Thursday, September 13, 2007

(Resensi buku)Perantauan yang Sarat Tikungan

Judul Buku : Jalan Menikung Para Priyayi 2
Penulis : Umar Kayam
Jumlah Halaman : 184 + IX hlm
Penebit : Pustaka Utama Grafiti kerjasama dengan The Ford Foundation dan Yayasan Adikarya IKAPI
Tahun Terbit : 2002 (cetakan keempat)


Hidup bagaikan semangkuk penuh bermacam buah cherry, ada yang manis, masam bahkan hampir busuk. Maka, kita selalu untung-untungan dalam mencomotnya.
(hlm 4)

Kondisi Indonesia di awal masa orde baru yang sarat kekerasan dan pembunuhan karena ketakutan pemerintah terhadap komunisme menjadi setting awal yang dihadirkan Umar Kayam. Harimurti, seorang yang lahir di tengah keluarga besar Jawa yang terpandang menjadi tokoh utama dalam novel ini. Ia diceritakan pernah terlibat Partai Komunis Indonesia (PKI). Isu ini kemudian membawanya ke dalam bui. Namun, Pakdhe Nug, kerabatnya yang seorang petinggi pemerintahan, berhasil menyelesaikan masalah ini. Harimurti bebas dari bui dan keselamatannya dijamin asal ia tak bekerja lagi di lembaga pemerintah. Harimurti kemudian menikah dan bekerja di sebuah perusahaan penerbitan.
Diundangnya Harimurti untuk makan siang di sebuah restoran mewah oleh Maryanto, atasannya, ternyata bukan pertanda baik. Perjamuan makan siang itu justru membuat Harimuti kehilangan pekerjaan sekaligus menguak masalalunya. Harimurti ternyata masih diduga pemerintah sebagai orang yang “tidak bersih”. Ia terus dilanda kebingungan karena masa lalunya yang telah usai dan terkubur hadir kembali. Tak ada pilihan lain, ia harus keluar dari pekerjaannya. Jika tidak, perusahaannya akan ditutup pemerintah. Sementara Pakdhe Nug yang dulu pernah menyelamatkan hidupnya telah meninggal. Kecurigaan pemerintah terhadap Harimurti menjadi ketakutan Harimurti jika nanti orang tua, ibu dan anaknya ikut terlibat masalah tersebut. Betapa tidak, seluruh keluarganya akan terus diperiksa dan dicurigai.
Ketakutan Harimurti berbuah larangan pada Eko, anak tunggalnya yang menempuh studi beasiswa di Sunnybrook College, Connecticut, Amerika Serikat (AS), untuk jangan pulang dulu ke Indonesia. Jika Eko pulang ke Indonesia, Harimurti mengkhawatirkan keselamatan Eko. Padahal, Eko berniat secepatnya kembali dan membangun negerinya sendiri. Namun semangat itu terhalang oleh ketakutan pemerintah terhadap keruntuhan kekuasaan. Meskipun dirasakan berat oleh Harimurti dan Suli, istrinya, Eko harus tinggal di AS demi keamanan dan kemajuannya.
Di AS, Eko tinggal bersama keluarga Prof. Samuel D. Levin. Biaya hidup Eko ditanggung oleh keluarga Levin hingga ia menamatkan kuliahnya. Pretasi Eko yang gemilang membawanya bekerja di sebuah penerbit besar, Asia Books. Di keluarga yang menganut kepercayaan Yahudi ini, Eko terpesona pada Claire Levin, putri dari Prof. Levin. Bertahun-tahun waktu yang mereka jalani bersama membuat hubungan mereka makin dekat. Mereka akhirnya menikah karena Claire telah hamil.
Rencana pernikahan mereka telah direstui oleh keluarga Levin. Namun, tidak dengan keluarga Eko di Indonesia. Kabar pernikahan yang dikirimkan melalui surat singkat dan padat itu dianggap Suli sebagai perilaku yang tak sopan terhadap orang tua. Suli merasa tak dimintai restu karena nada surat itu sekadar pemberitahuan. Eko yang beristrikan Yahudi dan kehamilan Claire makin membuat hati Suli tak senang. Pergaulan dan lingkungan di AS dianggap Suli bertentangan dengan norma adat dan agama di Jawa. Namun, setelah diberi pengertian Harimurti, kemarahan Suli mereda.
Pernikahan Eko dan Claire disambut penugasan dari Alan Bernstein, atasan Eko. Eko ditugaskan untuk mengurus pemasaran produk Asia Books ke sejumlah negara di Asia termasuk Indonesia. Kedatangan Eko dan istrinya ke Indonesia disambut orang tua dan kerabatnya dengan senang. Semenjak Eko melanjutkan studinya ke AS, ia mengalami banyak perbenturan kebudayaan. Pun ketika ia kembali ke Indonesia bersama istrinya. Sikap defensif masyarakat Jawa dalam menyikapi perbedaan norma dan ras ditonjolkan Umar Kayam pada bagian ini. Rasisme di Jawa tampak ketika Tommi, kerabat Harimurti, mengomentari Claire, yang berketurunan Yahudi. Di bagian yang lain, rasisme di Jawa tampak ketika Tommi menentang pernikahan putrinya yang bersuamikan seorang beretnis Cina. Tak hanya di Jawa, rasisme di AS juga digambarkan Umar Kayam melalui perjalanan silsilah keluarga Levin.
Keluesan Umar Kayam dalam mendeskripsikan sistem kekerabatan dan kebudayaan di AS dan Jawa mampu memacu imajnasi pembaca. Perbedaan pandangan mengenai norma adat dari generasi ke generasi ikut membumbui jalan cerita. Novel ini cocok bagi orang yang mengaku pluralis dan menggemari sastra. Sebuah perjalanan di perantauan dijabarkan dengan penuh lika-liku oleh penulis. Tak hanya itu, penyampaian penulis juga sarat kritikan terhadap sistem pengadilan, pengupahan dan pendidikan di Indonesia yang masih buruk. Sayang, kata ganti tokoh utama yang berubah-ubah mengganggu kenikmatan membaca. Alur yang terkadang berubah di tiap bagiannya juga membingungkan pembaca. Terlepas dari itu semua, novel ini mampu menambah khazanah mengenai pluralitas tiap ras di AS dan Indonesia. Jadi, selamat menikmati pergulatan pluralitas rasa novel!

No comments:

Post a Comment