Sunday, December 20, 2009

Ikon-ikon Lain Kota Bengawan

Ingin cari kuliner khas Solo selain menu kraton nasi liwet, timlo, sate buntel atau sup matahari? Jika ya, sajian berikut, jangan diluput. Dengan racikan sederhana, menu-menu ini mampu menjadi dedengkot kuliner kota Solo.

Tahok yang biasa didagangkan di Pasar Gedhe Solo bisa menjadi menu pembuka sarapan anda. Sajian yang terbuat dari sari kedelai dan jahe ini baik untuk kulit anda. Bayangkan saja, saya kira pedagang Tahok di pasar ini masih berusia 50 tahunan namun ternyata usianya kini sudah 70, keriput di kulitnya hampir tak kentara lantaran ia selalu minum Tahok tiap hari. Minuman yang awalnya hanya populer di kalangan etnis Tionghoa di kota Solo ini juga baik untuk pencernaan anda.

Sebagai menu inti sarapan anda setelah mencicipi Tahok, kesegaran kuah dalam suasana tradisional bisa anda nikmati di Soto Gerabah. Peralatan makan dari gerabah juga menambah kenikmatan soto tersebut. Selain soto gerabah, pecel Solo dengan saus wijen dan nasi merahnya juga tak boleh diluputkan sebagai referensi menu makan siang anda. Pecel yang satu ini ternyata sudah dikenal oleh banyak artis ibukota.

Jika anda sengaja berkunjung di Solo saat akhir pekan, anda bisa pula menggunakan wahana transportasi kereta dalam kota ”Jaladara”. Apalagi jika anda berminat untuk menjelajahi sepanjang jalan Slamet Riyadi dan berbelanja batik di Pusat Grosir Solo, Pasar Klewer atau Kampung Batik Kauman, sepur ini siap mengantar. Tiket kereta lokomotif dari kayu yang hanya beroperasi saat akhir pekan ini dapat anda beli di stasiun-stasiun di kota Solo.

Bagi para penggemar musik akustik, Jazz atau pencinta barang antik, anda bisa menikmati alunan musik langsung atau sekadar melihat lukisan dan barang antik setiap sabtu malam di pasar Windu Jenar Ngarsodipuro. Beberapa bulan yang lalu pasar ini dibangun kembali dengan relokasi pedagang sekitarnya -dengan pendekatan kultural antara pemkot dan pedagang, win win solution dan tanpa konflik-. Pasar yang tampil cantik dan artistik kala malam ini juga mengediakan fasilitas akses internet wi-fi. Tertarik? Sumonggo dateng ngerawuhi...

p.s: makasih buat tante Jenny yang udah mau dibajak rumahnya dan yang selalu ngajak jalan-jalan kemana-mana tiap aku ke Solo, hehehe.... n also for all my sisters n brothers, aku kangen jalan-jalan, guyon meriah dombret, masak-masak dan makan-makan lagi ma kalian ni, hehehe...

Wednesday, December 02, 2009

Semalam Bersama Pasta All’arrabbiata Jadi-jadian

Italia dan Perancis terkenal sebagai kerajaan kuliner dunia. Elegan dan bercitarasa tinggi, demikian para pakar sering berkomentar. Eits, itu kata para pakar. Bagi kita semua yang ingin mencapai klimaks karya kuliner, kuncinya hanya satu ’Just trust your tongue’ Ya! Seseorang pernah berkata demikian. Saya sepakat.

Saya ingat suatu ketika kakak saya pernah mengajak kami sekeluarga makan di Solo Mio, sebuah restoran Italia di Kota Solo yang kata rekan kakak saya yang juga bule Italia itu rasanya benar-benar orisinil Italia sekali. Maklum, pemiliknya pun orang Italia, katanya. Kami pun memesan beberapa makanan Italia seperti spaghetti, lasagna, pasta dan pelbagai desert yang ditawarkan.

Sesumbar. Saya tak menduga sebelumnya bahwa keganasan lidah orang Italia hanya sampai disitu. Hambar, tak ada cita rasa rempah dan bumbu yang tajam. Setelah saya menceritakan ini pada seorang Jerman, ia hanya bisa menukas ”oh, come on Tiwi.... its not the taste, its about the culture” Ya… akhirnya saya sepakat dengannya, mempercayai lidah saya sendiri, dan bersumpah akan menghasilkan karya yang tak kalah sakti. Uummm, sepertinya kalimat yang terakhir ini telalu eksesif.

Akhir-akhir ini hasrat cook-addict saya kambuh lagi. Citarasa masakan Jogja yang manis-manis dan tentu tidak bersahabat dengan lidah saya sering memaksa saya untuk memasak sendiri. Tapi, kebiasaan itu lama saya tinggalkan lantaran kesibukan. Huh, akhirnya saya bisa memenuhi hasrat yang telah lama tak terpenuhi. Seperti kebiasaan terima gaji di bulan-bulan sebelumnya, saya langsung menggunakan gaji saya untuk mendaftar kelas baru bahasa asing dan tentu saja berbelanja bahan memasak, mencoba resep baru. Satu keputusan bulat hari itu: Its ’Me’ time, tak boleh ada yang ganggu saya memasak hari itu.

Saya pun membuka WWW.ALLRECIPES.COM tempat dimana resep semua tingkatan kuliner dunia termasuk dari Italia dibagi dengan gratis. Pasta All’arrabiata yang konon mudah namun berkelas menjadi pilihan saya hari itu. Sebenarnya, saya memilih resep ini lantaran merindukan momen memasak dan makan bersama kerabat yang sekarang berada di Milan. Berikut bahan dan cara memasaknya:

400gr pasta jenis penne, 500 gr tomat ceri, bawang bombay dan bawang putih masing-masing satu siung, garam, cabai dan xtra virgin olive oil. Cara membuat: Matangkan pasta hingga kenyal (al dente), potong-potong bawang lalu tumis dengan olive oil, setelah bawang berwarna keemasan, buang bawang putihnya, kecilkan api, masukan garam, tomat dan cabai yang dipotong-potong. Masukan pasta ke wajan bersaus tomat lalu aduk bersama bumbu tumisan, pasta pun siap disajikan.

Saya merasa janggal setelah mencoba resep itu. Indah, teman kos yang bersedia menjadi pengicip-icip pasta saya sore itu berkata enak namun tak nanti, lidah saya berkata ”Kurang mangstabs, apalagi, euyhhhh saus tomat tidak sehat! Kau sudah terlalu banyak makan sampah Tiw akhir-akhir ini, jadi, jangan nodai resep sehatmu setidaknya hari ini! (Sok-sokan) kenapa tak kau gunakan saja tomat asli yang ekstra banyak?” Saya memutuskan untuk mencoba resep itu lagi dengan beberapa ’perintah’ lidah saya.

Malamnya, saya membawa bahan-bahan plus daging sapi qurban ke kos Ino, seorang teman yang sedang senang-senangnya mengarap penelitian dan skripsi bersama seorang dari negeri raja cokelat Eropa. Saya butuh partner untuk memasak sambil tertawa sejenak agar hasil maksimal. Dengan tambahan minyak dan garam saat merebus pasta, tumisan yang banyak merica, tomat, cabai dan bawang putih -yang tidak dibuang setelah ditumis bersama bambang bombay- plus toping tumisan daging sapi tomat ala saus bolognaise –yang samasekali tidak dianjurkan- cukup berhasil menjadikan karya saya, Ino dan Ois spesial, setidaknya bagi orang Asia macam saya dan Ino. Para pakar kuliner Italia mungkin marah dan menuduh kami sebagai tersangka bastardisasi resep but we r just trust our tongue. Yeahh namanya juga Pasta All’arrabiata, artinya kan marah-marah.

Dua dedengkot Eropa (Italia dan Perancis) memang sensitif sekali terhadap kelestarian kuliner mereka. Gimana tidak sensitif? lha wong masuknya gerai Mc’D di Piazza Spagna -alun-alun identitas Italia - dan Museum Louvre, Paris saja sampai mendatangkan reksi ekstrim dari anggota gerakan Slow Food sejak 1986 sampai sekarang. Makanan sampah seperti Mc’D dianggap menodai khazanah kuliner disana. Universitas Slow Food bahkan didirikan di Italia. Betapa pentingnya orisinalitas nilai kesehatan dan kesenian kuliner bagi mereka.

Menurut saya, menciptakan orisinalitas diri sendiri dengan memodifikasi yang orisinal, itu sah saja. Jika anda sepakat, maka ciptakanlah kuliner anda sendiri, pertahankan nilai-nilai seni dan kesehatan anda. Namun, bagi anda pencinta orisinalitas citarasa Italia dan tidak ingin ribet memasak, saya merekomendasikan Solo Mio. Jangan sekali-sekali berburu spaghetti di Kusuma Sari atau WS (dua-duanya masih di Solo juga) kecuali anda ingin memadukan citarasa Eropa-Jawa, semua terserah anda. Orisinal atau tidak itu politis alias penuh kepentingan sang pemberi fatwa, silahkan anda putuskan sendiri mana yang orisinil dan mana yang tidak. Yang jelas kuliner juga menjadi khazanah kebudayaan yang terus bermetamorfosis dan nomaden.

Tips bagi teman-teman sesama mahasiswa di Jogja, saya sarankan untuk membeli sayuran di pasar tradisional pagi hari karena lebih fresh dan murah, kecuali untuk bahan-bahan yang tak tersedia di pasar tradisional seperti paprika, oregano atau daun parsley. Anda bisa mendapatkannya di super indo JaKal, lebih lengkap, segar dan murah. Hindari belanja sayuran di Mirota –sayurnya tidak segar, tapi harga dan koleksi kebutuhan rumah tangganya cukup reccomended, mahasiswa bgt lah- atau di carrefour –yang mahal sekali dan tidak lengkap-. Tapi, semuanya... terserah anda... segar, murah dan lengkap itu politis (halaaah, kalimat yang terakir ini samasekali tidak penting)

Sekian.

Catatan paling akhir; Semua merk yang disebut tentu punya tendensi yang tentu bermafaat bagi anda ;)

Friday, August 07, 2009

Cerita Kebangkitan Petani Berdaya di Sleman

Sepertinya obrolan saya dengan beberapa petani siang itu mencerminkan betapa para periai negeri ini telah ditampar oleh petani yang notabene rakyatnya sendiri. Pastilah sang pemuka struktur negeri tak pernah menyadari bahwa kini petani mulai sadar akan adanya pertukaran yang tidak setimpal jika berurusan dengan negara, korporasi dan akademisi. Triplehellish, demikian petani menyebut ketiganya. Untung saya tidak mengaku bahwa saya mahasiswi dari salah satu perguruan tinggi yang saat ini hanya tinggal menara gading. Niatan saya saat itu hanya mencoba memahami pemikiran mereka sebagai manifestasi gerakan sosial petani.

Joglo Tani yang merupakan akronim dari oJO GeLo Tani merupakan salah satu organsasi petani yang tebentuk karena kekecewaan petani terhadap taji-taji sang triplehellish. Perkumpulan ini memiliki semangat pertanian organic dan terintegrasi. Hasil pertanian dalam organisasi ini telah memiliki jaringan pemasaran yang luas di seluruh Indonesia. Saya yang berlatar belakang sospol pun bak mendapat kucuran ilmu tentang pertanian jenis tersebut. Kebetulan siang itu aku membawa recorder, sehingga terekamlah semua pembicaraan kami siang itu. Percakapan kami pun mengalir.

“Emang mba Tiwi sering belajar ilmu apa dulunya?” Tanya salah satu petani, yang tahunya saya sudah lulus.

“Saya dari sosiologi pak, kan ga ada hubungannya dengan dunia pertanian. Saya ga tau apa2 soal pertanian. makanya saya pengin belajar banyak dari sini,” sahutku.

“Lho, siapa bilang ga ada hubungannya? Sosiologi kan mempelajari pertukaran kepentingan juga kan? Dalam konteks ini kami sudah merasa dikecewakan oleh kepentingan negara. Yang bisa menggerakan petani ya petani sendiri, bukan negara apalagi militer. Kami kecewa dan akhirnya sadar betapa banyak kepentingan politis dalam organisasi petani. Akhirnya negara tak sepenuhnya berpihak pada petani, padahal 60% wilayah kita adalah wilayah agraris,” Tutur pak TO yang menjadi pemrakarsa organisasi ini.

Lebih lanjut, Pak TO menjabarkan tekanan-tekanan yang melarabelakangi hadirnya gerakan sosial ini. Ia mengharapkan hal ini disadari oleh para petani di seluruh Indonesia. Tekanan-tekanan tersebut antara lain;

1. Tekanan ekonomi, contohnya bibit dan pupuk yang saat itu masih tergantung membeli pada tengkulak. Pada saat teman-teman petani menjadi pembeli maupun penjual, hokum pasar tetap berlaku, mereka tak berkuasa atas apa yang mereka beli dan jual, dan akhirnya petani yang dirugikan. Akhirnya mereka membuat pupuk sendiri sebagai manifestasi intelektual organic. Buktinya, mereka telah menemukan satu jenis pupuk murah dan berkualitas untuk mereka gunakan sendiri, dan mereka bersedia membagi resep pupuk tanpa harus menggunakan royalty. “Untuk apa mengambil keuntungan dari sodara kami yang sesama petani? Bukankah ilmu seharusnya diamalkan?” Ungkapan sederhana itupun terucap dari salah satu petani.

2. Tekanan alam, teman-teman petani setelah menanam bibit, hasilnya tak dapat digunakan, sehingga mereka selalu membeli bibit baru lagi. Pupuk yang di beli juga tidak tahu terbuat dari apa sehingga pupuk itu tidak menyuburkan tanah tapi merusak tanah. Obat pun demikian, akhirnya malah tidak melestarikan lingkungan. Akhirnya yang terjadi tanah semakin rusak, air sulit, siapa yang merusak? Ya petani, maka alampun menekan kita juga. Akhirnya kita kembangkan obat dan pupuk sendiri yang lebih ramah lingkungan.

3. Tekanan sosial, bahwa petani di Indonesia ya kastanya ya paling rendah menjadi petani tu karena lahan yang sempit bahkan tidak ada lahan, sehingga orang menilai tidak menjanjikan. Kita lihat saja, kalau tukang prakir mau kredit motor 500rb sudah bisa bawa pulang, kalau petani? 1jt ninggal KTP ya ndak bisa. Coba dipikirkan; diantara korporat, petani, pemerintah dan akademisi siapa yang dikonstruksi paling rendah? Pasti petani. Padahal, yang berperan besar dalam hasil pertanian ya petani.

4. Tekanan budaya. Pertanian merupakan budaya juga, penjelasannya, bertamu kan mestinya jangan ngatur tuan rumah. Kenyatannya sekarang dalam pertanian, banyak tamu yang ngatur tuan rumah. Contoh; mereka di suruh ini, pupuk disuruh ini obat disuruh ini. Dalam konteks ini tamu adalah perusahaan kapitalis. Mereka hanya memaksa menanam ini itu dengan obat dan pupuk yang membahayakan lingkungan, jika hasilnya buruk, mereka ingkar janji tak jadi jamin pasar. Investor datang, negarapun ditekan juga. Pembagian hasil terkadnag tak setimpal, yang penting perusahaan menguasai bibit dan pasar. Ibaratnya, petani ingin membangun rumah. Kurang pintunya, terus diutangi kapitalis untuk beli pintu dan kunci, tapi yang pegang kunci kapitalisnya, padahal rumahnya kan milik petani, tidak adil kan? Kalau kita sendiri dapat membuat sistem yang lebih adil tanpa melibatkan kuasa modal, kenapa tidak?

5. Petani tertindas pasar global dan tertekan dengan standar global. Maka, petani ingin meningkatkan kapabilitas mereka mengembangkan dari mentah hingga produk jadi yang memiliki nilai jual berlipat daripada produk mentah.

6. Tekanan kebijakan. Selama ini kebijakan pemreintah tidak sepenuhnya berpihak pada petani. Kalo kita melihat Indonesia sebagai wilayah agraris, namun anggraran untuk petani tak menjadi prioritas. “Pertanian kita itu tidak berkelanjutan, karena ego sektoralnya tinggi, obyeknya petani tapi yang membidangi banyak sekali, urusan air sendiri sendiri, ternak sendiri, kalo tani dipisah dengan peternakan itu akan terjadi kehancuran karena tidak akan ada kelestarian ekologis, simbiosis mutualisme tidak terpenuhi dan petanipun tergantung, tidak mandiri, jadi kecewa,” Jelas pak TO. Akhirnya terbentuklah pertanian terintegrasi dimana peternakan dapat dimanfaatkan untuk pertanian dan perikanan.

Nah, tidakkah kini pemerintah seharusnya malu jika ternyata di tingkat bawahpun janji mereka bak pepesan kosong? Toh, sang pengumbar janji yang ngakunya cinta wong cilik pun kini sibuk memperdebatkan politik praktis terkait keberlanjutan kuasa mereka. Sedangkan rakyat sendiri? Mereka berhasil bangkit tanpa campur tangan pemerintah dan justru skeptis dengan pemerintah. Lalu pemimpin hasil electoral pun kini mandul kalau di tingkat komunitaspun rakyat mampu mengembangkan diskursus dan berdaya

Monday, May 25, 2009

Derai Posfeminisme Chicklit dalam Deras Arogansi Literatur

"Ya, ampuun...kenapa rak buku barumu sekarang ada majalah dan novel chiklitnya? ga ada bacaan yang lebih mutu?" Tanya seorang teman yang ngakunya intelek itu dengan nada yang arogan. Setidaknya pertanyaan itulah yang menuntun saya pada tulisan ini. Yah eheem... membaca reproduksi tanda tokoh wanita yang dikonstruksikan pada media majalah dan novel wanita metropolis yang cenderung tangguh, 'seksi', acuh tak acuh, tidak menganggap diri sebagai korban, dan menginginkan kuasa akhirnya membawa Ann Brooks main mewacanakan apa yang disebut dengan posfeminis dalam Posfeminisme & Cultural Studies (Jalasutra, 2008). Saya mungkin tak bisa bertutur banyak perihal manifesto wacana posfeminis, mengingat pengetahuan saya tentang hal tersebut masih sangat prematur.

Dalam buku tersebut, Brooks mendekonstruksi kuasa wanita dalam peran ganda dan budaya patriarkhi. Ini menggelitik saya untuk membaca dan mengamati novel-novel ciklit. Seminggu yang lalu saya baru saja menamatkan novel Allison Pearson yang berjudul I Don't Know How She Does It -Sorry mba Sisca n mas Co2, aku baru sempat membacanya sekarang, bukan tiga tahun lalu saat kalian menghadiahkannya bersama Sejarah Filsafat Barat, Reading @ the University dan Good Essay Writing-. Mengamati perjalanan sang tokoh utama, Kate Reddy, ibu muda yang 'seksi', menjalankan peran ganda; dalam rumah tangga dan kantor dengan rekan-rekan kerja yang seksis, sang Albeheimer, sembari harus mengamati kurs lalu memprediksi dan meramalkan keputusan besar di perusahaannya merupakan fenomena yang tak bisa dihindari bagi wanita karier di perkotaan. Sang Pearson pun menjabarkannya dengan ringan, apa adanya dan tanpa menghakimi. Akhirnya, sang Kate pun jatuh pada satu titik sekaligus disaat itulah dia memenangkan 'keadilan' dengan caranya sendiri tanpa gembar-gembor dengan teori feminisme. Kultur Inggris sebagaimana setting novel tersebut sebenarnya pun tak jauh beda dengan kultur Jawa yang monarkhi. Maka, secara tak sengaja otak saya pun menganalogikannya dengan perjuangan ibu saya selama ini. Ibu dididik dengan budaya 'Jawa' (diberi tanda petik karena masih belum tau Jawa yang sebenarnya seperti apa) yang kata feminis cenderung patriarkhi, mengekang, dan mengonstruksikan wanita cantik harus tampil indah, menjaga nama suami, suargo nunut neroko katut, dsb...dsb... Meski demikian, Ibu terus 'mengabdi' dan akhirnya sekarang kekuatan aktor-aktor dalam budaya jawa yang patriarkhi dan 'menindas' ibuku itu melemah kekuatannya dan tak bisa hidup tanpa ibuku. Sedang ibuku? Sukses menunjukan kekuatan beliau dan berhasil menjadi single parent bagi ketiga putra putrinya meski perjuangan beliau tidaklah ringan.

Dekontruksi lain yang ditawarkan Brooks yakni tentang kecantikan. Selama ini feminisme selalu memposisikan konstruksi kecantikan ala patriarkhi dalam iklan produk kecantikan dan media itu yang menindas perempuan. Analisis Brooks bukan mengkritik tentang konstruksi kecantikan yang menindas-vertikal, melainkan ia menyajikan beragam analisis tanda tentang konstruksi kecantikan secara horizontal. Yah... semangatnya posmodern banget lah. Dua tahun yang lalu iseng-iseng saya membuka-buka majalah cosmopolitan di sebuah warung internet karena sedang antre. Dengan Fun, Fearless Female-nya majalah ini menawarkan isi yang sangat beragam. Kesan pertama sewaktu membaca-baca majalah tersebut; "Wuaaah, majalah kok iklan thok, full branded, ilusi kapitalisme dengan menjadikan tubuh perempuan sebagai komoditas, dsb.. dsb..." Namun, akhirnya saya sampai pada satu rubrik yang menggambarkan pengalaman seorang wanita karier yang akhirnya melepas kariernya, mengabdi di dunia pendidikan dan tetap memiliki pemikiran yang sangat kritis . Penampilan wanita tersebut jauh dari citra kecantikan yang selama ini dikonstruksi oleh sederetan iklan pelangsing tubuh dan pemutih wajah di majalah tersebut. Tak disangka, apa yang diperjuangkan wanita tersebut ikut membantu penelitian saya dalam sebuah jurnal mahasiswa dan menginspirasi skripsi saya sekarang.

Di edisi cosmopolitan yang lain, disajikan pengalaman sepasang ibu muda kembar; Rosi dan Rian yang berpenampilan bak bintang sinetron namun mereka berhasil membebaskan warga di kolong jembatan tiga, tol gedong panjang, pinggir kali Sunter, Cilincing, bantar gebang serta kantong kemiskinan di jakarta lainnya dari buta huruf dan kemiskinan. Kini mereka telah memiliki murid hingga 800 orang. Agar tak terjebak pada 'licik' nya LSM yang menjadikan kemiskinan sebagai proyek dagang, kedua wanita tersebut tetap kritis terhadap LSM plat hitam mauopun merah yang mengajak meraka kerjasama. Saat rosi dan rian diundang ke dalam diskusi sosialisme dan disindir dengan penampilan mereka, toh mereka tetap melenggang kangkung dengan busana bermerk, acuh tak acuh menyatakan bahwasanya sosialismepun sebenarnya sama menindasnya dengan kapitalisme. Dalam rubrik semacam itu, disajikan bagaimana pemikiran tentang konstruksi kecantikan dibenturkan. Bahwasanya permasalahan hegemoni dan kesadaran tergantung siapa yang mengkonstruksi. Jikalau feminisme mengklaim dirinya sebagai yang menyadarkan atas penindasan kapitalisme toh posfeminis justru mengklaim usaha feminisme tersebut dengan menilainya sebagai usaha membentuk hegemoni tandingan. Posfeminisme akhirnya menonjolkan kesadaran dan nalar pada diri masing-masing perempuan tanpa menafikan kekuatan iklan kosmetik di media dalam membentuk konsep cantik. Akhirnya, toh wacana posfeminis tetap menyerahkan konstruksi kecantikan pada kenyamanan dan rasionalisasi dalam diri masing-masing perempuan.


Jantung Metropolitan setelah menghadiri pernikahan saudara yang melelahkan

Thursday, May 07, 2009

What Education has Taught Me

I’ve been studying in the formal education institution since a long time ago. But, since I becoming university student, I just realized that we were trapped on chaotic problems education system. I think, the main problem is people’s mind construction about their respectful toward diversity.

As the common issues, we can’t against the diversity of thought, religion, ethnic group, gender, social and economic status, physically n mental condition. But, why the government seems like won’t to accept that situation? For example, in the past, when new era of Soeharto’s governmental cabinet (that call ‘orde baru’ in Indonesia) my comprehension about our state history is constructed by government’s false consciousness. For example; let me ask you a question; What do you think about socialism and communism? A cruel community? Killed everybody who believe in God on 1966? A dirt ideology that must against by all of us? Many research reported that’s not true. The lesson of history for elementary, junior, and high school students are constructed by orde baru for their corrupt system, sustainability of status quo and give a way for capitalism to grow up in Indonesia. A high obligation, financial crisis, so many chaos in the big cities and the explosion of people’s revolt are reasonable consequences that must paid by government on 1998. Finally, reformation told the truth. Although a few truth has revealed, it didn’t mean that social condition post-1998 reformation are so much better. Many civil groups who struggle for orde baru’s fall out and forming new age of democracy are uncertain about what kind of system must bring to a better change.

Since orde baru governmental cabinet had been dominated political system, all sector are controlled include the education institutions. They caught everybody who have different thought that may harmful for the government. They against diversity with a policy that make we must wear uniform, an developmentalism mind construction about education parameters which is so far away from local culture approach and humanism aspect, segregation of schools (many examples; international school with expensive fee, special school for disable student, final grade standardization for every level of school n etc). Why they must be segregated? Because they are not be able to access education together with other students? I thought that’s false. Many research reported that multicultural and inclusive education are good for academic and social condition student’s grow. Although that, terrible system of education as like happen in orde baru is still turning now.

Once upon a time, I ask a question to my self; if the diversity around us, why the system must made the same standardization? In fact, when the government make some kind of multicultural education policy, at the same time, they decided homogeneous standardization education policy. In other condition, the poor still can’t access high cost of education in university.

Every human have their ability and disability right? Every ethnic group have their local genius and necessary right? So why we don’t make a cultural approach on learning system? And every human have their own rights to access education, no matter what their condition. Because education is very important for human development. Its can be a kind of way to make poor people free from poverty. Education is helping the child realize his potentialities, likes Erich Fromm said.

Someone ask me that to escape criticism, do nothing, say nothing and be nothing. If I want to change, just take my times to make a small and simple change. I knew that the problems in education is so hard to finish. I have a dream to make a non-formal simple school for all students who can’t access formal education. What a stupid idea, right? But now, me and my community is still dream and try to help people who can’t access formal education with small and simple way. Because, I didn’t too worried about wrong education, but I more worried if there are illiterate people can’t access education at all.

Wednesday, April 01, 2009

Kewajiban Memerdekakan Kaum Terdiskriminasi Siapa Punya? (Catatan dari Bilik si Enam SKS)

Catatan ini hadir bukan saja sebagai reaksi atas apa yang menghentak tatkala aku mewawancarai seorang narasumber untuk data pra penelitian proposalku. Skripsiku membahas tentang manifesto kebangkitan sebuah kaum yang terdiskriminasi karena hegemoni pemerintah. Namun, kaum yang terdiskriminsi itu dapat bangkit di level kebijakan dengan hegemoni tandingan mereka.

Kupikir tak perlu kujelaskan kaum terdiskriminasi macam apa yang kuteliti. Yang jelas, suatu kaum dikatakan terdiskriminasi ketika ia teralienasi dari diri, kuasa yang besar dan lingkungannya karena ketimpangan sumber daya. Wujudnya bisa macam-macam; suku dan ras minoritas, kaum miskin, perempuan, buruh, termasuk difabel (different ability people), istilah ini masih menjadi perdebatan hingga sekarang, ada yang menyebutnya sebuah penghalusan bagi penyandang cacat, ada yang bilang istilah ini merupakan dekonstruksi dari kecacatan yang sebenarnya permasalahan sosial bukan masalah kesehatan. Namun, toh istilah ini sudah diserap dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) edisi paling gres. Istilah cacat muncul karena yang cacat dianggap tak mampu, padahal berdasarkan beberapa penelitian Girolam Cardano, ketika indra satu tak berfungsi, indra lain akan berfungsi lebih optimal.

Aku cukup sadar, ketika aku bersentuhan dengan kaum terdiskriminasi akan terjadi reaksi-reaksi kritis terhadapku dari mereka. Dan yang kipikirkan pun terjadi.

“Alaaaaa.. kamu meneliti ini ya cuma buat kepentingan skripsimu kan? Toh setelah kamu selesai penelitian kami tak akan berubah menjadi lebih baik!” Ujar seorang aktifis sebuah LSM yang konsern terhadap aksesibilitas kaum terdiskrimnasi tatkala kuwawancara.

“Akademisi selalu memandang kami sebagai fenomena yang unik, layak diteliti. Setelah itu? Kami hanya dieksploitasi untuk pencarian data-data tanpa sebuah konsekuensi yang bermanfaat bagi kebangkitan kami. Kami sudah capek diwawancara terus! Akademisi tu cuma bisa sok-sokan dengan teori-teori yang mereka kuasai, di tataran praktis? Nol besar. Buat apa kalian kuliah demokrasi dan HAM kalau hanya jadi isu pencari nilai. Kalian tu mirip politisi yang dalam kampanyenya selalu membawa-bawa kaum terdiskriminasi tanpa mewujudkan janjinya ketika ia menjabat,” Lanjut mas-mas aktifis yang sepertinya miskin perhatian ini dengan panjang lebar.

Well, fenomena ini patut disyukuri daripada jika mereka tak punya kesadaran kristis sama sekali. Akupun menyahut ocehan kritis dari mas-mas yang juga ngaku sebagai filsuf muda ini.

“Jadi apa yang diharapkan dari akademisi? Bukankah perubahan tak akan terjadi tanpa pemahaman sensitifitas terhadap teman-teman? Narasumber yang kuwawancara tak hanya dari pihak terdiskriminasi, tapi juga pemerintah, akademisi dan semua stakeholder yang terlibat dalam manifesto kebangkitan teman-teman. Dari situ akan ada obrolan-obrolan dalam sebuah ruang public yang dapat mengartikulasi kepentingan masing-masing stakeholder.”

Setelah aku sedikit bernafas aku melanjutkan lagi “Ya! fenomena meneliti tanpa mengubah memang ada, namun bukankah dari kesombongan yang hina itu kami bisa belajar dan mengubah struktur?Tapi kurasa bukan saatnya lagi menggunakan istilah kami, saya, anda dan mereka, sudah saatnya menggunakan istilah kekitaan untuk mewujudkan tatanan yang lebih manusiawi. Perubahan tak akan terjadi dalam waktu singkat, apalagi dalam struktur birokrasi yang terkonstruksi untuk selalu mensegregasikan tiap manusia seperti di Indonesia ini. Bukankah perubahan ke kondisi yang lebih humanis seperti terjadi di Eropa yang kini lebih multikultur itu melalui perjalanan yang panjang? Bukankah perubahan akan lebih massif ketika kaum terdiskriminasi juga yang memiliki inisiatif bergrak selain kebersamaan dengan stakeholder lain? Semua tak lepas dari pihak-pihak yang paling merasakan diskriminasi itu. Ingatkah jika Tuhan tak kan mengubah nasib suatu kaum sebelum kaum itu yang mengubah nasibnya? Mohon bantuannya untuk memberikan masukan apa selanjutnya yang harus dilakukan untuk rencana program keberlanjutan setelah penelitian agar aksesibilitas lebih terbuka untuk kebangkitan teman-teman. Saya sering mendiskusikan tema ini dengan teman-teman lain di sospol, mereka pun bersedia ikut membantu,”

Balik lagi ke perdebatan kebangkitan kaum terdiskriminasi. Pertanyaan ini amsih terlintas dibenaku; kewajiban terbesar untuk mewujudkan kesamaan akses bagi semua orang yang berbeda-beda itu punya siapa ya? Pemerintah dan masyarakat mayoritas selalu dicurigai, kalau akademisi dengan kebiasaannya meneliti untuk kemudian mewujudkan program keberlanjutan dibilang eksploitasi, tapi kalau tak memberi perhatian dikira diskriminasi, enaknya gimana?

Monday, March 16, 2009

Facebook Ergo Sum

Akhirnya bisa reuni sabtu pagi setelah sejuta tahun lamanya tak bertemu karena alasan kesibukan para workinprojectholic dan ‘konflik’ masa lalu yang terjadi di rumah kecil ini. Reuni dihadiri satu lelaki yang kini jadi supervisi PKM dan bercita-cita cepet lepas kuliah gandanya di UGM dan UIN, satu lelaki yang agaknya bakal cepat menyandang gelar filsuf, Habermas muda yang ga sadar kalo udah tua tapi merasa belum pantes lulus, dan tiga perempuan yang ingin cepat dapat gelar sarjana dari UGM. Eh, yang satu sudah jadi dedengkot di majalah alumni.

Masalah kerjaan yang belum selesai –sorry,karena kesalahan satu orang-- lagi-lagi jadi pemersatu diantara kami –tanpa kehadirannya yang bersalah--. DASAR WORKHOLIC! Namun, diantara pembicaraan-pembicaraan seru soal kerjaan itu ada pembicaraan yang paling ga penting; facebook.

“Ya ampuuun… kok kamu ga ada facebook sih?”

“Nek butuh komunikasi kan bisa lewat HP atau YM”

Kan ga bisa walll to wall?”

“!?!?!”

Percakapan diatas termahtub antara seseorang dengan mahasiswa komunikasi yang ngakunya pengikut Habermas tapi menguasai informasi dan sekarang kena batunya karena ga tau facebook.

“Emang wall to wall kih opo to tiw? Asem kiye, dah banyak orang nanya kok aku ga eksis di FB setelah keranjingan ngopeni blog dan komik” tadi pagi mahasiswa yang biasa dipanggil Abdi itu menanyakannya padaku.

“Ya ampun.. ra ngerti? Kalah karo Putra koe, lha wong Putra we punya account” sahut Nura

“Kae aku ra sengojo, asline gawe buat Kembang Merak,” Kata Putra yang telah mengawali reuni hari itu dengan memerawani segel soes kering yang ga tau punya siapa dan untuk siapa gerangan. Pokoknya soes itu ludes tanpa ijin yang punya. Akhirnya satu angkatanku menjadi tersangka penggelapan makanan tak berdosa itu.

“wes, pokoke ajang komen-komen dari temanmu dimana eksistensimu akan digadaikan disana, hahaha, wes ndaftar FB wae nek sempat ngopeni hahaha..” jawabku

“Aseeem, kok koe wes duwe? Dasar Facebook ergo sum! Aku tak kon ndaftarke Jehan trus tak kon nggoleke konco ah..”

Wah.. ergo sum.. ergo sum… Jadi ingat Rene Descartes, jaman semono dia mendiktumkan Cogito Ergo Sum, aku berpikir maka aku ada. Lah.. kalo jaman sekarang terutama di kalangan anak muda yang doyan internet berlaku; Facebook Ergo Sum, ada facebook maka aku ada. Dasyat! Pengaruh facebook yang ternyata meraup saham sekitar 15 milyar dolar AS bahkan seorang suami membunuh istrinya karena tahu status istri di facebook masih di-single-kan. Setiap hari ratusan juta orang mengakses facebook. Tak terkecuali, pun dengan calon psikolog UGM godhokan Bu Nela di UPTB yang menggarap skripsi soal jejaring facebook.

Tatkala facebook jadi ajang representasi identitas yang tidak dapat dihadirkan secara nyata. Gambar foto diri, teks-teks identitas yang dituangkan dalam jejaring sosial virtual acapkali bukan diri orang tersebut karena dunia virtual memungkinkan untuk itu, sangat bebas. Bahkan, negara sekalipun tak dapat mengontrol jejaring semacam itu. Well, isoke lha wong yang namanya dunia virtual pastilah menjadi penjelajahan untuk menemukan peran diri, identitas dan eksistensi ketika akses terhadap beberapa jenis modal di dunia nyata terbatasi. Hahaha pokoke Facebook ergo sum!

(Hak Cipta judul ©mrizalabdi)

Saturday, February 07, 2009

Seorang Fibonacci Muda Bilang Saya akan Mati pada Usia 34

Satu lagi dedengkot ilmu empiris asal Italia yang saya kagumi; Leonardo Fibonacci. Masih ingat permainan matematika di sekolah menengah tentang angka Fibonacci? Bagi anda pengikut paham materialisme yang terbukti lemah setelah kemunculan teori Big Bang itu mungkin akan menafikan model susunan angka ini.

Pada abad 12, Fibonacci menemukan susunan angka yang konon selalu mengingatkan makhluk hidup akan keberadaan Tuhan. Ia juga yang telah memperkenalkan sistem angka pada tradisi Hindhu. Begitu dasyatnya kekuatan angka ini sampai ia dijuluki angka ajaib hingga angka emas. Lalu berapa dan bagaimana susunan angka Fibonacci itu? Angka Fibonacci adalah urutan angka yang diperoleh dari penjumlahan dua angka didepannya. Contohnya: 0, 1, 1, 2, 3, 5, 8, 13, 21, 34, 55, 89, 144, 233, dst...

Jika anda masih ingat istilah phi (1, 618) anda pasti akan mengingat pula keajaiban temuan sang Fibonacci ini. Phi adalah hasil bagi angka Fibonacci dengan angka sebelumnya yang mendekati 1, 618 atau tepat 1, 618. Misalnya; 3:2, 21:13, 233:144, dll. Bilangan yang sering disebut rasio emas ini besarnya akan tetap pada setiap deret 13. Jadi misalnya, besarnya hasil pembagian dari urutan pertama akan sama pada urutan ke 14. Pada urutan ke 13 ia akan mencapai besar 1, 618. Sebelum itu, memang berselisih, namun dapat diabaikan. Konon dan telah banyak terbukti oleh banyak ilmuwan, bahkan mungkin bisa oleh anda sendiri, rasio emas ini keramat karena dikandung oleh setiap makhluk hidup ciptaan Tuhan. Pola rasio emas inilah yang sering saya dan kawan saya gunakan dulu untuk bermain puzzle Fibbonacci.

Beberapa hari yang lalu saya bertemu seorang kawan lama saat perjalanan ke Jogja dari Solo. Kebetulan kami bertemu karena kami satu gerbong kereta Prambanan Ekspress (Prameks). Kereta Prameks memang sering mempertemukan saya dengan banyak kawan yang lama tak bertemu. Perjumpaan kami tak banyak membuahkan pembicaraan tentang kenangan masa sekolah, meskipun saya sepakat dengan lirik yang pernah didengungkan Chrisye;... masa-masa paling indah, masa-masa di sekolah.. hehehe. Pembicaraan yang membuncah diantara kami justru tentang bilangan Fibbonacci. Mahasiswa jurusan matematika yang juga keranjingan dengan filsafat sejak SMA ini pun coba memutar-putarkan zona otak kiri saya dengan bilangan Fibonacci. Bagi kawan saya ini, matematika adalah keindahan dan keseimbangan pun dengan bilangan Fibonacci.

Awalnya ia membuat saya untuk berusaha berjarak dengan ingatan jangka panjang. Saya harus mengingat-ingat lagi tentang bilangan dan permainan Fibonacci yang sering kami mainkan beberapa tahun lalu. Pantas saja saya tak banyak mengingatnya karena disiplin yang saya pelajari selama lebih dari tiga tahun ini tidak memungkinkan saya untuk sering bersentuhan dengan barisan hitung dan rumus bilangan angka. Akhirnya, sedikit demi sedikit ia memberi saya kode-kode, dan saya sukses mengingatnya kembali. Ingatan saya kembali pada banyak rasio emas yang pernah kami temukan dulu, baik lewat eksperimen kecil maupun keterangan mesin pencari di internet yang kami buktikan sendiri. Bukti-bukti keberadaan rasio emas tersebut antara lain:

  1. Perbandingan anggota tubuh kita selalu sesuai dengan rasio emas ini. Coba anda buktikan sendiri; Jarak antara pergelangan tangan dan siku : jarak antara ujung jari dan siku, panjang kepala :jarak antara garis bahu dan unjung atas kepala, jarak antara garis bahu dan ujung atas kepala : jarak antara pusar dan ujung atas kepala, jari-jemari manusia memiliki tiga ruas. Perbandingan ukuran panjang dari dua ruas pertama terhadap ukuran panjang keseluruhan jari tersebut menghasilkan rasio emas (kecuali ibu jari). Juga dapat diihat bahwa perbandingan ukuran panjang jari tengah terhadap jari kelingking merupakan rasio emas pula. Lebar wajah: panjang wajah, panjang hidung:jarak antara bibir dan titik di mana kedua alis mata bertemu , dst... Dasyat kan? Konon Leonardo Da Vinci menggunakan rasio emas ini untuk mengukur besar Monalisa yang akan ia lukis.
  2. Spiral yang didasarkan pada rasio emas memiliki rancangan paling tak tertandingi yang dapat anda temukan di alam. Sejumlah contoh pertama yang dapat kita berikan adalah susunan spiral pada bunga matahari dan buah cemara. Panjang garis spiral cangkang laut paling depan : berikutnya juga membetuk rasio emas ini. Ada lagi contoh yang merupakan penciptaan tanpa cela oleh-Nya dan bagaimana Dia menciptakan segala sesuatu dengan ukuran: proses pertumbuhan banyak makhluk hidup berlangsung pula dalam bentuk spiral logaritmik. Bentuk-bentuk lengkung spiral ini senantiasa sama dan bentuk dasarnya tidak pernah berubah berapapun ukurannya. Anda bisa cek ukurannya pada daun, tangkai, serangga
  3. DNA tersusun atas dua rantai heliks tegaklurus yang saling berjalinan. Panjang lengkungan pada setiap rantai heliks ini adalah 34 angstroms dan lebarnya 21 angstroms. (1 angstrom adalah seperseratus juta sentimeter.) 21 dan 34 adalah dua angka Fibonacci berurutan. Kali ini yang mengungkapkan adalah kawan saya yang mahasiswa matematika itu.

Ia masih menantang saya jika saya tidak percaya dan menganggapnya sebagai sebuah kebetulan untuk mencari fakta-fakta di balik bilangan Fibonacci di mesin pencari. Hah? Jangan-jangan pola-pola interaksi sosial yang bisa diukur oleh positivis sama dengan logika Fibonacci? Alaaaah... Saya mulai berpikir perdebatan antara logika Fakta Sosial yang berkonsekuensi metodologi kuantitatif dan logika definisi sosial yang lebih kualitatif perlu sebuah peninjauan ulang. Hahaha... Anggap saja saya sedang meracau.

Di akhir pembicaraan kami, iseng-iseng saya bertanya-tanya pada kawan saya itu;

“Lalu apakah angka Fibonacci juga dapat menjelaskan pola usia hidup?”
”Coba aja; sekarang berapa umurmu?”
”21”

“Oke... 21 ya... berarti 21 dikalikan 1, 618, jawabannya: 33, 9. Wah dibulatke wae... berarti kau akan meninggal pada usia 34, ahaha”

“Lho, sing iki logikane ra mutu. Misalnya kita bertemu saat usiaku 25 bisa aja akan usia kapan aku mati berubah, atau berarti semua anak yang berusia 21 saat ini akan mati pada usia 34? njuk pye?”

“Yo emang ga ada yang tau kapan orang itu mati. Dasar Buduuuug! Hanya Tuhan yang tau. Wah... Kesimpulanmu yang terlalu dini tentang Fibonacci berlebihan, hahahah”

“?!?!?!”

Jadi, apakah bilangan Fibonacci benar-benar pola Tuhan untuk menciptakan? Atau hanya kebetulan saja? Yang jelas, jika anda mencari di mesin pencari anda akan mendapatkan fakta-fakta lain yang lebih mencengangkan. Ya... Lagi-lagi... manusia... tentu pengetahuannya masih sangat sangat kerdil jika dibandingkan Tuhan. Sekali lagi jika anda masih percaya Tuhan ;p.

Thursday, January 22, 2009

Skandal Lembaga Survey Pemilu Seratus Juta

Matahari 2009 terbit, pesta perebutan kuasa lima tahunan siap digelar lagi. Jargon-jargon romantis tentang perubahan dimaklumatkan dan ah… tak lupa tebaran gambar wajah senyum penuh kepentingan pun mulai mengganggu pemakai fasilitas umum. Selain itu, sepertinya legitimasi akademis mulai sering digunakan calon-calon terpilih untuk saling melumatkan kekuatan lawannya. Akademisi tak kalah lihai membaca pasar dengan beramai-ramai mendirikan lembaga survey politik praktis. Fenomena demikian pun terjadi di semua provinsi negeri angin, tak terkecuali berdirinya sebuah lembaga survey yang dipelopori dosen sebuah fakultas pada salah satu universitas di kota gudeg ini.

Kebanyakan lembaga survey ini memberi cap sedemikian gemerlap pada institusinya: andal, data reliabel dan valid, serta mampu menjaring ribuan responden dengan waktu cepat. Tag line semacam itu memang cukup mantap tuk sekadar jual kecap, sayangnya cukup gagap ditataran praktek.

Lusa, seorang kawan bertandang ke flat saya dan mengajukan penawaran untuk menjadi surveyor atau enumerator di lembaga survey milik seorang dosen.

“Ayo Tiw, bergabunglah bersama survey ini. Aku merekomendasikanmu pada supervisinya. Lumayan lho seminggu bayarannya bisa lebih dari setengah juta. Pye?”

“Memang sih aku biasa melakukan survey, tapi baru kali ini aku ditawari jadi ‘buruh’ di bidang politik praktis. Jawabanku: Emoh.”

“Lho kok?”

“Alesane; pertama, saat ini bukanlah saat yang tepat untuk berpeluh keringat mencari penghasilan lagi. Ada tuntutan lain yang harus diselesaikan dengan segera. Kedua, aku masih belum selesai dengan persoalan pengetahuan dan kepentingan apalagi sangkutannya politik praktis. Ketiga, jangan kira responden sekarang bisa gampang diambil datanya. Mereka akan menanyakan padamu survey ini tentang apa? Tujuan dan kepentingannya apa? yang mendanai siapa? Dan aku sedang malas menghadapi mereka. Eh, sik.. sik…; emange lembaga ini didanai berapa dan oleh siapa?”

“Kira-kira seratus jutaan, yang ndanai ya partai ********************* dan media ****************”

Wow dasyat! Saya memang tak meragukan kapabilitas dan kredibilitas para perancang survey tersebut. Hanya kemudian lagi-lagi berpikir; ternyata di ruang public dalam hal ini media cetak dan elektronik terdapat sebuah kesatuan: kepentingan, kuasa dan pengetahuan. Saya rasa ini sah-sah saja meski saya sendiri belum selesai dengan persoalan ini. Akhirnya, dengan agak sok-sok an saya menolak tawaran teman saya itu ;)

Seminggu kemudian kawan saya datang lagi ke flat saya dengan wajah murung namun terlihat lega.

“Pye surveynya sudah selesai?”

“Sudah. Tapi, selesai dengan sangat licik dan busuk”

“Lho?”

”Jadi, aku ditugaskan menjaring responden di Sleman dan Kota Yogya. Aku yang sendirian ini ditugaskan untuk menjaring seratus responden dalam waktu satu minggu. Seperti yang kita ketahui bersama, birokrasi di kelurakan, kecamatan itu sangat berbelit dan tak butuh waktu sehari dua hari. Sedangkan di Kota dan Sleman itu terdiri puluhan kecamatan. Kebanyakan responden yang juga beberapa birokrat ini tak mau mengisi kuesioner tanpa izin dari Kecamatan. Dan satu kuesioner itu ada puluhan pertanyaan. Gila ga sih? Apakah cukup realistis jika aku hanya diberi waktu satu minggu?”

“Uh huh? Tapi akhirnya selesai kan?”

“Seharusnya memang demikian. Tapi tiba-tiba di hari kelima tim pendana yang dari Jakarta datang ke Yogya dan meminta semua data yang belum selesai itu dan olahannya. Sinting tu mereka semua! They did it for their fucking media! Perjanjiannya kan tujuh hari dan menurutku itu tidak cukup realistis, mereka malah datang pada hari kelima. Deadline diajukan. SINTING!”

“Trus pada selesai ga?”

“Ya belum lah, temenku banyak yang belum, aku masih kurang sedikit.”

“So?”

”Ya, supervisiku yang mengisi kuesioner yang belum terisi itu seenaknya. “

“Lho kok begitu? Datanya ga valid dong?”

“Jelas. Trus supervisiku itu bilang ya sudah, lha wong mereka ga fair, saya juga ga fair dong. Kalo mereka cukup realistis ya saya realistis. Data dimanipulasi agar sekiranya hasilnya sesuai harapan.”

Ternyata benar perkiraan saya selama ini. Fenomena ini menunjukan ternyata kepentingan bahkan ada diatas pengetahuan. Pengetahuan bisa seenaknya dimanipulasi demi sebuah kepentingan. Tag line (sok) cakap bak jual kecap ternyata di tataran praktek cukup gagap dan bermuara pada gagalnya penelitian. Jadi, perlukah kita percaya dengan hasil penelitian lembaga survey politik?

Friday, January 16, 2009

My Blue, My thankfulness

This day, I remember what alifa’s said about life; “GOD is the greatest comedian ever after across the universe,” So, she is also make me remember about my big brother said last year “think positive n takes ur time to laughing when you get a problem, even there is a big… big problem, because the cosmos will response u like u was thinking ” Hiahaha.. L.. O.. L.. What do u think about that? I am sure that u had been feeling the same thing. You can, if u think u can, You get worst if you think bad. I thought my big brother have a talent to entertain people, although he’s truly right. But the best entertain is GOD. N alifa? Okay.. she has the same talent with my bro but she will becoming the down entertain with ‘suicide’ on her middle name, is it right fa? ;p

Last month, I dreaming till I am fly into the high n wonderful place . But, in the same time I am down to the depths of misery. There are so many things unpredictable. Sometimes I feel so strong n can finished my big problems by my self, but in the other time, like now, there is a little problem with my heart that I can’t fix it. I never suppose that it will so hurt. Feels just like…yeaa… I am nothing.., whereas I wasn’t born yesterday. It’s no big irony, I am thankful for Zee, that always come to my flat when am down n bring a cup of rose tea for me, even I didn’t tell her that I am so ‘sick’. “Tiway.. Suddenly, I want to go to your flat, don’t know why, my feelings tell me that ure not okay..” . N for my other sists n bro in the 2nd home; Ntan, Ken n Di who always ask me; “Come on.. I am sure that u can fixed it up, n everything will be okay, I’ll be there 2 support u,” N I always know that tomorrow everything will gonna be ok. Maybe that’s the reason why I am always give my silly laugh.

Back again to the GOD as comedian, sometimes He is make my dream come true, but in other times He throw me 2 the deep ravine. I don’t know what His plans for me tomorrow. It’s must be surprises. If I remember everything what did happen in my life, yeaa, I can get laugh. Sometimes, I think; how did this silly thing can happen? How sentimental fool can be? What a stupid Tiwi!

If everything has been written down by GOD, so why worry.. When He make me down, @ the same time He send me so many angel a.k.a Alifa, Zee, Ntan, Ken, n Di… n the other angel; Mr n Mrs eL, as my lecturer that always support me to pursue my dreams…

“If life is ever changing, so why worry, we say..
It’s still you and I with silly smile as we wave goodbye
And how will it be? Sometimes we just can’t see
A neighbor, a lover, a joker
Or friends you can count on forever?
How happy, how tragic, how sorry?
The sun’s still up and life remains a mystery
So, would it be nice to sit back in a silence?
Despite all the wisdom and the fantasies..”

From Dewi ‘Dee’ Lestari with Grow a Day Older in her albums “Recto Verso”

Tuesday, December 23, 2008

Cinta dan Doa yang Absurd

Senin malem, 221208, aku berencana menonton film bersama Ifa n Agus. Sepertinya film yang bagus n lagi diputar di 21 hanya twilight dan tiga cinta tiga doa. Berdasarkan rekomendasi beberapa orang yang sudah menonton twilight, film ini tak sebagus novelnya yang best seller. Biasalah... sindrom filmisasi novel, pasti imajinasi jadi terbatasi dan penonton yang telah membaca novelnya dibuat kecewa. Tapi, kupikir, masih ada lah ya filmisasi novel yang berhasil: Laskar Pelangi. Itu satu-satunya menurutku. Akhirnya, kami bertiga memutuskan menonton tiga cinta tiga doa. Janjianlah kami bertemu di B21.

Senin siang, Ifa meng-sms ku bahwa ada kawannya, Patria, yang ingin ikut nonton bersama kami. Patria, si cowok charming (ni kata ifa lho pat, mau GR juga gapapa hihihi) ini juga menawarkan tebengan mobilnya... hihihi... lumayanlah, pulang malem dikit asal dianter pake mobil. Jam 17. 30 aku tiba di kos ifa, 15 menit kemudian patria juga di kamar yang (sedikit) berantakan ini. Mendingan lah kondisi kamarnya daripada waktu Ifa stress mengerjakan skripsinya hehehe. Tak lama, azan maghrib berkumandang, akupun melaksanakan kewajiban absen kepada Tuhan terlebih dahulu.

Kami pun meluncur jam 18. 00 dari kosan ifa dan menjemput Agus di B21. Jam 18. 41 kami tiba di amplas. Agus memesan tiket, aku dan ifa membeli jagung berondong. Unfortunately, kami dapat tempat duduk nomer tiga dari depan. Ya gapapalah, ifa kan ga bawa kacamata. Mmmm kami menonton film yang diperankan oleh Nicholas Saputra n Dian Sastro ini. Kupikir filmnya bakal bagus, lha wong ada butet nya juga. Ternyata... penonton kecewa hahaha

Jadi ceritanya ada tiga santri yang bersahabat dan memiliki konflik pribadi masing-masing. Si Huda (Nico), rindu ibunya yang lama tak menengoknya di pesantren. Si Syahid, yang pingin nge-bom syahid dan mati sahid, n si Rian (Yoga Pratama) yang terobsesi jadi pembuat film.

Suatu ketika Huda bertemu Dona (Dian Sastro) di sebuah kuburan. Konon, setiap hari Dona melakukan ziarah kubur ibunya. Akhirnya mereka berkenalan, dari perkenalan tersebut Huda tau kalau Dona pernah tinggal di Jakarta. Maka, Huda pun meminta tolong Dona untuk mencarikan alamat ibu Huda di Jakarta dan memastikan keadaannya. Dona menyanggupi asal Huda membayarnya. Akhirnya interaksi terjalin antara santri dan penyanyi dangdut ini.

Dalam film ini Dian Sastro berperan sebagai penyanyi dangdut yang seksi nan bahenol. Kontras sekali dengan kehidupan Huda yang religius. Film yang bersetting dari tahun 2001 hingga 2005 ini mungkin bisa mengeksplor suasana pada waktu tersebut, dari jenis uang yang diterbitkan pada tahun tersebut, logo breaking news SCTV pada tahun tersebut, namun sayangnya dialong anatara Huda dan Dona berlangsung sangat datar dan tidak mengalir, logat Jawa si Dona terkesan dipaksakan, apalagi ketidaklihaian si Nico menghayati kehidupan pesantren tradisional makin mengganggu kekhusukan menonton. Konflik antara Huda yang tak pernah dikunjungi ibunya diputus begitu saja dengan kenyataan bahwa ternyata sang ibu yang kerja di sebuah pub telah meninggal. Si Huda ini ceritanya jadi santri kesayangan Romo Kyai, petinggi di pesantren tersebut. Biasalah seperti fenomena pesantren tradisional lainnya, ada santri kesayangan yang dijodohkan dengan anak dedengkot pesantren tersebut sebagai 'balas jasa'.

Konflik aneh yang disajikan dalam film ini tak hanya dialami Huda tapi juga Rian. Awalnya, Rian mengajukan syarat pada ayahnya; ia mau belajar di pesantren asal dibelikan handycam. Namun, ia mulai lupa permintaannya tersebut tatkala ayahnya meninggal. Ketika ia hampir lulus dari pesantren, sang ibu mengiriminya handycam. Handycam inilah yang akhirnya menjerumuskan ia, Huda, Syahid dan Romo Kyai ke dalam penjara karena si Syahid yanbg keranjingan mati syahid mengikutu kajian islam garis keras di luar pesantren, pelatihan perangnya dan merekam dirinya sebelum ia mati syahid. Tak hanya itu, handycam itu juga telah merekam dian sastro yang lagi casting jadi artis oleh si Huda. Rekaman yang lain juga digunakan Rian untuk merekam film2 di pasar malam dan perkenalannya dengan butet. Handycam itu lalu diambil oleh ustadz nya, ya karena pesantren tradisional peraturannya memang begitu. Entah bagaimana handycam ini bisa sampai ke tangan polisi pada saat seru-serunya pengeboman WTC. Akhirnya ditangkaplah mereka bertiga dan dituduh penganut islam garis keras. Well, di luar carut marut yang disebabkan handycam tersebut, ternyata latar belakang mengapa Rian diberikan handycam baru yakni karena ibu Rian ingin menikah lagi. Rian yang emosi tak bisa digambarkan dengan menghayati oleh sang pemeran pun dengan kelanjutan konflik rian dengan ibunya. Lagi-lagi seakan diputus begitu saja.

Si Syahid juga mengalami konflik serupa, di satu sisi ayahnya sakit ginjal dan harus dioperasi kalau tidak harus cuci darah, di sisi lain ia ingin cepat mati syahid. Suatu ketika sawahnya dibeli oleh ekspat Amerika yang amat dibencinya untuk kesembuhan ayahnya. Namun, tanahnya hanya laku sepuluh juta. Ia mencak-mencak pada bule tersebut, tapi sayang sang bule hanya menganggapnya sebagai luapan rasa terimakasih karena tak mengerti bahasa indonesia. Saat penandatanganan surat kuasa, bule itu akhirnya mengerti bahwa syahid butuh dana banyak untuk pengobatan ayahnya. Akhirnya si bule yang menanggung semuanya tanpa diketahui siapapun. Dan syahid mengurungkan niatnya untuk mati syahid.

Film ini diawali dengan mimpi masing2 tiga santri tersebut serta doa yang mereka tulis di dinding pojok pesantren. Selain konflik tiga santri tersebut film ini juga dibumbui kehidupan pesantren, yaaa biasalah tentang kencan diam2 antara santriwan dan santriwati, fenomena sodomi di pesantren sampai poligami di kalangan ustadz yang tak kunjung mendapatkan anak lelaki untuk meneruskan tradisinya.

Menurutku, film ini ga jelas klimaks dan antiklimaksnya. Akhirnya si Dona masih menyanyi, Huda menikah dengan anaknya Romo Kyai, Syahid dibebaskan dari penjara dan Rian memang sudah menjalankan usaha video shoting pernikahan seperti impiannya dulu. Sepertinya ada dialog yang terpotong saat si ustadz garis keras ngomong "Orang kafir itu halal......" ga dilanjutkan "darahnya" yaa mungkin ini untuk kepentingan sponsornya yang dari perancis juga sih. Selain itu, mungkin film ini juga bertendensi untuk meluruskan ayat-ayat tentang bagaimana umat islam bergaul dengan keberbedaan yang seringnya ditafsirkan secara liar sehingga melegitimasi kekerasan dan peperangan. Lalu apa lagi ya.... mmmm akhirnya aku berkesimpulan semuanya dataarrrr dan ya! Absurd...

Tuesday, December 16, 2008

Tindakan SAR Saat Lapar: Coto Makasar



Jumat siang, 12 Des 2008 aku diminta menemani Frida buat nyariin titipan dosen yang jadi atasannya ke sebuah pertokoan bilangan Malioboro. Ceritanya, Frida dititipin sesuatu yang awalnya kami pikir akan mudah didapat tapi ternyata sangat sulit. Setelah menelusuri beberapa dari timur Jogja, barat Jogja akhirnya ke selatan dikit… hhhmmmpf ketemu deh. Gitu ya rasanya jadi asisten dosen, sampe hal-hal terkecil sang dosen yang ga ada hubungannya dengan urusan akademik, sang asisten ikut mengurusi.. ck.. ck..

Setelah tiga jam menelusuri pertokoan tersebut, sang lapar mulai menyerang. Pertanyaannya kemudian, mau makan dimana? Yah, yang namanya orang laper pasti ketemu makanan yang enak dikit aja langsung deh diserbu kayak orang ga makan seminggu. Sempat kepikiran beberapa referensi kuliner yang kayaknya enak dicoba siang itu, Mie Bangka, Pecel, Gudeg, mmm..

“Kalo kesana suka lama tuh mba, udah laper banget kan.. yang deket dan lumayan mak nyus dari sini kayaknya coto makasar deh, mau kesana ga?” tawar si Frida

“Ya udah deh, tapi ini kayaknya emang kamu yang lagi pengen deh,” sahutku sambil berpikir ada tho coto makasar di Jogja? Ya iyalah, kota pendidikan githu, setiap tahun orang-orang dari berbagai daerah di Indonesia bahkan yang dari luar negeri buat pertukaran pelajar datang kesini. Bisa dipastiin kulinernya lebih beragam dengan biaya makan yang lebih murah pula dibanding Jakarta, Surabaya, atau kota besar lainnya. Mulai deh otak mulai ngigau ga jelas, nanya sendiri, dijawab sendiri.

“Beneran, tapi kalo mau yang lain ya ga papa,” kata Frida lagi

“Yo wes, kesana aja, lha wong aku belum pernah nyoba, semoga ga mengecewakan,” balesku.

Kami pun meluncur kesana. Sampailah kami ke Coto Makasar di Jl. Abu Bakar Ali No. 5, Kotabaru, Yogyakarta, depannya persis asrama mahasiswa Sulawesi Selatan, bisa sambil ngeceng kan? Heheheh. Ancer-ancer nya nih ye; Stadion kridosono ke barat arah Abu Bakar Ali, itu lho… juga yang kearah perpus st. Ignatius n banyak orang jualan helm. Nah kalo udah liat persimpangan STEI, ada gang agak kecil gitu ke kiri, lurus aja 50 meter langsung deh ketemu, atau tanya orang-orang disekitar situ udah pada hafal tempatnya.

Tak lama kemudian kami pesan Coto Makasar n Es Jeruk. Mmmm tunggu dulu, ternyata ga Cuma coto makasar, ada es palu butung n es pisang ijo, Makasar banget kan? Satu porsi coto makasar dibanderol enam ribu rupiah, itu belum ada nasinya, eh ga pake nasi ding… Pakenya ketupat yang satuannya dihargai limaratus perak. Kamu bisa request coto yang daging aja atau pake jeroan. Tapi kayaknya lebih sehat yang daging aja deh.

Pesenan langsung datang tiga menit kemudian dan bau rempah-rempahnya kecium banget. Begitu dicicipi….. Hmmm cakep banget rasanya… walaupun aku ga ngerti resepnya nih ye, tapi boleh lah ya sok tau hehehe, dari perspektif sang tester nih: ada bubuk kedele yang gurih banget, mrica yang agak banyak, kerasa dikit sih pedes panasnya, bawang putih, santen, n rempah-rempah lainnya yang aku ga tau namanya. Mmmm cirri khas masakan Indonesia timur banget deh. Beda sama masakan Jawa yang manis, palagi masakan Aceh atau Padang yang lebih asin, meskipun sama-sama pake banyak rempah-rempah, tapi kayaknya yang coto makasar ini porsi rempahnya lebih sedikit dan lebih berasa gurihnya.

Jadi kepikiran, ternyata lidah tiap daerah juga beda-beda ya, (Gilaaaa.. ya masak gidong, Farid aja Fatahilah masak Fatahidong, hehe piss Rid, mencoba jayus, hehehe) Suatu ketika aku nyoba masakan Italy, eropa banget cirri khasnya; ga pedes, banyak susunya, bumbu rempah sama sekali ga ada, kalo ada merica pun dikiiiit banget, asin dan gurihnya tu berasal dari keju. Kalo masak daging ya.. dagingnya dibikin agak manis, bumbu yang sering menonjol palingan pake bawang putih dan minyak zaitun.

Ke timur dikit di China, dominasi tumis-tumisan, mulai kerasa cabe dan bawangnya. Jepang juga gitu, rempah-rempahnya ga terlalu nendang tapi masih cocok di lidah Asiaku lah ya. Ke timur lagi ada India, Arab dan segenap negara yang nama belakangnya pake –tan, yang ini nih rempah-rempahnya mulai kerasa banget,unsur kambing juga mulai banyak, pedesnya bener-bener dari merica, nendang sekaligus panaassssss. Manifestnya sih yang paling biasa disana: Nasi Kebuli, cuakep banget rasanya…

Anganku pun melayang jauh ke seluruh kuliner di dunia… mmm sampe ga kerasa semangkuk coto makasar, tiga ketupat, satu tahu n sate telur ludes (rakus banget nih).

“Piye mbak? Ga kecewa kan?” Tanya Frida
“Ya enggak lah, enak banget sumpah, jadi satu referen nih, hehe,” Sahutku

Tak lama kemudian kami pun meluncur ke kos kami di daerah Jl. Kaliurang km 5. Cotoooo Makasar.. kau tak terlupakan.. apalagi oleh Nura yang terobsesi sama orang Makasar… hehe piss Nur!


Monday, December 15, 2008

Keledai pun Tak Mau Terjebak Lagi di Lubang yang Sama

Bulan depan mubes. Musyawarah Besar di Balairung; Persma yang saat ini butuh narsis menurutku. Sebentar lagi aku akan hengkang dari sana juga rumah kecil itu. Tujuanku menulis ini hanyalah melukis sejengkal kisah di Balairung. Awalnya, aku menyepakati apa yang pernah diobrolkan bersama Abdi perihal ujaran Hegel tentang sejarah yang mencatat bahwa sepanjang sejarahnya, manusia tak pernah belajar apapun. Mubes oh mubes, kadang aku berpikir, tak pernah belajar apapun. Perubahan? It’s bull! 21 tahun kok molor terus, mutungan terus. Terkadang sulit memang mengungkapkan apa yang dirasakan pada orang lain, lebih baik dipendam, dan sayangnya ini akan berbahaya. Apalagi memisahkan hubungan profesional dan emosional, saya paling kesal mengadaptasi dengan teman-teman yang punya masalah seperti ini. Memutus ritus perlu greget dari kesadaran masing-masing awak. Semuanya tentu. Ketika mimpi sebuah lembaga tak dibarengi dengan perjuangan kolektif, betapa menyakitkan. Tapi izinkan aku melukis kisah ini. Kisah tentang warna kerja di persma terbesar di dunia berbahasa Indonesia.

“Nafas Intelektual Mahasiswa” Jargon itu begitu lekat dengan Badan Penerbitas Pers Mahasiswa yang aku geluti selama hampir tiga tahun ini. Ujaran seseorang tentang definisi intelektual berikut bisa jadi benar; sosok orang yang dapat mempertahankan hidupnya dan orang lain dalam situasi yang genting sekalipun. Sudahlah, tak ada lagi kata-kata romantis tentang intelektual yang perlu dilebihkan. Itu lebih baik daripada semua bermuara pada dusta. Dusta hanya akan membimbing pada pertahanan yang buruk. Dan awak-awak Balairung kini nyaris tak dapat mempertahankan hidup lembaga karena dusta mewarnai kondisi internal.

Adalah dusta jika seseorang hanya mampu menghasilkan pemikiran dan pernyataan dasyat tanpa adanya bukti nyata. Kakean diskusi, miskin data, bar kuwi molor sisan. Bicara dusta, mari bicara Balairung sebagai sebuah badan penerbitan pers mahasiswa. Tentu saja juga tentang aku, kau dan kita semua. Mengerjakan produk bukanlah hal yang main-main: dusta!, Mengerjakan produk selesai tepat waktu: dusta! Persma sebagai ajang aktualisasi yang dipilih secara sadar dan bertanggung jawab: dusta! Toh, keluh kesah masih terdengar kala awak mengerjakan produk. Tapi, di luar itu saya apresiasi bagi teman-teman di angkatan pertama dan kedua yang menikmati rumah ini.

Padahal, layaknya gerakan pers, persma hanya dapat hidup dengan produk penerbitan. Banyak faktor yang mempengaruhi eksisnya lembaga pers. Eksistensi lembaga pers salah satunya berkorelasi positif dengan kuantitas dan kualitas produk. Jika dalam penerbitan produknya saja diwarnai dusta, saya yakin eksistensi persma terancam. Celakanya, jika persma tak bergegas refleksi diri, ia akan segera musnah. Persis seperti ramalan Karl Marx terhadap kapitalisme. Juga ramalan tetangga kepada tetingginya.

Beruntung, Balairung masih dapat menerbitkan dua produknya-jurnal dan balkon- meski tertatih. Dua produk tersebut juga menjadi jalan pijakan Balairung sebagai pers mahasiswa: berwacana dan berkomunitas. Pijakan itu yang akhirnya melahirkan sinergi kerja empat divisi. Social trust dalam sinergi kerja membutuhkan satu prasyarat yakni adanya norma yang disepakati.
Sayangnya, social trust yang digemborkan sejak awal semakin luntur karena dalam pengerjaan produk diwarnai keegoisan masing-masing awak dan divisi. Akhirnya aku sepakat dengan Abdi yang memberi jeda antara perasaan egois dan pembagian kerja. Aku tahu sejak awal tugas kita masing-masing telah dibagi, tapi bukankah dalam menjalankannya kita harus tetap berkoordinasi? Artinya ada kerjasama disana, pembagian kerja tentu tak dimuarakan pada keegoisan. Sangat egois ketika tak saling menghargai kesepakatan, tak saling mengingatkan dan tentu saja mementingkan kepentingan sendiri.

Ceritanya berawal ketika Dewan Pemimpi(n) dari Redaksi, Produksi dan Artistik, Riset dan perusahaan berkumpul untuk membicarakan matriks jurnal. Akhirnya disepakati jurnal akan terbit oktober dengan asumsi akhir juni selesai edit bahasa, sehingga biSA berangkat KKN dengan tenang. Namun salah satu divisi molor, sekiranya kurang satu tulisan yang masuk dari divisi tersebut, sedangkan divisi yang lain telah berusahan dan berhadil memenuhi kesepakatan awal. Maka, mutung2 an tak terhindarkan lagi. Terjadilah proses yang tidak dewasa itu. Padahal riset diburu oleh korporasi yang mendanai penelitiannya, akibatnya hasil riset yang sudah jadi itu belum bisa terbit juga, Selak basi validitas datane, dab! dan korporasi tersebut membatalkan kontraknya apalagi setelah riset mengajukan MoU yang baru. Perusahaan juga diburu pengiklan dan jurnal telat, apa yang terjadi, entahlah. Forum asertif yang direncanakan tak pernah terlaksana karena ketidakhadiran beberapa DP. Konflik ini hanya sebagian kecil dari banyak konflik yang terjadi.

Baiklah… ketika keegoisan sudah menjadi budaya disini, aku mencoba untuk tak memakai perasaan. Inilah yang membuat keraguanku hilang kala aku harus sendirian di angkatan tiga divisi riset. Aku harus egois, ikut ritme, tak peduli pada awak-awak yang tak lagi membersamai, toh aku masih punya bala kurawa yang siap berlari meski terengah.

Namun, obrolan dengan ifa yang masih bingung soal pembagian kerja dan identitas kebalairungan mengejutkanku.

“Sebenarnya balairung akan mendidik awaknya jadi yang semacam apa sih? Keren ya.. balairung masih bisa jalan tanpa alur koordinasi yang jelas dari struktur, maksudku pada prakteknya, konsep sebenarnya sudah jelas di AD ART. Permasalahannya adalah kita tak dibiasakan dengan forum asertif. Dimana semua orang bisa dan berani menyatakan apa yang dirasakannya dan kemudian ada diskusi dan hal jawab. Semuanya terlalu terbawa perasaan dan akhirnya berujung mutungan, kerja jadi kacau” Tutur Ifa.

“Aduh, kayaknya mengungkap apa yang dirasakan di forum besar susah juga, mungkin secara pribadi. Kalau orangnya cuek sih ga papa tapi kalau sensitif jadinya ya... aku ragu..” Aku menanggapi.

“Iya kayak gitu, kemarin aja aku melihat proses yang tidak sehat itu. Ada editor yang dikritik editor lain, tapi editor yang dikritik malah jadi mutung dan ga mau ngedit, yo wis editen kono, gitu...” Sahut Nura

“Nah, aku jadi inget raker kedua, kok bisa muncul komunitas tanpa otak? Mbok ya jangan ada dikotomi antara anak2 yang ‘serius’ dan tidak. Kalau bisa anak-anak yang lain mengejar teman-temannya dan anak-anak yang dianggap serius itu harusnya lebih terbuka,” Putra menimpali.

Sebelum pembicaraan ini aku SMS an dengan Ifa

“Kok jadi kayak gini to; talk with putra hopeless, talk with oky he feels guilty n tak ada hal lain selain memberinya maaf dan kepercayaan lagi (bagiku ini menyebalkan), talk with abdi feels like hells n make me want to suicide, come on... ini persma terbesar di Indonesia. Koordinasi yang seperti ini? Kalian terlibat konflik, It’s shock me out!”
Sender: Noor Alifa

“Wis to fa ga usah pake perasaan, cuek aja lah. Kalau dipikir pakai perasaan, lebih baik nafikanlah sama sekali,” Jawabku

“Itulah menurutku yang menggerakan balairung, utamanya perasaan bersalah”
Sender: Noor Alifa

Baiklah… baiklah… Maafkan saya… Lantas, apa kondisi demikian yang akan terus-terusan mewarnai internal persma terbesar di dunia berbahasa Indonesia ini? Tanyakan pada rumput yang bergoyang hahaha...

Oh ya, teringat pada apa yang pernah disampaikan dosen pembimbingku, bahwa posisi kerangka teori dalam sebuah penelitian bukan dipaksakan sama dengan data lapangan. Melainkan, hanya tuntunan untuk dikaji lewat penelitian selanjutnya tidak disepakati atau dikritisi. Ini karena konteks ruang, waktu, budaya dan subjek penelitian tatkala teori itu lahir samasekali berbeda dengan saat ini. Dan akhir-akhir ini aku tidak sepakat dengan apa yang diujarkan Hegel bahwa manusia tak pernah belajar apapun sepanjang sejarahnya. Aku tidak menyepakatinya karena dari obrolan kumpul divisi, menghasilkan rekomendasi-rekomendasi yang siap dilaksanakan dan kini terlaksana meski tak sempurna. Ketidaksempurnaan akan terus menjadi cambuk perubahan. Masih ada keyakinan bahwa manusia merupakan makhluk yang dinamis. Keledai pun tak mau terjebak lagi di lubang yang sama. Semoga konflik yang terjadi dapat menunjukan sisi fungsionalnya.

Brontokusuman, 261108 pkl 10. 33. Ada mbak Norah Jones yang masih nyanyi...
Spinning, laughing, dancing to her favorite song
A little girl with nothing wrong, is all alone

Eyes wide open, always hoping for the sun
And she'll sing her song to anyone that comes along

Crooked little smile on her face tells a tale of grace
Thats all her own

Sulitkah Menjadi Indonesia?


“Ukhti dibayar berapa untuk melakukan pemurtadan? Hati-hati dengan isu inklusifisme yang mereka gulirkan”

“Bhineka Tunggal Ika” Jargon ini begitu lekat ditanamkan dari sejak saya TK sampai sekarang. Saya yakin, semua orang Indonesia paham maknanya; Berbeda tapi tetap satu. Perbedaan di Indonesia merupakan sebuah realitas. Tapi kadang terdapat oposisi biner; di satu sisi jargon ini ditanamkan dalam pelajaran PPKn, harus dihafal –layaknya murid merupakan bejana kosong yang siap diisi, tak dididik untuk memiliki daya kritis dan pemahaman realitas, begitu ujar Paulo Freire—di sisi lain ada sekolah khusus anak orang kaya, sekolah khusus keyakinan ini, sekolah khusus suku ini, suku itu, kelas akselerasi sampai SLB.

Benarkah generasi kita sudah benar-benar dididik “Bhineka tunggal ika” jika sejak dari ‘bonggol’nya saja sudah dikonstruksi untuk mengotak-kotakan sesuatu? Seperti apa yang ditanamkan sejak kecil tentang apa yang hitam dan putih; “oooo anak ini cacat, dia beda, ga bisa apa-apa, harus dikasihani”, padahal sebenarnya ‘cacat’ hanya konstruksi pikiran. Saya yakin setiap anak diciptakan untuk memiliki bakat kognitif maupun non kognitif masing-masing. Itu baru soal perbedaan fisik dan mental, belum lagi masalah krusial seperti ideology hingga kesukuan “oooo anak suku ini begitu suku itu begini”, “pokoknya harus berhati-hati bergaul dengan anak-anak yang seperti itu”, “eh kamu jangan baca buku ini-itu, berbahaya!”, “eh jangan main sama anak itu, nanti kamu jadi begini,” Fenomena ini pun turut membawa kesadaran pada saya betapa sejak kecil tiwi dididik untuk mengotak-kotakan sesuatu, tak memahami realitas, dan dihalangi untuk berpikir kritis. Pasti masih banyak tiwi-tiwi warisan orde baru lainnya. Kenapa logika yang dipikirkan selalu negasi, bukan logika positif atau solutif? Saya yakin, anak-anak Indonesia sudah cukup cerdas untuk berpikir tentang konsekuensi atas lingkungan mana yang mereka pilih dengan sadar untuk bersosialisasi.

Fenomena yang sangat menarik bagi saya adalah ketika saya menjadi panitia sebuah diskusi sekolah mutikultural. Kebetulan yang mengadakan adalah sebuah lembaga non-islam –islam, agama yang saya anut, sebagai rahmat bagi semua, yang menurut saya sebenarnya cukup bisa mendidik bagaimana menghargai perbedaan, seperti diajarkan agama yang lainnya-- dan saya mendapatkan SMS yang demikian;

Si A : Ukhti dibayar berapa untuk melakukan pemurtadan? Hati-hati dengan isu inklusifisme yang mereka gulirkan

Saya : Saya kira, komitmen agama kita sebagai rahmat bagi semesta alam tak pernah terwujud jika masih ada orang-orang yang selalu berpikir negasi seperti anda. Bahkan Rasulullah mengajarkan untuk menghormati orang asing. Jika memang kita berbeda, marilah kita membiarkan itu berjalan , itu toleransi, toh saya tidak mencampuri urusan keyakinan mereka apalagi memaksakan kehendak. Saya, anda, maupun kawan-kawan yang lain yang masih beragama, tak beragama bahkan yang tak percaya Tuhan sekalipun pastilah dari lubuk hati terdalam mengandaikan perdamaian.

Sampai akhirnya pulsa saya yang tinggal sepuluh ribu rupiah habis untuk meladeni SMS nya. Kenapa saya jadi bodoh begini? Merugikan diri sendiri padahal seharusnya saya membiarkannya dengan kecurigaan dan keyakinannya itu.

Jika kita cari centhang perenangnya, pelbagai perbedaan di Indonesia pastilah berhubungan dengan banyak negara yang lain. Nasionalisme, saat ini bukan lagi dimaknai secara sempit, si A memaknai kesadaran kolektif karena kesamaan sebangsa, bisa jadi yang lain tak memaknai demikian. Seperti ABG di Indonesia jaman sekarang yang memiliki nasionalisme R&B, atau kerelaan mereka yang lain untuk mengaransemen musik berjam-jam demi mengakulturasi musik Jazz dan gambang di Bantul beberapa waktu yang lalu. Contoh lain seperti anak pengamen di pertigaan dari Mirota kampus ke selatan yang rela ngamen seminggu untuk makan di Mc D- ini penelitian dosen saya lho-. Atau seperti teroris di Bali beberapa waktu lalu –saya tak berani menyebut mujahid- yang menciptakan kebencian dan ketakutan hingga rela mengorbankan diri mereka untuk mencederai sesamanya yang tak bersalah atas nama ayat Tuhan yang ditafsirkan dengan liar. Seakan ada kebanggaan yang dibayangkan secara kolektif jika seseorang berhasil memperjuangkan sesuatu.

Saya jadi ingat dengan apa yang diungkapkan Benendict Anderson yang memaknai nasionalisme sebagai komunitas yang tak terbayang;

“Akhirnya, bangsa dibayangkan sebagai sebuah komunitas, sebab, tak peduli akan ketidakadilan yang ada dan penghisapan yang mungkin tak terhapuskan dalam setiap bangsa, bangsa itu sendiri selalu dipahami sebagai kesetiakawanan yang masuk mendalam dan melebar mendatar. Pada akhirnya, selama dua abad terakhir, rasa persaudaraan inilah yang memungkinkan begitu banyak orang, jutaan jumlahkan bersedia, jangankan melenyapkan nyawa orang lain, merengut nyawa sendiri pun rela demi pembayangan tentang yang terbatas itu,”

Begitu dasyatnya kekuatan nasionalisme hingga memberikan arti yang beragam tentang keindonesiaan kita. Kita pun masih merangkak untuk memahami keberagaman ini. Jika kita tak berhati-hati, pemahaman anarkis dapat bermuara pada konflik manifest hingga kekerasan. Tentu kita semua tak ingin kejahatan kemanusiaan kembali terulang. Kasus konflik di pelbagai belahan Indonesia hendaklah disikapi dengan pemahaman yang adil dan pemerataan. Namun, konsep yang demikian romantis ini menurut saya hampir-hampir utopis, bukan berarti pula tak bisa diwujudkan. Jadi, menjadi Indonesia, sulitkah?

A B S U R D


Absurd...sebuah keyakinan

Absurd...yakin sebuah pemahaman naif

Absurd...naif dalam kebuntuan dan ketersesatan

Absurd...sesat hanya dialami bujang ingusan pengecut

Absurd...bujang ingusan seperti seekor keledai

Absurd...keledai yang lebih suka rumput daripada berlian

Dalam kecintaanku dengan absurd, awal mei 05

Kemana Masa Depan Kami?


Ketika Sang Cahaya Agung masih menampakan gairahnya

Gairah di hampir ufuk barat

Dalam kebisingan kuda-kuda besi kota

Diantara raksasa yang menantang langit

Lebah-lebah kecil itu masih berterbangan

Berterbangan pada menu makanan kota petang itu

Menatap riuh tak peduli masa depannya

Aku menatap semua itu dalam sebuah bilangan waktu

Waktu itu...saat ini...ya saat ini

Aku tak paham

Atau aku yang terlau bodoh ?

Padahal pemikir-pemikir itu sudah berputus perkara

Berputus perkara mengenai lebah-lebah kecil di jalan kota

Perkara mengenai kemana lebah itu akan dibawa

Juga menjanjikan lebah-lebah itu madu

Sayangnya sang pemikir tak punya cukup madu

Madu untuk menyelamatkan lebah-lebah kecil itu

Apa kau melihatnya ?

Sangat lucu...

Berjanji memberi madu tapi tak punya madu

Atau madu itu sengaja dibuang untuk sesaji ?

Dalam Kepenatan Jakarta, Agustus 2005

Mencari Kerajaan Tuhan


Seakan ling-lung setelah lama tidur

Apa sup yang dibuat ibu kebanyakan pala semalam ?

Aku pikun lagi

Lagi-lagi cahaya itu hanya dapat memutar tubuhku

Memusingkan dari satu tempat ke tempat yang lain

Tidak kutemukan Kerajaan Tuhan yang kucari

Apakah aku harus mati dulu?

Ataukah tidur yang lama

Tidak...tidak...

Sebab aku adalah milik Tuhan penciptaku

Tanpa perintahnya aku tak berhak bebas

Ketika sabda Tuhan terhadapku

Yang satu lahir dari suatu kegelapan

Yang satu hidup dari kematian yang lain

Sekarang bolehkah aku bertanya?

Dimana akhir jentera kelahiran ?

masih awal Mei 2006

Tiga malam yang lalu


Tiga malam yang lalu

Di puncak golgota yang gelap

Dari lolongan hyena yang siap menerkam mangsanya

Perlahan diriku menelusuri arah sebuah cahaya

Cahaya kecil yang siap memandu

Langkah demi langkah kutelusuri cahaya itu

Aku tak tahu kemana ia akan membawaku

Kompasku pun tak dapat menunjukan arah yang benar

Lagi-lagi aku tersesat

Dalam kehampaan Jogja , awal Mei 2

Untuk Pak Guru

Pak Guru...

Muridmu ini masih kaku mengeja

Muridmu ini masih kaku menarikan huruf dengan pena

Muridmu ini masih bingung dimana tanda koma diletakan

Muridmu ini masih bingung antara A besar dan B kecil

Tapi itu tak kan penat ku cari

Di kelasmu aku tak sendiri

Tapi jika kau pergi

Akan muncul bejana-bejana kepedihan di hatiku

Pak Guru...

Dapatkah kau dengungkan aku ?

Tentang sebuah negeri yang literat ?

Bolehkah aku meminta info tentangnya ?

Karena aku dan kau, guru dan murid

Kita bergumam bersama

Tentang esensi sebuah karya

Sebuah karya dalam negeri literat

Jogja, Januari 2006


006

Kota Biru untuk Guruku


o/ tiwi

Suasana pagi ini berjalan seperti biasanya. Meski pagi berjalan seperti biasanya, tidak demikian dengan suasana hati Pak seto. Jam dinding di ruang tamunya baru menunjukkan pukul enam kurang seperempat. Pagi itu matahari telah bersinar dengan berani seperti menantang kegelisahannya, kegelisahan seorang guru yang dibatasi haknya. Pandangannya menerawang sambil sesekali meneguk kopi buatan istrinya. Asap rokok yang dihembuskannya menari mengikuti orkes pagi kala itu; teriakan sejumlah pedagang sayur dan roti, kicauan kutilangnya di halaman kontrakan dan deru mesin mobil yang dipanaskan. “Aku harus bergegas berangkat mengajar,”

Pak seto beranjak ke ruang tengah, melewati ruang tamu. Terlihat si Buyung sarapan sambil menonton televisi. Putra semata wayangnya itu sebentar lagi harus melanjutkan sekolah menegah pertama, sekolah zaman sekarang tentu membutuhkan biaya tinggi. Dengan gaji bulannnya yang hanya sedikit tentu makin memberatkan beban keuangan rumah tangganya. Guru, pahlawan tanpa apa-apa. Pak seto kembali gamang. Sambil menikmati makan paginya, Pak seto mendengarkan siaran berita Radio Republik Indonesia (RRI) tentang pembangunan gedung-gedung perkantoran baru yang mendapat banyak dukungan dari para investor. Setelah berita itu disiarkan, terdengarlah dendang selingan berjudul Jakarta City Blues “Pagi-pagi… udah polusi… naik bis kota… salip kiri kanan bikin jantungan, itu sudah biasa… Jakarta city blues…” Ah, syair itu sebiru keresahannya saat ini.

Tepat pukul enam pagi, setelah berpamitan pada istrinya, Pak seto memacu sepeda motornya dan beranjak meninggalkan perkampungan padat penduduk di barat daya Jakarta. Kampung itu selalu terlihat sama meski sudah belasan tahun ditinggalinya; rumah-rumah kecil yang berjubel di gang sempit, selokan yang mampat dan berbau tak sedap, serta tumpukan sampah yang belum diangkut. Pandangannya yang berkonsentrasi dengan keramaian jalan masih menerawang. “Sinting! Menuntut transparansi iuran Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) yang telah dibayarkan saja berbuntut gajiku diturunkan,” Umpatnya.

Bus kota yang merayap di kiri dan mobil sedan di kanan menjebak Pak seto di kemacetan. Keadaan ini selalu memaksanya cari celah untuk menyalip. “Sreeeet” terdengar bunyi stang motor yang tak sengaja bergesekan dengan pintu sedan bercat ungu. Bunyi itu diikuti klakson panjang dan umpatan sang pemilik mobil. Pak seto mengacukannya. Ia memacu motornya makin kencang.

***

Pak seto menghelakan nafas panjangnya setelah letih mengoreksi lembar jawaban essay ulangan mata pelajaran Bahasan Indonesia yang diampunya. Meski melelahkan, Pak seto lebih suka memberikan soal dengan model jawaban essay daripada pilihan ganda. Jika karangan murid dinilainya bagus, jawaban muridnya logis, dan mempunyai landasan ia memberikannya nilai tambah.

Pak seto percaya, muridnya tetaplah manusia yang punya daya kreasi dengan ciri khas kemampuan dan tak ingin dibatasi dalam berpendapat. Dari kepercayaannya itu ia mempersetankan konsep UAN yang memukul rata parameter keberhasilan siswa. Ia sering mengungkapkan kegelisahannya itu melalui rapat guru dan sejumlah tulisan di surat kabar. Celakanya, daya kritisnyalah yang membuat hubungannya dengan beberapa teman seprofesi dan Pak Wardoyo, sang kepala sekolah menjadi tak terlalu baik. Apalagi ditambah ulahnya tempo hari yang mempelopori teman seprofesinya untuk meminta transparansi iuran PGRI yang kemudian berakibat gajinya dipotong.

Sudah menjadi rahasia umum bahwa forum PGRI di wilayah Pak seto justru berfungsi menindas para guru yang kritis. Pengurus PGRI yang juga menjabat di dinas pendidikan sering melakukan kolusi dengan menurunkan tunjangan guru atau biasanya memindahkan ke daerah terpencil. Seperti tradisi zaman orde baru, semua ini dilakukan untuk menyingkirkan ‘pengacau’ dan melanggengkan kekuasaan orang-orang yang duduk di dinas. Pak Wardoyo juga termasuk dalam golongan pejabat dinas.

Sebelum Pak Wardoyo, jabatan kepala sekolah diisi oleh Pak Sukardi. Saat itu, Pak Wardoyo dipastikan terpilih karena pemilihan diselenggarakan dari pusat yang sangat dekat dengannya. Kepala sekolah yang baru diangkat dapat melakukan kontrol terhadap segala sesuatu di sekolah itu. Begitulah aturannya. Pak Wardoyo kemudian mendapat sejumlah daftar tipe guru-guru di sekolah itu dari Pak Sukardi. Daftar itu mencakup tipe guru yang ‘baik’ dan suku ‘menjilat’ hingga guru yang ‘mengancam kestabilan sekolah’ seperti Pak seto. Daftar tersebut memberi semacam lampu kuning bagi kepala sekolah dalam menaklukan guru. Jika guru belum bisa ditaklukan maka kepala sekolah ‘berhak’ menempuh cara-cara menekan lainnya.

***

“Teeet… teeet… teeet,” bel sekolah yang menjerit tiga kali menandakan waktu istirahat makan siang bagi seluruh penghuni sekolah tempat Pak seto mengajar, terkecuali Lik Sri, karyawan kantin sekolah itu. Perantauan Lik Sri dari Wonogiri membimbingnya bekerja ke salah satu sektor usaha informal kota metropolis ini. Setiap siang, kesibukannya dimulai dengan menyiapkan bermangkuk Soto, makanan ringan dan sejumlah minuman. Bau harum masakannya tercium dari ruang guru. Aroma sedap itu memberikan alasan bagi siapapun untuk antre memesannya. Demikian pula Pak seto. Ia beranjak dari mejanya setelah lelah mengajar murid-murid dan memeriksa setumpuk lebar jawaban essay.

“Pesan apa Pak?” Tanya Lik Sri

“Soto dan air es saja, tolong diantarkan ke ruang guru saja” Jawab Pak seto

“Ck… ck… Pak Pak seto ini, saking sibuknya sampai makanpun disambi di ruang guru, sudah sibuk dan jelas gajinya begitu kok masih macam-macam, apa gajinya kurang Pak? Heheheh… Wealah, sekalinya macam-macam kok gajinya dipotong,” Sindir Lik Sri sambil sibuk menaruh taoge dalam mangkuk.

Pak seto hanya tersenyum mendengarkan komentar Lik Sri sambil berlalu meninggalkannya. Ia menuju musola sekolah untuk melaksanakan kewajiban kepada Tuhan dalam keyakinannya.

Soto dan air es yang tadi dipesan, tandas di makannya. Dari pintu masuk, Pak seto melihat Ibu guru Mun berjalan ke arahnya. “Pak Pak seto, dimohon oleh Pak Wardoyo untuk menghadap ke ruangannya,” pinta Bu Mun. Pak seto kemudian hanya menganggukkan kepala saja. Ia berjalan dengan pasti menuju ruang kepala sekolah sambil menduga-duga petaka apalagi yang akan didapatnya.

“Berkaitan dengan beberapa aksi yang diperbuat Pak Pak seto kemarin, maka, Musyawarah Kepala Sekolah (MKS) memutuskan untuk memindahtugaskan Bapak ke salah satu kabupaten di Tasikmalaya.” Vonis Pak Wardoyo.

“Tapi, saya merasa tidak melakukan kekeliruan Pak, kenapa saya dihukum seperti ini?” tukas Pak seto

“MKS tidak menuduh anda melakukan kekeliruan dan tidak bermaksud memberikan hukuman atas kekeliruan itu, kami hanya ingin mengirim satu tenaga guru kesana, keputusan ini sudah final, tak bisa diganggu gugat, yang penting Pak Pak seto tak kehilangan pekerjaan,”

Skak Mat! Mengingat kebutuhan keluarganya yang makin mendesak, pikirannya tak bisa melangkah kemana-mana lagi. Pak seto malas berdiplomasi lagi dengan gaya otoriter macam ini. Minggu depan ia harus segera pindah dengan dipotong gaji pula. Ia merasa semua usahanya sia-sia. Ia berjanji pada dirinya sendiri, untuk kebaikan diri dan keluarganya ia tak akan banyak membuka mulut. Dunia ini tak pernah dimengertinya dan ia harus siap meninggalkan dunia itu.

***

Lima jam sudah Pak seto tak dapat memejamkan matanya. Sebentar-sebentar ia miringkan badannya ke kiri dan kanan. Bola lampu berukuran lima watt yang tergantung di pojok kamar tidurnyanya nampak berkedip-kedip. Mungkin pertanda kawat pijarnya akan putus dan harus diganti. Ambinnya yang berderit setiap ia bergerak meramaikan sunyinya dini hari itu. Nampaknya ambin itu hampir tak kuat menahan berat tuannya. Tak lama kemudian ia menatap istri yang terlelap di sampingnya. Ia merasa kasihan dengan istrinya yang tengah mengandung satu bulan. Ia juga merasa bersalah karena terpotongnya pendapatan meski istrinya mengerti dan tak pernah menuntut macam-macam. .Jika ambin ini tak segera diganti dengan yang baru mungkin ketika usia kandungan istriku sembilan bulan, ambin ini tak akan kuat menahan beban kami lagi. Malam itu Pak seto gelisah. Namun, bukan bola lampu atau ambin yang membuatnya gelisah. Tidak. Bukan Itu.

Pembicaraannya yang terakhir dengan Pak Wardoyo serta pelbagai penolakan atas kegelisahannya selama ini yang merusak akar mimpinya. Ia masih juga tak dapat tidur. Sudah berkali-kali ia membalik bantalnya. Ia juga mencoba menghilangkan pikiran itu, namun tetap tak bisa. “Sinting! Gila!” Umpatnya berkali-kali. Keresahan tentang hal-hal yang tak dimegertinya itu masih saja bertahta di pikirannya. Tak jelas kapan akan bisa dimengerti. Satu hal yang pasti, esok ia akan pindah dari Jakarta bersama keluarganya. Suara petir terdengar bergemuruh. Hujan turun menimbulkan bunyi tuk..tuk.. tuk yang makin lama makin cepat di atap rumahnya.

Pagi ini, banjir melanda perkampungannya. Hujan barang setengah jam saja sudah bisa memaksanya untuk melipat celana panjang hingga selutut. Terlihat dua orang tetangga dekat dan anak Pak seto membantu mengangkat barang-barang ke dalam truk. Sembari melangkah lunglai, lagi-lagi terdengar lantunan tembag Jakarta City Blues “keluar rumah… hujan deras basah kuyup… banjir selutut… itu sudah biasa… Jakarta city blues…” Ia sudah memutuskan untuk meninggalkan semua keresahannya di Jakarta. Walaupun ia belum lega. Setidaknya ia lega karena meninggalkan kegarangan Jakarta city blues.

Jelajahi Mayantara dengan Perumahan Multimedia

Dialog antar personal kini tak harus dilakukan dengan bertatap muka secara langsung. Jaringan internet atau multimedia membuatnya lebih cepat, murah dan mudah.

Globalisasi membawa pengaruh bagi perkembangan informasi dunia di dasawarsa terakhir. Thomas L Friedman, wartawan The New York Times, mengamini bahwa inti globalisasi adalah kemajuan di bidang teknologi dari internet hingga komunikasi via satelit. Dalam perkembangan hidup bermasyarakat, jaringan multimedia dapat menjadi pembentuk sebuah ruang bertemu yang baru dan menjadi ajang bergaul bagi masyarakat perumahan yang makin individualis. Kemajuan teknologi informasi membawa perubahan besar di segala bidang.

Bisnis yang sukses bisa jadi tak harus ribet kemana-mana. Hanya dengan rumah berfasilitas internet, semua transaksi dapat dikendalikan. Warung Internet (warnet) di Daerah Istimewa Yogyakara (DIY) juga menjamur seiring meningkatnya teknologi dan kebutuhan masyarakat. Kafe-kafe berfasilitas hot spot kian diminati. Perkiraan kemajuan teknologi informasi di tahun-tahun mendatang akan makin pesat. Ini diramalkan dari jumlah pelanggan dan pemakai internet per tahun di Indonesia yang makin meningkat (lihat tabel 1). Begitu pula dengan usaha properti di DIY, beberapa developer mulai mengembangkan fasilitas multimedia untuk menjawab tantangan globalisasi.

Merapi Regency, proyek yang dikembangkan oleh PT Sarwo Indah menjadi pelopor perkembangan perumahan multimedia di DIY. “Kita punya konsep integrasi. Jadi, semua fasilitas bisa diakses dengan mudah lewat jaringan multimedia,” Ungkap Abdul Aziz, ST selaku manajer marketing ketika membuka pembicaraan dengan Rumah Jogja (RJ). Developer yang telah 12 tahun berkecimpung di dunia properti ini memanfaatkan teknologi hot zone dengan Motorola Canopy Wireless. Perangkat wireless tersebut menjangkau lebih dari 10 km dan bandwidth sebesar 10 mbps/second sehingga seluruh rumah mampu saling terhubung dalam Local Area Network (LAN). Perumahan yang terletak di utara DIY ini juga dilengkapi dengan televisi kabel, VoiP (jaringan telepon tanpa pulsa), swalayan online, kamera CCTV, dan kafe berfasilitas hot spot. Anda tak perlu khawatir jika suatu saat terjadi sesuatu dengan rumah anda karena perumahan ini telah diasuransikan.

Selain Merapi Regency, The Residence sebagai proyek yang dikembangkan PT Tiga Saudara Group di barat DIY kini juga bergerak mengikuti perkembangan. Cyber Residence @ West sebagai jargon yang diusung makin diperkuat dengan fasilitas gratis abonemen internet, VoiP, Data Center for Community, Data Exchange InterHouse, Hot Spot Wi-Fi di setiap rumah, aplikasi PerumNet untuk aktivitas sehari-hari dan multimedia steraming. Adanya jaringan lokal yang menghubungkan antar rumah berguna bagi warga yang tak pernah bersosialisasi. Sehingga, ia tetap memperoleh informasi dan kesempatan untuk bersosialisasi antar penghuni perumahan. Andre, sang manajer marketing, menyatakan bahwa fasilitas ini dikembangkan untuk mendukung perkembangan DIY sebagai kota pelajar. Arahannya tentu mempermudah akses informasi tanpa batas.

Developer juga tetap melengkapi perumahan yang dikembangkannya dengan fasilitas lainnya seperti The Residence dengan kolam renang, jaringan listrik bawah tanah, sarana ibadah, coffee shop, dan taman bermain. Tempat hunian yang strategis juga menjadi kemudahan tambahan yang diusung developer. Hal tersebut dilakukan agar mobilitas konsumen makin lancar. Menurut Andre, tanggapan konsumen terhadap fasilitas perumahan multimedia beragam. Ada beberapa konsumen yang suka terhadap tren bangunan, umumnya mediteranian yang paling diminati, atau keterjangkauan lokasi dengan pusat-pusat bisnis, pendidikan dan pemerintahan. Namun, ada pula yang benar-benar tertarik dengan fasilitas multimedia. Ini diamini oleh Abdul Aziz, ST, bahwa beberapa konsumen memang mengapresiasi fasilitas multimedia tersebut.

Tren model perumahan mediterania pada umumnya menjadi tren yang diangkat perumahan multimedia. Secara arsitektur, model perumahan tak banyak memberi pengaruh pada penempatan fasilitas multimedia. Amri, ST, arsitek, menyatakan bahwa sistem jaringan global yang digunakan bersifat teknis dan instalasi jadi tak membawa banyak pengaruh pada arsitektur perumahan. “Desain fleksibel, bisa ditambah ruang khusus di dalam, tapi tetap memperhatikan aspek keindahan dan konstruksi bangunan,” imbuhnya.

Peningkatan pelanggan dan pemakai jasa internet membawa dampak positif pula bagi perkembangan jumlah konsumen perumahan multimedia DIY. Apalagi konsumen merasa lebih nyaman dan tak dibatasi jika mengakses internet dari rumah. Menurut Andre, jumlah pembeli di kawasan The Residence terus mengalami peningkatan dalam setahun ini. “Dalam enam bulan ini, 25 unit telah terjual,” tambahnya. Mengenai dinamika jumlah konsumen ini dipengaruhi beberapa faktor. “Salah satunya di bulan-bulan libur seperti tengah tahun, atau idul fitri biasanya terjadi peningkatan konsumen.” Abdul Aziz, ST menjelaskan.

Sebelum anda memutuskan membeli perumahan multimedia, sebaiknya pertimbangkanlah hal-hal berikut ini; legalitas bangunan, fasilitas yang benar-benar anda butuhkan, keterjangkauan terhadap fasilitas publik dan harga. Beberapa developer di DIY tampaknya benar-benar berkomitmen dalam mengurus legalitas bangunan seiring perkembangan regulasi IMB dan pertanahan di pemerintah. Mengenai harga, di Merapi Regency dan The Residence menawarkan variasi berdasar luas bangunan dan fasilitas di dalamnya. Umumnya, penawaran harga mulai Rp. 300. 000. 000, 00.

Perkembangan teknologi multimedia di tahun-tahun mendatang nampaknya menjadi stimulan bagi para developer untuk mengembangkan proyeknya di sektor multimedia. Seperti halnya PT . Tiga Saudara Group yang berencana mengembangkan perumahan ke selatan DIY. Pun, dengan Merapi Regency yang akan terus dikembangkan.

Ketika ruang nyata terasa sulit untuk ditembus, kini semuanya dapat begitu mudah dimasuki melalui dunia maya. Dunia maya yang terhubung melalui jaringan multimedia membuat anda dapat memasuki ruang maya sembari melakukan satu aktivitas lain di dalam rumah. Lebih nyaman dan praktis bukan? (Tiwi)

Tabel 1Jumlah Pelanggan dan Pemakai Internet di Indonesia sepanjang 1998-2004

(Sumber: www.APJII.or.id)

Tahun

Jumlah Pelanggan

Jumlah Pemakai

1998

134. 000

512. 000

1999

256. 000

1. 000. 000

2000

400. 000

1. 900. 000

2001

581. 000

4. 200. 000

2002

667. 002

4. 500. 000

2003

865. 706

8. 080. 534

2004

1. 300. 000

12. 000. 000