Jika kita cari centhang perenangnya, pelbagai perbedaan di Indonesia pastilah berhubungan dengan banyak negara yang lain. Nasionalisme, saat ini bukan lagi dimaknai secara sempit, si A memaknai kesadaran kolektif karena kesamaan sebangsa, bisa jadi yang lain tak memaknai demikian. Seperti ABG di Indonesia jaman sekarang yang memiliki nasionalisme R&B, atau kerelaan mereka yang lain untuk mengaransemen musik berjam-jam demi mengakulturasi musik Jazz dan gambang di Bantul beberapa waktu yang lalu. Contoh lain seperti anak pengamen di pertigaan dari Mirota kampus ke selatan yang rela ngamen seminggu untuk makan di Mc D- ini penelitian dosen saya lho-. Atau seperti teroris di Bali beberapa waktu lalu –saya tak berani menyebut mujahid- yang menciptakan kebencian dan ketakutan hingga rela mengorbankan diri mereka untuk mencederai sesamanya yang tak bersalah atas nama ayat Tuhan yang ditafsirkan dengan liar. Seakan ada kebanggaan yang dibayangkan secara kolektif jika seseorang berhasil memperjuangkan sesuatu.

Saya jadi ingat dengan apa yang diungkapkan Benendict Anderson yang memaknai nasionalisme sebagai komunitas yang tak terbayang;

“Akhirnya, bangsa dibayangkan sebagai sebuah komunitas, sebab, tak peduli akan ketidakadilan yang ada dan penghisapan yang mungkin tak terhapuskan dalam setiap bangsa, bangsa itu sendiri selalu dipahami sebagai kesetiakawanan yang masuk mendalam dan melebar mendatar. Pada akhirnya, selama dua abad terakhir, rasa persaudaraan inilah yang memungkinkan begitu banyak orang, jutaan jumlahkan bersedia, jangankan melenyapkan nyawa orang lain, merengut nyawa sendiri pun rela demi pembayangan tentang yang terbatas itu,”

Begitu dasyatnya kekuatan nasionalisme hingga memberikan arti yang beragam tentang keindonesiaan kita. Kita pun masih merangkak untuk memahami keberagaman ini. Jika kita tak berhati-hati, pemahaman anarkis dapat bermuara pada konflik manifest hingga kekerasan. Tentu kita semua tak ingin kejahatan kemanusiaan kembali terulang. Kasus konflik di pelbagai belahan Indonesia hendaklah disikapi dengan pemahaman yang adil dan pemerataan. Namun, konsep yang demikian romantis ini menurut saya hampir-hampir utopis, bukan berarti pula tak bisa diwujudkan. Jadi, menjadi Indonesia, sulitkah?

A B S U R D


Absurd...sebuah keyakinan

Absurd...yakin sebuah pemahaman naif

Absurd...naif dalam kebuntuan dan ketersesatan

Absurd...sesat hanya dialami bujang ingusan pengecut

Absurd...bujang ingusan seperti seekor keledai

Absurd...keledai yang lebih suka rumput daripada berlian

Dalam kecintaanku dengan absurd, awal mei 05

Kemana Masa Depan Kami?


Ketika Sang Cahaya Agung masih menampakan gairahnya

Gairah di hampir ufuk barat

Dalam kebisingan kuda-kuda besi kota

Diantara raksasa yang menantang langit

Lebah-lebah kecil itu masih berterbangan

Berterbangan pada menu makanan kota petang itu

Menatap riuh tak peduli masa depannya

Aku menatap semua itu dalam sebuah bilangan waktu

Waktu itu...saat ini...ya saat ini

Aku tak paham

Atau aku yang terlau bodoh ?

Padahal pemikir-pemikir itu sudah berputus perkara

Berputus perkara mengenai lebah-lebah kecil di jalan kota

Perkara mengenai kemana lebah itu akan dibawa

Juga menjanjikan lebah-lebah itu madu

Sayangnya sang pemikir tak punya cukup madu

Madu untuk menyelamatkan lebah-lebah kecil itu

Apa kau melihatnya ?

Sangat lucu...

Berjanji memberi madu tapi tak punya madu

Atau madu itu sengaja dibuang untuk sesaji ?

Dalam Kepenatan Jakarta, Agustus 2005

Mencari Kerajaan Tuhan


Seakan ling-lung setelah lama tidur

Apa sup yang dibuat ibu kebanyakan pala semalam ?

Aku pikun lagi

Lagi-lagi cahaya itu hanya dapat memutar tubuhku

Memusingkan dari satu tempat ke tempat yang lain

Tidak kutemukan Kerajaan Tuhan yang kucari

Apakah aku harus mati dulu?

Ataukah tidur yang lama

Tidak...tidak...

Sebab aku adalah milik Tuhan penciptaku

Tanpa perintahnya aku tak berhak bebas

Ketika sabda Tuhan terhadapku

Yang satu lahir dari suatu kegelapan

Yang satu hidup dari kematian yang lain

Sekarang bolehkah aku bertanya?

Dimana akhir jentera kelahiran ?

masih awal Mei 2006

Tiga malam yang lalu


Tiga malam yang lalu

Di puncak golgota yang gelap

Dari lolongan hyena yang siap menerkam mangsanya

Perlahan diriku menelusuri arah sebuah cahaya

Cahaya kecil yang siap memandu

Langkah demi langkah kutelusuri cahaya itu

Aku tak tahu kemana ia akan membawaku

Kompasku pun tak dapat menunjukan arah yang benar

Lagi-lagi aku tersesat

Dalam kehampaan Jogja , awal Mei 2

Untuk Pak Guru

Pak Guru...

Muridmu ini masih kaku mengeja

Muridmu ini masih kaku menarikan huruf dengan pena

Muridmu ini masih bingung dimana tanda koma diletakan

Muridmu ini masih bingung antara A besar dan B kecil

Tapi itu tak kan penat ku cari

Di kelasmu aku tak sendiri

Tapi jika kau pergi

Akan muncul bejana-bejana kepedihan di hatiku

Pak Guru...

Dapatkah kau dengungkan aku ?

Tentang sebuah negeri yang literat ?

Bolehkah aku meminta info tentangnya ?

Karena aku dan kau, guru dan murid

Kita bergumam bersama

Tentang esensi sebuah karya

Sebuah karya dalam negeri literat

Jogja, Januari 2006


006

Kota Biru untuk Guruku


o/ tiwi

Suasana pagi ini berjalan seperti biasanya. Meski pagi berjalan seperti biasanya, tidak demikian dengan suasana hati Pak seto. Jam dinding di ruang tamunya baru menunjukkan pukul enam kurang seperempat. Pagi itu matahari telah bersinar dengan berani seperti menantang kegelisahannya, kegelisahan seorang guru yang dibatasi haknya. Pandangannya menerawang sambil sesekali meneguk kopi buatan istrinya. Asap rokok yang dihembuskannya menari mengikuti orkes pagi kala itu; teriakan sejumlah pedagang sayur dan roti, kicauan kutilangnya di halaman kontrakan dan deru mesin mobil yang dipanaskan. “Aku harus bergegas berangkat mengajar,”

Pak seto beranjak ke ruang tengah, melewati ruang tamu. Terlihat si Buyung sarapan sambil menonton televisi. Putra semata wayangnya itu sebentar lagi harus melanjutkan sekolah menegah pertama, sekolah zaman sekarang tentu membutuhkan biaya tinggi. Dengan gaji bulannnya yang hanya sedikit tentu makin memberatkan beban keuangan rumah tangganya. Guru, pahlawan tanpa apa-apa. Pak seto kembali gamang. Sambil menikmati makan paginya, Pak seto mendengarkan siaran berita Radio Republik Indonesia (RRI) tentang pembangunan gedung-gedung perkantoran baru yang mendapat banyak dukungan dari para investor. Setelah berita itu disiarkan, terdengarlah dendang selingan berjudul Jakarta City Blues “Pagi-pagi… udah polusi… naik bis kota… salip kiri kanan bikin jantungan, itu sudah biasa… Jakarta city blues…” Ah, syair itu sebiru keresahannya saat ini.

Tepat pukul enam pagi, setelah berpamitan pada istrinya, Pak seto memacu sepeda motornya dan beranjak meninggalkan perkampungan padat penduduk di barat daya Jakarta. Kampung itu selalu terlihat sama meski sudah belasan tahun ditinggalinya; rumah-rumah kecil yang berjubel di gang sempit, selokan yang mampat dan berbau tak sedap, serta tumpukan sampah yang belum diangkut. Pandangannya yang berkonsentrasi dengan keramaian jalan masih menerawang. “Sinting! Menuntut transparansi iuran Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) yang telah dibayarkan saja berbuntut gajiku diturunkan,” Umpatnya.

Bus kota yang merayap di kiri dan mobil sedan di kanan menjebak Pak seto di kemacetan. Keadaan ini selalu memaksanya cari celah untuk menyalip. “Sreeeet” terdengar bunyi stang motor yang tak sengaja bergesekan dengan pintu sedan bercat ungu. Bunyi itu diikuti klakson panjang dan umpatan sang pemilik mobil. Pak seto mengacukannya. Ia memacu motornya makin kencang.

***

Pak seto menghelakan nafas panjangnya setelah letih mengoreksi lembar jawaban essay ulangan mata pelajaran Bahasan Indonesia yang diampunya. Meski melelahkan, Pak seto lebih suka memberikan soal dengan model jawaban essay daripada pilihan ganda. Jika karangan murid dinilainya bagus, jawaban muridnya logis, dan mempunyai landasan ia memberikannya nilai tambah.

Pak seto percaya, muridnya tetaplah manusia yang punya daya kreasi dengan ciri khas kemampuan dan tak ingin dibatasi dalam berpendapat. Dari kepercayaannya itu ia mempersetankan konsep UAN yang memukul rata parameter keberhasilan siswa. Ia sering mengungkapkan kegelisahannya itu melalui rapat guru dan sejumlah tulisan di surat kabar. Celakanya, daya kritisnyalah yang membuat hubungannya dengan beberapa teman seprofesi dan Pak Wardoyo, sang kepala sekolah menjadi tak terlalu baik. Apalagi ditambah ulahnya tempo hari yang mempelopori teman seprofesinya untuk meminta transparansi iuran PGRI yang kemudian berakibat gajinya dipotong.

Sudah menjadi rahasia umum bahwa forum PGRI di wilayah Pak seto justru berfungsi menindas para guru yang kritis. Pengurus PGRI yang juga menjabat di dinas pendidikan sering melakukan kolusi dengan menurunkan tunjangan guru atau biasanya memindahkan ke daerah terpencil. Seperti tradisi zaman orde baru, semua ini dilakukan untuk menyingkirkan ‘pengacau’ dan melanggengkan kekuasaan orang-orang yang duduk di dinas. Pak Wardoyo juga termasuk dalam golongan pejabat dinas.

Sebelum Pak Wardoyo, jabatan kepala sekolah diisi oleh Pak Sukardi. Saat itu, Pak Wardoyo dipastikan terpilih karena pemilihan diselenggarakan dari pusat yang sangat dekat dengannya. Kepala sekolah yang baru diangkat dapat melakukan kontrol terhadap segala sesuatu di sekolah itu. Begitulah aturannya. Pak Wardoyo kemudian mendapat sejumlah daftar tipe guru-guru di sekolah itu dari Pak Sukardi. Daftar itu mencakup tipe guru yang ‘baik’ dan suku ‘menjilat’ hingga guru yang ‘mengancam kestabilan sekolah’ seperti Pak seto. Daftar tersebut memberi semacam lampu kuning bagi kepala sekolah dalam menaklukan guru. Jika guru belum bisa ditaklukan maka kepala sekolah ‘berhak’ menempuh cara-cara menekan lainnya.

***

“Teeet… teeet… teeet,” bel sekolah yang menjerit tiga kali menandakan waktu istirahat makan siang bagi seluruh penghuni sekolah tempat Pak seto mengajar, terkecuali Lik Sri, karyawan kantin sekolah itu. Perantauan Lik Sri dari Wonogiri membimbingnya bekerja ke salah satu sektor usaha informal kota metropolis ini. Setiap siang, kesibukannya dimulai dengan menyiapkan bermangkuk Soto, makanan ringan dan sejumlah minuman. Bau harum masakannya tercium dari ruang guru. Aroma sedap itu memberikan alasan bagi siapapun untuk antre memesannya. Demikian pula Pak seto. Ia beranjak dari mejanya setelah lelah mengajar murid-murid dan memeriksa setumpuk lebar jawaban essay.

“Pesan apa Pak?” Tanya Lik Sri

“Soto dan air es saja, tolong diantarkan ke ruang guru saja” Jawab Pak seto

“Ck… ck… Pak Pak seto ini, saking sibuknya sampai makanpun disambi di ruang guru, sudah sibuk dan jelas gajinya begitu kok masih macam-macam, apa gajinya kurang Pak? Heheheh… Wealah, sekalinya macam-macam kok gajinya dipotong,” Sindir Lik Sri sambil sibuk menaruh taoge dalam mangkuk.

Pak seto hanya tersenyum mendengarkan komentar Lik Sri sambil berlalu meninggalkannya. Ia menuju musola sekolah untuk melaksanakan kewajiban kepada Tuhan dalam keyakinannya.

Soto dan air es yang tadi dipesan, tandas di makannya. Dari pintu masuk, Pak seto melihat Ibu guru Mun berjalan ke arahnya. “Pak Pak seto, dimohon oleh Pak Wardoyo untuk menghadap ke ruangannya,” pinta Bu Mun. Pak seto kemudian hanya menganggukkan kepala saja. Ia berjalan dengan pasti menuju ruang kepala sekolah sambil menduga-duga petaka apalagi yang akan didapatnya.

“Berkaitan dengan beberapa aksi yang diperbuat Pak Pak seto kemarin, maka, Musyawarah Kepala Sekolah (MKS) memutuskan untuk memindahtugaskan Bapak ke salah satu kabupaten di Tasikmalaya.” Vonis Pak Wardoyo.

“Tapi, saya merasa tidak melakukan kekeliruan Pak, kenapa saya dihukum seperti ini?” tukas Pak seto

“MKS tidak menuduh anda melakukan kekeliruan dan tidak bermaksud memberikan hukuman atas kekeliruan itu, kami hanya ingin mengirim satu tenaga guru kesana, keputusan ini sudah final, tak bisa diganggu gugat, yang penting Pak Pak seto tak kehilangan pekerjaan,”

Skak Mat! Mengingat kebutuhan keluarganya yang makin mendesak, pikirannya tak bisa melangkah kemana-mana lagi. Pak seto malas berdiplomasi lagi dengan gaya otoriter macam ini. Minggu depan ia harus segera pindah dengan dipotong gaji pula. Ia merasa semua usahanya sia-sia. Ia berjanji pada dirinya sendiri, untuk kebaikan diri dan keluarganya ia tak akan banyak membuka mulut. Dunia ini tak pernah dimengertinya dan ia harus siap meninggalkan dunia itu.

***

Lima jam sudah Pak seto tak dapat memejamkan matanya. Sebentar-sebentar ia miringkan badannya ke kiri dan kanan. Bola lampu berukuran lima watt yang tergantung di pojok kamar tidurnyanya nampak berkedip-kedip. Mungkin pertanda kawat pijarnya akan putus dan harus diganti. Ambinnya yang berderit setiap ia bergerak meramaikan sunyinya dini hari itu. Nampaknya ambin itu hampir tak kuat menahan berat tuannya. Tak lama kemudian ia menatap istri yang terlelap di sampingnya. Ia merasa kasihan dengan istrinya yang tengah mengandung satu bulan. Ia juga merasa bersalah karena terpotongnya pendapatan meski istrinya mengerti dan tak pernah menuntut macam-macam. .Jika ambin ini tak segera diganti dengan yang baru mungkin ketika usia kandungan istriku sembilan bulan, ambin ini tak akan kuat menahan beban kami lagi. Malam itu Pak seto gelisah. Namun, bukan bola lampu atau ambin yang membuatnya gelisah. Tidak. Bukan Itu.

Pembicaraannya yang terakhir dengan Pak Wardoyo serta pelbagai penolakan atas kegelisahannya selama ini yang merusak akar mimpinya. Ia masih juga tak dapat tidur. Sudah berkali-kali ia membalik bantalnya. Ia juga mencoba menghilangkan pikiran itu, namun tetap tak bisa. “Sinting! Gila!” Umpatnya berkali-kali. Keresahan tentang hal-hal yang tak dimegertinya itu masih saja bertahta di pikirannya. Tak jelas kapan akan bisa dimengerti. Satu hal yang pasti, esok ia akan pindah dari Jakarta bersama keluarganya. Suara petir terdengar bergemuruh. Hujan turun menimbulkan bunyi tuk..tuk.. tuk yang makin lama makin cepat di atap rumahnya.

Pagi ini, banjir melanda perkampungannya. Hujan barang setengah jam saja sudah bisa memaksanya untuk melipat celana panjang hingga selutut. Terlihat dua orang tetangga dekat dan anak Pak seto membantu mengangkat barang-barang ke dalam truk. Sembari melangkah lunglai, lagi-lagi terdengar lantunan tembag Jakarta City Blues “keluar rumah… hujan deras basah kuyup… banjir selutut… itu sudah biasa… Jakarta city blues…” Ia sudah memutuskan untuk meninggalkan semua keresahannya di Jakarta. Walaupun ia belum lega. Setidaknya ia lega karena meninggalkan kegarangan Jakarta city blues.

Jelajahi Mayantara dengan Perumahan Multimedia

Dialog antar personal kini tak harus dilakukan dengan bertatap muka secara langsung. Jaringan internet atau multimedia membuatnya lebih cepat, murah dan mudah.

Globalisasi membawa pengaruh bagi perkembangan informasi dunia di dasawarsa terakhir. Thomas L Friedman, wartawan The New York Times, mengamini bahwa inti globalisasi adalah kemajuan di bidang teknologi dari internet hingga komunikasi via satelit. Dalam perkembangan hidup bermasyarakat, jaringan multimedia dapat menjadi pembentuk sebuah ruang bertemu yang baru dan menjadi ajang bergaul bagi masyarakat perumahan yang makin individualis. Kemajuan teknologi informasi membawa perubahan besar di segala bidang.

Bisnis yang sukses bisa jadi tak harus ribet kemana-mana. Hanya dengan rumah berfasilitas internet, semua transaksi dapat dikendalikan. Warung Internet (warnet) di Daerah Istimewa Yogyakara (DIY) juga menjamur seiring meningkatnya teknologi dan kebutuhan masyarakat. Kafe-kafe berfasilitas hot spot kian diminati. Perkiraan kemajuan teknologi informasi di tahun-tahun mendatang akan makin pesat. Ini diramalkan dari jumlah pelanggan dan pemakai internet per tahun di Indonesia yang makin meningkat (lihat tabel 1). Begitu pula dengan usaha properti di DIY, beberapa developer mulai mengembangkan fasilitas multimedia untuk menjawab tantangan globalisasi.

Merapi Regency, proyek yang dikembangkan oleh PT Sarwo Indah menjadi pelopor perkembangan perumahan multimedia di DIY. “Kita punya konsep integrasi. Jadi, semua fasilitas bisa diakses dengan mudah lewat jaringan multimedia,” Ungkap Abdul Aziz, ST selaku manajer marketing ketika membuka pembicaraan dengan Rumah Jogja (RJ). Developer yang telah 12 tahun berkecimpung di dunia properti ini memanfaatkan teknologi hot zone dengan Motorola Canopy Wireless. Perangkat wireless tersebut menjangkau lebih dari 10 km dan bandwidth sebesar 10 mbps/second sehingga seluruh rumah mampu saling terhubung dalam Local Area Network (LAN). Perumahan yang terletak di utara DIY ini juga dilengkapi dengan televisi kabel, VoiP (jaringan telepon tanpa pulsa), swalayan online, kamera CCTV, dan kafe berfasilitas hot spot. Anda tak perlu khawatir jika suatu saat terjadi sesuatu dengan rumah anda karena perumahan ini telah diasuransikan.

Selain Merapi Regency, The Residence sebagai proyek yang dikembangkan PT Tiga Saudara Group di barat DIY kini juga bergerak mengikuti perkembangan. Cyber Residence @ West sebagai jargon yang diusung makin diperkuat dengan fasilitas gratis abonemen internet, VoiP, Data Center for Community, Data Exchange InterHouse, Hot Spot Wi-Fi di setiap rumah, aplikasi PerumNet untuk aktivitas sehari-hari dan multimedia steraming. Adanya jaringan lokal yang menghubungkan antar rumah berguna bagi warga yang tak pernah bersosialisasi. Sehingga, ia tetap memperoleh informasi dan kesempatan untuk bersosialisasi antar penghuni perumahan. Andre, sang manajer marketing, menyatakan bahwa fasilitas ini dikembangkan untuk mendukung perkembangan DIY sebagai kota pelajar. Arahannya tentu mempermudah akses informasi tanpa batas.

Developer juga tetap melengkapi perumahan yang dikembangkannya dengan fasilitas lainnya seperti The Residence dengan kolam renang, jaringan listrik bawah tanah, sarana ibadah, coffee shop, dan taman bermain. Tempat hunian yang strategis juga menjadi kemudahan tambahan yang diusung developer. Hal tersebut dilakukan agar mobilitas konsumen makin lancar. Menurut Andre, tanggapan konsumen terhadap fasilitas perumahan multimedia beragam. Ada beberapa konsumen yang suka terhadap tren bangunan, umumnya mediteranian yang paling diminati, atau keterjangkauan lokasi dengan pusat-pusat bisnis, pendidikan dan pemerintahan. Namun, ada pula yang benar-benar tertarik dengan fasilitas multimedia. Ini diamini oleh Abdul Aziz, ST, bahwa beberapa konsumen memang mengapresiasi fasilitas multimedia tersebut.

Tren model perumahan mediterania pada umumnya menjadi tren yang diangkat perumahan multimedia. Secara arsitektur, model perumahan tak banyak memberi pengaruh pada penempatan fasilitas multimedia. Amri, ST, arsitek, menyatakan bahwa sistem jaringan global yang digunakan bersifat teknis dan instalasi jadi tak membawa banyak pengaruh pada arsitektur perumahan. “Desain fleksibel, bisa ditambah ruang khusus di dalam, tapi tetap memperhatikan aspek keindahan dan konstruksi bangunan,” imbuhnya.

Peningkatan pelanggan dan pemakai jasa internet membawa dampak positif pula bagi perkembangan jumlah konsumen perumahan multimedia DIY. Apalagi konsumen merasa lebih nyaman dan tak dibatasi jika mengakses internet dari rumah. Menurut Andre, jumlah pembeli di kawasan The Residence terus mengalami peningkatan dalam setahun ini. “Dalam enam bulan ini, 25 unit telah terjual,” tambahnya. Mengenai dinamika jumlah konsumen ini dipengaruhi beberapa faktor. “Salah satunya di bulan-bulan libur seperti tengah tahun, atau idul fitri biasanya terjadi peningkatan konsumen.” Abdul Aziz, ST menjelaskan.

Sebelum anda memutuskan membeli perumahan multimedia, sebaiknya pertimbangkanlah hal-hal berikut ini; legalitas bangunan, fasilitas yang benar-benar anda butuhkan, keterjangkauan terhadap fasilitas publik dan harga. Beberapa developer di DIY tampaknya benar-benar berkomitmen dalam mengurus legalitas bangunan seiring perkembangan regulasi IMB dan pertanahan di pemerintah. Mengenai harga, di Merapi Regency dan The Residence menawarkan variasi berdasar luas bangunan dan fasilitas di dalamnya. Umumnya, penawaran harga mulai Rp. 300. 000. 000, 00.

Perkembangan teknologi multimedia di tahun-tahun mendatang nampaknya menjadi stimulan bagi para developer untuk mengembangkan proyeknya di sektor multimedia. Seperti halnya PT . Tiga Saudara Group yang berencana mengembangkan perumahan ke selatan DIY. Pun, dengan Merapi Regency yang akan terus dikembangkan.

Ketika ruang nyata terasa sulit untuk ditembus, kini semuanya dapat begitu mudah dimasuki melalui dunia maya. Dunia maya yang terhubung melalui jaringan multimedia membuat anda dapat memasuki ruang maya sembari melakukan satu aktivitas lain di dalam rumah. Lebih nyaman dan praktis bukan? (Tiwi)

Tabel 1Jumlah Pelanggan dan Pemakai Internet di Indonesia sepanjang 1998-2004

(Sumber: www.APJII.or.id)

Tahun

Jumlah Pelanggan

Jumlah Pemakai

1998

134. 000

512. 000

1999

256. 000

1. 000. 000

2000

400. 000

1. 900. 000

2001

581. 000

4. 200. 000

2002

667. 002

4. 500. 000

2003

865. 706

8. 080. 534

2004

1. 300. 000

12. 000. 000

Alternatif Tempat Usaha nan Praktis


Rumah toko (ruko) kini mulai merambah investasi properti. Tak hanya berfungsi sebagai toko, bentuk bangunan yang serbaguna membuatnya makin disukai.

Ruko bisa jadi investasi properti yang cukup menjanjikan. Terlebih di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), seiring dengan peningkatan jumlah bangunan rumah, banyak developer yang melengkapi fasilitas perumahan dengan ruko. Apalagi dengan belum banyaknya bisnis ruko di DIY. Ruko kemudian makin dilirik oleh para usahawan.

Sesuai dengan istilahnya, ruko dapat berfungsi sebagai rumah atau gudang sekaligus toko. Seperti yang diungkapkan Delvi Umar, pengelola ruko perlengkapan muslim Kiswah di kawasan jalan Ring Road utara, “Usaha di sini sangat praktis, ruang belakang saya fungsikan sebagai gudang, lagipula lokasinya strategis” ujar pria yang memulai usahanya sejak 2005 ini. Ia juga menambahkan bahwa, perbedaan harga ruko di tempat satu dengan yang lain menuntut pemilik usaha pandai dalam mengelola harga barang yang dijual di ruko. Ia mempunyai dua ruko dengan usaha yang sama, namun harga kedua ruko tersebut berbeda. Ia tentu harus mengatur bagaimana menyamakan harga dalam kondisi harga faktor produksi, dalam hal ini ruko berbeda. “Saya tak terlalu sulit dalam mengatur harga barang dagangan, karena selisih harga ruko tak terlalu banyak”, jelasnya. Selain serbaguna, harga sewa ruko yang lebih murah daripada perkantoran merangsang minat usahawan untuk berbisnis di tempat ini.

Harga jual ruko biasanya dipengaruhi oleh beberapa hal, antara lain, nilai produksi, objek tanah, legalitas, dan lokasi. Merespon hal tersebut, Iwan Hari Z, S. E, manajer pemasaran Cokro Square menyatakan bahwa nilai produksi biasanya yang paling berpengaruh. Dalam regulasi pembangunan ataupun izin usaha, menurut Iwan, pemerintah DIY sangat mendukung dan memberi kemudahan, “Pembuatan Izin Mendirikan Bangunan (IMB) cepat, tak banyak dipersulit, hitungannya setiap tiga bangunan memiliki satu IMB, jadi lebih ringkas”, ujarnya. Pernyataan Iwan Hari Z, S, E, juga diamini oleh Delvi Umar, “Untuk pemilik ruko seperti saya izin usahanya tak terlalu dipersulit, ini dulu perizinannya terpadu, jadi lebih cepat perizinannya”, terangnya.

Tak hanya nilai produksi dan legalitas, lokasi yang strategis juga mempengaruhi harga jual ruko. Lokasi yang strategis akan sangat mendukung usaha. Herman Budi Setioko, ST, manajer pemasaran Sumber Baru Land, menjelaskan bahwa ruko yang dipasarkan di setiap kawasan DIY memiliki perbedaan harga, tergantung lokasi ruko. Selain itu, ia menambahkan, dinamika harga ruko dipengaruhi oleh waktu pembelian. Misalnya ada dua periode pembangunanan, para pembeli pada periode pertama biasanya dapat membeli ruko dengan harga lebih murah daripada pembeli ruko periode kedua. “Ini wujud pelayanan kami terhadap pembeli di periode pertama, agar mereka merasa diuntungkan”, tambahnya.

Pembangunan rumah atau toko di DIY memang menguntungkan. Harga jual tanahnya bisa meningkat tajam dalam lima tahun ke depan. Khusus untuk ruko, perkembangan penjualannya stabi. Meskipun demikian, beberapa developer seperti Cokro Square dan Sumber Baru Land tetap berencana membagun ruko di kawasan strategis DIY seperti, jalan HOS Cokroaminoto, jalan Hayam Wuruk, Lempuyangan, Patangpuluhan, Ring Road, Godean, Giwangan, hingga Seturan. Beberapa peluang usaha yang bisa dikembangkan di wilayah ini antara lain perkantoran, toko buku, minimarket, fitness center, bengkel, optik, hingga restoran. Kebanyakan, lokasinya memang di pinggiran kota karena bisa jadi perkembangan infrastruktur di daerah perkotaan makin mahal dan terbatas.

Untuk menambah kepercayaan pembeli, developer pun harus bersikap professional termasuk dalam urusan struktur bangunan. Iwan Hari Z,SE mengamini hal ini “Kebanyakan ruko berlantai dua atau tiga, untuk itu struktur dan pondasi bangunan tak boleh asal, kebetulan, pasca gempa DIY tahun lalu, ruko kami mendapat label sebagai bangunan layak pakai, layak huni dan layak jual”, ujarnya.

Konsep bangunan yang sedang marak saat ini seperti konsep western menjadi salah satu pertimbangan pembeli sebelum membeli ruko. Meski tak memberi banyak pengaruh pada kesuksesan bisnis di ruko, konsep bangunan mampu menambah nilai estetika di dalamnya. “Dari segi estetika, model ruko yang mengarah pada model Eropa tak termakan usia” terang Herman Budi Setioko, ST. Tren bangunan model Eropa ternyata mampu bertahan lebih lama dibandingkan dengan tren bangunan modern minimalis. Terlepas dari hal tersebut, kebutuhan akan fungsi menjadi hal utama yang tetap dipertimbangkan pembeli.

Sebelum anda memilih ruko yang hendak dibeli, sebaiknya, perhatikanlah hal-hal berikut. Pertama, pilihlah lokasi strategis. Lokasi dimana banyak terjadi transaksi bisnis, dilalui banyak orang dan aksesnya mudah. Kedua, perhatikan apakah fungsi ruko sudah sesuai dengan apa yang diinginkan, seperti kebutuhan akan toko, tempat tinggal, gudang, tata letak atau tempat parkir. Ketiga, legalitas ruko, ini mencakup status tanah, IMB, roi jalan. Roi jalan haruslah sesuai dengan tata ruang kota, jika tidak, ini akan mengganggu kepentingan pengguna jalan dan akan ditindak oleh pemerintah DIY. Keadaan ini dibenarkan oleh Herman Budi Setioko, ST, “Legalitas ruko memang salah satu hal yang diutamakan Sumber Baru Land agar pembeli merasa aman”, tandasnya.

Dari beberapa komplek ruko di daerah Seturan dan Ring Road, kebanyakan milik perorangan yang sengaja investasi ruko. Ini sebagai pertanda bahwa partisipasi masyarakat DIY dalam investasi meningkat. Dilihat dari segi investasi, maka ruko di tempat srategis juga bisa memiliki nilai investasi yang cukup tinggi untuk disewakan atau dijual kembali. Rencana