Sunday, December 20, 2009

Ikon-ikon Lain Kota Bengawan

Ingin cari kuliner khas Solo selain menu kraton nasi liwet, timlo, sate buntel atau sup matahari? Jika ya, sajian berikut, jangan diluput. Dengan racikan sederhana, menu-menu ini mampu menjadi dedengkot kuliner kota Solo.

Tahok yang biasa didagangkan di Pasar Gedhe Solo bisa menjadi menu pembuka sarapan anda. Sajian yang terbuat dari sari kedelai dan jahe ini baik untuk kulit anda. Bayangkan saja, saya kira pedagang Tahok di pasar ini masih berusia 50 tahunan namun ternyata usianya kini sudah 70, keriput di kulitnya hampir tak kentara lantaran ia selalu minum Tahok tiap hari. Minuman yang awalnya hanya populer di kalangan etnis Tionghoa di kota Solo ini juga baik untuk pencernaan anda.

Sebagai menu inti sarapan anda setelah mencicipi Tahok, kesegaran kuah dalam suasana tradisional bisa anda nikmati di Soto Gerabah. Peralatan makan dari gerabah juga menambah kenikmatan soto tersebut. Selain soto gerabah, pecel Solo dengan saus wijen dan nasi merahnya juga tak boleh diluputkan sebagai referensi menu makan siang anda. Pecel yang satu ini ternyata sudah dikenal oleh banyak artis ibukota.

Jika anda sengaja berkunjung di Solo saat akhir pekan, anda bisa pula menggunakan wahana transportasi kereta dalam kota ”Jaladara”. Apalagi jika anda berminat untuk menjelajahi sepanjang jalan Slamet Riyadi dan berbelanja batik di Pusat Grosir Solo, Pasar Klewer atau Kampung Batik Kauman, sepur ini siap mengantar. Tiket kereta lokomotif dari kayu yang hanya beroperasi saat akhir pekan ini dapat anda beli di stasiun-stasiun di kota Solo.

Bagi para penggemar musik akustik, Jazz atau pencinta barang antik, anda bisa menikmati alunan musik langsung atau sekadar melihat lukisan dan barang antik setiap sabtu malam di pasar Windu Jenar Ngarsodipuro. Beberapa bulan yang lalu pasar ini dibangun kembali dengan relokasi pedagang sekitarnya -dengan pendekatan kultural antara pemkot dan pedagang, win win solution dan tanpa konflik-. Pasar yang tampil cantik dan artistik kala malam ini juga mengediakan fasilitas akses internet wi-fi. Tertarik? Sumonggo dateng ngerawuhi...

p.s: makasih buat tante Jenny yang udah mau dibajak rumahnya dan yang selalu ngajak jalan-jalan kemana-mana tiap aku ke Solo, hehehe.... n also for all my sisters n brothers, aku kangen jalan-jalan, guyon meriah dombret, masak-masak dan makan-makan lagi ma kalian ni, hehehe...

Wednesday, December 02, 2009

Semalam Bersama Pasta All’arrabbiata Jadi-jadian

Italia dan Perancis terkenal sebagai kerajaan kuliner dunia. Elegan dan bercitarasa tinggi, demikian para pakar sering berkomentar. Eits, itu kata para pakar. Bagi kita semua yang ingin mencapai klimaks karya kuliner, kuncinya hanya satu ’Just trust your tongue’ Ya! Seseorang pernah berkata demikian. Saya sepakat.

Saya ingat suatu ketika kakak saya pernah mengajak kami sekeluarga makan di Solo Mio, sebuah restoran Italia di Kota Solo yang kata rekan kakak saya yang juga bule Italia itu rasanya benar-benar orisinil Italia sekali. Maklum, pemiliknya pun orang Italia, katanya. Kami pun memesan beberapa makanan Italia seperti spaghetti, lasagna, pasta dan pelbagai desert yang ditawarkan.

Sesumbar. Saya tak menduga sebelumnya bahwa keganasan lidah orang Italia hanya sampai disitu. Hambar, tak ada cita rasa rempah dan bumbu yang tajam. Setelah saya menceritakan ini pada seorang Jerman, ia hanya bisa menukas ”oh, come on Tiwi.... its not the taste, its about the culture” Ya… akhirnya saya sepakat dengannya, mempercayai lidah saya sendiri, dan bersumpah akan menghasilkan karya yang tak kalah sakti. Uummm, sepertinya kalimat yang terakhir ini telalu eksesif.

Akhir-akhir ini hasrat cook-addict saya kambuh lagi. Citarasa masakan Jogja yang manis-manis dan tentu tidak bersahabat dengan lidah saya sering memaksa saya untuk memasak sendiri. Tapi, kebiasaan itu lama saya tinggalkan lantaran kesibukan. Huh, akhirnya saya bisa memenuhi hasrat yang telah lama tak terpenuhi. Seperti kebiasaan terima gaji di bulan-bulan sebelumnya, saya langsung menggunakan gaji saya untuk mendaftar kelas baru bahasa asing dan tentu saja berbelanja bahan memasak, mencoba resep baru. Satu keputusan bulat hari itu: Its ’Me’ time, tak boleh ada yang ganggu saya memasak hari itu.

Saya pun membuka WWW.ALLRECIPES.COM tempat dimana resep semua tingkatan kuliner dunia termasuk dari Italia dibagi dengan gratis. Pasta All’arrabiata yang konon mudah namun berkelas menjadi pilihan saya hari itu. Sebenarnya, saya memilih resep ini lantaran merindukan momen memasak dan makan bersama kerabat yang sekarang berada di Milan. Berikut bahan dan cara memasaknya:

400gr pasta jenis penne, 500 gr tomat ceri, bawang bombay dan bawang putih masing-masing satu siung, garam, cabai dan xtra virgin olive oil. Cara membuat: Matangkan pasta hingga kenyal (al dente), potong-potong bawang lalu tumis dengan olive oil, setelah bawang berwarna keemasan, buang bawang putihnya, kecilkan api, masukan garam, tomat dan cabai yang dipotong-potong. Masukan pasta ke wajan bersaus tomat lalu aduk bersama bumbu tumisan, pasta pun siap disajikan.

Saya merasa janggal setelah mencoba resep itu. Indah, teman kos yang bersedia menjadi pengicip-icip pasta saya sore itu berkata enak namun tak nanti, lidah saya berkata ”Kurang mangstabs, apalagi, euyhhhh saus tomat tidak sehat! Kau sudah terlalu banyak makan sampah Tiw akhir-akhir ini, jadi, jangan nodai resep sehatmu setidaknya hari ini! (Sok-sokan) kenapa tak kau gunakan saja tomat asli yang ekstra banyak?” Saya memutuskan untuk mencoba resep itu lagi dengan beberapa ’perintah’ lidah saya.

Malamnya, saya membawa bahan-bahan plus daging sapi qurban ke kos Ino, seorang teman yang sedang senang-senangnya mengarap penelitian dan skripsi bersama seorang dari negeri raja cokelat Eropa. Saya butuh partner untuk memasak sambil tertawa sejenak agar hasil maksimal. Dengan tambahan minyak dan garam saat merebus pasta, tumisan yang banyak merica, tomat, cabai dan bawang putih -yang tidak dibuang setelah ditumis bersama bambang bombay- plus toping tumisan daging sapi tomat ala saus bolognaise –yang samasekali tidak dianjurkan- cukup berhasil menjadikan karya saya, Ino dan Ois spesial, setidaknya bagi orang Asia macam saya dan Ino. Para pakar kuliner Italia mungkin marah dan menuduh kami sebagai tersangka bastardisasi resep but we r just trust our tongue. Yeahh namanya juga Pasta All’arrabiata, artinya kan marah-marah.

Dua dedengkot Eropa (Italia dan Perancis) memang sensitif sekali terhadap kelestarian kuliner mereka. Gimana tidak sensitif? lha wong masuknya gerai Mc’D di Piazza Spagna -alun-alun identitas Italia - dan Museum Louvre, Paris saja sampai mendatangkan reksi ekstrim dari anggota gerakan Slow Food sejak 1986 sampai sekarang. Makanan sampah seperti Mc’D dianggap menodai khazanah kuliner disana. Universitas Slow Food bahkan didirikan di Italia. Betapa pentingnya orisinalitas nilai kesehatan dan kesenian kuliner bagi mereka.

Menurut saya, menciptakan orisinalitas diri sendiri dengan memodifikasi yang orisinal, itu sah saja. Jika anda sepakat, maka ciptakanlah kuliner anda sendiri, pertahankan nilai-nilai seni dan kesehatan anda. Namun, bagi anda pencinta orisinalitas citarasa Italia dan tidak ingin ribet memasak, saya merekomendasikan Solo Mio. Jangan sekali-sekali berburu spaghetti di Kusuma Sari atau WS (dua-duanya masih di Solo juga) kecuali anda ingin memadukan citarasa Eropa-Jawa, semua terserah anda. Orisinal atau tidak itu politis alias penuh kepentingan sang pemberi fatwa, silahkan anda putuskan sendiri mana yang orisinil dan mana yang tidak. Yang jelas kuliner juga menjadi khazanah kebudayaan yang terus bermetamorfosis dan nomaden.

Tips bagi teman-teman sesama mahasiswa di Jogja, saya sarankan untuk membeli sayuran di pasar tradisional pagi hari karena lebih fresh dan murah, kecuali untuk bahan-bahan yang tak tersedia di pasar tradisional seperti paprika, oregano atau daun parsley. Anda bisa mendapatkannya di super indo JaKal, lebih lengkap, segar dan murah. Hindari belanja sayuran di Mirota –sayurnya tidak segar, tapi harga dan koleksi kebutuhan rumah tangganya cukup reccomended, mahasiswa bgt lah- atau di carrefour –yang mahal sekali dan tidak lengkap-. Tapi, semuanya... terserah anda... segar, murah dan lengkap itu politis (halaaah, kalimat yang terakir ini samasekali tidak penting)

Sekian.

Catatan paling akhir; Semua merk yang disebut tentu punya tendensi yang tentu bermafaat bagi anda ;)

Friday, August 07, 2009

Cerita Kebangkitan Petani Berdaya di Sleman

Sepertinya obrolan saya dengan beberapa petani siang itu mencerminkan betapa para periai negeri ini telah ditampar oleh petani yang notabene rakyatnya sendiri. Pastilah sang pemuka struktur negeri tak pernah menyadari bahwa kini petani mulai sadar akan adanya pertukaran yang tidak setimpal jika berurusan dengan negara, korporasi dan akademisi. Triplehellish, demikian petani menyebut ketiganya. Untung saya tidak mengaku bahwa saya mahasiswi dari salah satu perguruan tinggi yang saat ini hanya tinggal menara gading. Niatan saya saat itu hanya mencoba memahami pemikiran mereka sebagai manifestasi gerakan sosial petani.

Joglo Tani yang merupakan akronim dari oJO GeLo Tani merupakan salah satu organsasi petani yang tebentuk karena kekecewaan petani terhadap taji-taji sang triplehellish. Perkumpulan ini memiliki semangat pertanian organic dan terintegrasi. Hasil pertanian dalam organisasi ini telah memiliki jaringan pemasaran yang luas di seluruh Indonesia. Saya yang berlatar belakang sospol pun bak mendapat kucuran ilmu tentang pertanian jenis tersebut. Kebetulan siang itu aku membawa recorder, sehingga terekamlah semua pembicaraan kami siang itu. Percakapan kami pun mengalir.

“Emang mba Tiwi sering belajar ilmu apa dulunya?” Tanya salah satu petani, yang tahunya saya sudah lulus.

“Saya dari sosiologi pak, kan ga ada hubungannya dengan dunia pertanian. Saya ga tau apa2 soal pertanian. makanya saya pengin belajar banyak dari sini,” sahutku.

“Lho, siapa bilang ga ada hubungannya? Sosiologi kan mempelajari pertukaran kepentingan juga kan? Dalam konteks ini kami sudah merasa dikecewakan oleh kepentingan negara. Yang bisa menggerakan petani ya petani sendiri, bukan negara apalagi militer. Kami kecewa dan akhirnya sadar betapa banyak kepentingan politis dalam organisasi petani. Akhirnya negara tak sepenuhnya berpihak pada petani, padahal 60% wilayah kita adalah wilayah agraris,” Tutur pak TO yang menjadi pemrakarsa organisasi ini.

Lebih lanjut, Pak TO menjabarkan tekanan-tekanan yang melarabelakangi hadirnya gerakan sosial ini. Ia mengharapkan hal ini disadari oleh para petani di seluruh Indonesia. Tekanan-tekanan tersebut antara lain;

1. Tekanan ekonomi, contohnya bibit dan pupuk yang saat itu masih tergantung membeli pada tengkulak. Pada saat teman-teman petani menjadi pembeli maupun penjual, hokum pasar tetap berlaku, mereka tak berkuasa atas apa yang mereka beli dan jual, dan akhirnya petani yang dirugikan. Akhirnya mereka membuat pupuk sendiri sebagai manifestasi intelektual organic. Buktinya, mereka telah menemukan satu jenis pupuk murah dan berkualitas untuk mereka gunakan sendiri, dan mereka bersedia membagi resep pupuk tanpa harus menggunakan royalty. “Untuk apa mengambil keuntungan dari sodara kami yang sesama petani? Bukankah ilmu seharusnya diamalkan?” Ungkapan sederhana itupun terucap dari salah satu petani.

2. Tekanan alam, teman-teman petani setelah menanam bibit, hasilnya tak dapat digunakan, sehingga mereka selalu membeli bibit baru lagi. Pupuk yang di beli juga tidak tahu terbuat dari apa sehingga pupuk itu tidak menyuburkan tanah tapi merusak tanah. Obat pun demikian, akhirnya malah tidak melestarikan lingkungan. Akhirnya yang terjadi tanah semakin rusak, air sulit, siapa yang merusak? Ya petani, maka alampun menekan kita juga. Akhirnya kita kembangkan obat dan pupuk sendiri yang lebih ramah lingkungan.

3. Tekanan sosial, bahwa petani di Indonesia ya kastanya ya paling rendah menjadi petani tu karena lahan yang sempit bahkan tidak ada lahan, sehingga orang menilai tidak menjanjikan. Kita lihat saja, kalau tukang prakir mau kredit motor 500rb sudah bisa bawa pulang, kalau petani? 1jt ninggal KTP ya ndak bisa. Coba dipikirkan; diantara korporat, petani, pemerintah dan akademisi siapa yang dikonstruksi paling rendah? Pasti petani. Padahal, yang berperan besar dalam hasil pertanian ya petani.

4. Tekanan budaya. Pertanian merupakan budaya juga, penjelasannya, bertamu kan mestinya jangan ngatur tuan rumah. Kenyatannya sekarang dalam pertanian, banyak tamu yang ngatur tuan rumah. Contoh; mereka di suruh ini, pupuk disuruh ini obat disuruh ini. Dalam konteks ini tamu adalah perusahaan kapitalis. Mereka hanya memaksa menanam ini itu dengan obat dan pupuk yang membahayakan lingkungan, jika hasilnya buruk, mereka ingkar janji tak jadi jamin pasar. Investor datang, negarapun ditekan juga. Pembagian hasil terkadnag tak setimpal, yang penting perusahaan menguasai bibit dan pasar. Ibaratnya, petani ingin membangun rumah. Kurang pintunya, terus diutangi kapitalis untuk beli pintu dan kunci, tapi yang pegang kunci kapitalisnya, padahal rumahnya kan milik petani, tidak adil kan? Kalau kita sendiri dapat membuat sistem yang lebih adil tanpa melibatkan kuasa modal, kenapa tidak?

5. Petani tertindas pasar global dan tertekan dengan standar global. Maka, petani ingin meningkatkan kapabilitas mereka mengembangkan dari mentah hingga produk jadi yang memiliki nilai jual berlipat daripada produk mentah.

6. Tekanan kebijakan. Selama ini kebijakan pemreintah tidak sepenuhnya berpihak pada petani. Kalo kita melihat Indonesia sebagai wilayah agraris, namun anggraran untuk petani tak menjadi prioritas. “Pertanian kita itu tidak berkelanjutan, karena ego sektoralnya tinggi, obyeknya petani tapi yang membidangi banyak sekali, urusan air sendiri sendiri, ternak sendiri, kalo tani dipisah dengan peternakan itu akan terjadi kehancuran karena tidak akan ada kelestarian ekologis, simbiosis mutualisme tidak terpenuhi dan petanipun tergantung, tidak mandiri, jadi kecewa,” Jelas pak TO. Akhirnya terbentuklah pertanian terintegrasi dimana peternakan dapat dimanfaatkan untuk pertanian dan perikanan.

Nah, tidakkah kini pemerintah seharusnya malu jika ternyata di tingkat bawahpun janji mereka bak pepesan kosong? Toh, sang pengumbar janji yang ngakunya cinta wong cilik pun kini sibuk memperdebatkan politik praktis terkait keberlanjutan kuasa mereka. Sedangkan rakyat sendiri? Mereka berhasil bangkit tanpa campur tangan pemerintah dan justru skeptis dengan pemerintah. Lalu pemimpin hasil electoral pun kini mandul kalau di tingkat komunitaspun rakyat mampu mengembangkan diskursus dan berdaya

Monday, May 25, 2009

Derai Posfeminisme Chicklit dalam Deras Arogansi Literatur

"Ya, ampuun...kenapa rak buku barumu sekarang ada majalah dan novel chiklitnya? ga ada bacaan yang lebih mutu?" Tanya seorang teman yang ngakunya intelek itu dengan nada yang arogan. Setidaknya pertanyaan itulah yang menuntun saya pada tulisan ini. Yah eheem... membaca reproduksi tanda tokoh wanita yang dikonstruksikan pada media majalah dan novel wanita metropolis yang cenderung tangguh, 'seksi', acuh tak acuh, tidak menganggap diri sebagai korban, dan menginginkan kuasa akhirnya membawa Ann Brooks main mewacanakan apa yang disebut dengan posfeminis dalam Posfeminisme & Cultural Studies (Jalasutra, 2008). Saya mungkin tak bisa bertutur banyak perihal manifesto wacana posfeminis, mengingat pengetahuan saya tentang hal tersebut masih sangat prematur.

Dalam buku tersebut, Brooks mendekonstruksi kuasa wanita dalam peran ganda dan budaya patriarkhi. Ini menggelitik saya untuk membaca dan mengamati novel-novel ciklit. Seminggu yang lalu saya baru saja menamatkan novel Allison Pearson yang berjudul I Don't Know How She Does It -Sorry mba Sisca n mas Co2, aku baru sempat membacanya sekarang, bukan tiga tahun lalu saat kalian menghadiahkannya bersama Sejarah Filsafat Barat, Reading @ the University dan Good Essay Writing-. Mengamati perjalanan sang tokoh utama, Kate Reddy, ibu muda yang 'seksi', menjalankan peran ganda; dalam rumah tangga dan kantor dengan rekan-rekan kerja yang seksis, sang Albeheimer, sembari harus mengamati kurs lalu memprediksi dan meramalkan keputusan besar di perusahaannya merupakan fenomena yang tak bisa dihindari bagi wanita karier di perkotaan. Sang Pearson pun menjabarkannya dengan ringan, apa adanya dan tanpa menghakimi. Akhirnya, sang Kate pun jatuh pada satu titik sekaligus disaat itulah dia memenangkan 'keadilan' dengan caranya sendiri tanpa gembar-gembor dengan teori feminisme. Kultur Inggris sebagaimana setting novel tersebut sebenarnya pun tak jauh beda dengan kultur Jawa yang monarkhi. Maka, secara tak sengaja otak saya pun menganalogikannya dengan perjuangan ibu saya selama ini. Ibu dididik dengan budaya 'Jawa' (diberi tanda petik karena masih belum tau Jawa yang sebenarnya seperti apa) yang kata feminis cenderung patriarkhi, mengekang, dan mengonstruksikan wanita cantik harus tampil indah, menjaga nama suami, suargo nunut neroko katut, dsb...dsb... Meski demikian, Ibu terus 'mengabdi' dan akhirnya sekarang kekuatan aktor-aktor dalam budaya jawa yang patriarkhi dan 'menindas' ibuku itu melemah kekuatannya dan tak bisa hidup tanpa ibuku. Sedang ibuku? Sukses menunjukan kekuatan beliau dan berhasil menjadi single parent bagi ketiga putra putrinya meski perjuangan beliau tidaklah ringan.

Dekontruksi lain yang ditawarkan Brooks yakni tentang kecantikan. Selama ini feminisme selalu memposisikan konstruksi kecantikan ala patriarkhi dalam iklan produk kecantikan dan media itu yang menindas perempuan. Analisis Brooks bukan mengkritik tentang konstruksi kecantikan yang menindas-vertikal, melainkan ia menyajikan beragam analisis tanda tentang konstruksi kecantikan secara horizontal. Yah... semangatnya posmodern banget lah. Dua tahun yang lalu iseng-iseng saya membuka-buka majalah cosmopolitan di sebuah warung internet karena sedang antre. Dengan Fun, Fearless Female-nya majalah ini menawarkan isi yang sangat beragam. Kesan pertama sewaktu membaca-baca majalah tersebut; "Wuaaah, majalah kok iklan thok, full branded, ilusi kapitalisme dengan menjadikan tubuh perempuan sebagai komoditas, dsb.. dsb..." Namun, akhirnya saya sampai pada satu rubrik yang menggambarkan pengalaman seorang wanita karier yang akhirnya melepas kariernya, mengabdi di dunia pendidikan dan tetap memiliki pemikiran yang sangat kritis . Penampilan wanita tersebut jauh dari citra kecantikan yang selama ini dikonstruksi oleh sederetan iklan pelangsing tubuh dan pemutih wajah di majalah tersebut. Tak disangka, apa yang diperjuangkan wanita tersebut ikut membantu penelitian saya dalam sebuah jurnal mahasiswa dan menginspirasi skripsi saya sekarang.

Di edisi cosmopolitan yang lain, disajikan pengalaman sepasang ibu muda kembar; Rosi dan Rian yang berpenampilan bak bintang sinetron namun mereka berhasil membebaskan warga di kolong jembatan tiga, tol gedong panjang, pinggir kali Sunter, Cilincing, bantar gebang serta kantong kemiskinan di jakarta lainnya dari buta huruf dan kemiskinan. Kini mereka telah memiliki murid hingga 800 orang. Agar tak terjebak pada 'licik' nya LSM yang menjadikan kemiskinan sebagai proyek dagang, kedua wanita tersebut tetap kritis terhadap LSM plat hitam mauopun merah yang mengajak meraka kerjasama. Saat rosi dan rian diundang ke dalam diskusi sosialisme dan disindir dengan penampilan mereka, toh mereka tetap melenggang kangkung dengan busana bermerk, acuh tak acuh menyatakan bahwasanya sosialismepun sebenarnya sama menindasnya dengan kapitalisme. Dalam rubrik semacam itu, disajikan bagaimana pemikiran tentang konstruksi kecantikan dibenturkan. Bahwasanya permasalahan hegemoni dan kesadaran tergantung siapa yang mengkonstruksi. Jikalau feminisme mengklaim dirinya sebagai yang menyadarkan atas penindasan kapitalisme toh posfeminis justru mengklaim usaha feminisme tersebut dengan menilainya sebagai usaha membentuk hegemoni tandingan. Posfeminisme akhirnya menonjolkan kesadaran dan nalar pada diri masing-masing perempuan tanpa menafikan kekuatan iklan kosmetik di media dalam membentuk konsep cantik. Akhirnya, toh wacana posfeminis tetap menyerahkan konstruksi kecantikan pada kenyamanan dan rasionalisasi dalam diri masing-masing perempuan.


Jantung Metropolitan setelah menghadiri pernikahan saudara yang melelahkan

Thursday, May 07, 2009

What Education has Taught Me

I’ve been studying in the formal education institution since a long time ago. But, since I becoming university student, I just realized that we were trapped on chaotic problems education system. I think, the main problem is people’s mind construction about their respectful toward diversity.

As the common issues, we can’t against the diversity of thought, religion, ethnic group, gender, social and economic status, physically n mental condition. But, why the government seems like won’t to accept that situation? For example, in the past, when new era of Soeharto’s governmental cabinet (that call ‘orde baru’ in Indonesia) my comprehension about our state history is constructed by government’s false consciousness. For example; let me ask you a question; What do you think about socialism and communism? A cruel community? Killed everybody who believe in God on 1966? A dirt ideology that must against by all of us? Many research reported that’s not true. The lesson of history for elementary, junior, and high school students are constructed by orde baru for their corrupt system, sustainability of status quo and give a way for capitalism to grow up in Indonesia. A high obligation, financial crisis, so many chaos in the big cities and the explosion of people’s revolt are reasonable consequences that must paid by government on 1998. Finally, reformation told the truth. Although a few truth has revealed, it didn’t mean that social condition post-1998 reformation are so much better. Many civil groups who struggle for orde baru’s fall out and forming new age of democracy are uncertain about what kind of system must bring to a better change.

Since orde baru governmental cabinet had been dominated political system, all sector are controlled include the education institutions. They caught everybody who have different thought that may harmful for the government. They against diversity with a policy that make we must wear uniform, an developmentalism mind construction about education parameters which is so far away from local culture approach and humanism aspect, segregation of schools (many examples; international school with expensive fee, special school for disable student, final grade standardization for every level of school n etc). Why they must be segregated? Because they are not be able to access education together with other students? I thought that’s false. Many research reported that multicultural and inclusive education are good for academic and social condition student’s grow. Although that, terrible system of education as like happen in orde baru is still turning now.

Once upon a time, I ask a question to my self; if the diversity around us, why the system must made the same standardization? In fact, when the government make some kind of multicultural education policy, at the same time, they decided homogeneous standardization education policy. In other condition, the poor still can’t access high cost of education in university.

Every human have their ability and disability right? Every ethnic group have their local genius and necessary right? So why we don’t make a cultural approach on learning system? And every human have their own rights to access education, no matter what their condition. Because education is very important for human development. Its can be a kind of way to make poor people free from poverty. Education is helping the child realize his potentialities, likes Erich Fromm said.

Someone ask me that to escape criticism, do nothing, say nothing and be nothing. If I want to change, just take my times to make a small and simple change. I knew that the problems in education is so hard to finish. I have a dream to make a non-formal simple school for all students who can’t access formal education. What a stupid idea, right? But now, me and my community is still dream and try to help people who can’t access formal education with small and simple way. Because, I didn’t too worried about wrong education, but I more worried if there are illiterate people can’t access education at all.

Wednesday, April 01, 2009

Kewajiban Memerdekakan Kaum Terdiskriminasi Siapa Punya? (Catatan dari Bilik si Enam SKS)

Catatan ini hadir bukan saja sebagai reaksi atas apa yang menghentak tatkala aku mewawancarai seorang narasumber untuk data pra penelitian proposalku. Skripsiku membahas tentang manifesto kebangkitan sebuah kaum yang terdiskriminasi karena hegemoni pemerintah. Namun, kaum yang terdiskriminsi itu dapat bangkit di level kebijakan dengan hegemoni tandingan mereka.

Kupikir tak perlu kujelaskan kaum terdiskriminasi macam apa yang kuteliti. Yang jelas, suatu kaum dikatakan terdiskriminasi ketika ia teralienasi dari diri, kuasa yang besar dan lingkungannya karena ketimpangan sumber daya. Wujudnya bisa macam-macam; suku dan ras minoritas, kaum miskin, perempuan, buruh, termasuk difabel (different ability people), istilah ini masih menjadi perdebatan hingga sekarang, ada yang menyebutnya sebuah penghalusan bagi penyandang cacat, ada yang bilang istilah ini merupakan dekonstruksi dari kecacatan yang sebenarnya permasalahan sosial bukan masalah kesehatan. Namun, toh istilah ini sudah diserap dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) edisi paling gres. Istilah cacat muncul karena yang cacat dianggap tak mampu, padahal berdasarkan beberapa penelitian Girolam Cardano, ketika indra satu tak berfungsi, indra lain akan berfungsi lebih optimal.

Aku cukup sadar, ketika aku bersentuhan dengan kaum terdiskriminasi akan terjadi reaksi-reaksi kritis terhadapku dari mereka. Dan yang kipikirkan pun terjadi.

“Alaaaaa.. kamu meneliti ini ya cuma buat kepentingan skripsimu kan? Toh setelah kamu selesai penelitian kami tak akan berubah menjadi lebih baik!” Ujar seorang aktifis sebuah LSM yang konsern terhadap aksesibilitas kaum terdiskrimnasi tatkala kuwawancara.

“Akademisi selalu memandang kami sebagai fenomena yang unik, layak diteliti. Setelah itu? Kami hanya dieksploitasi untuk pencarian data-data tanpa sebuah konsekuensi yang bermanfaat bagi kebangkitan kami. Kami sudah capek diwawancara terus! Akademisi tu cuma bisa sok-sokan dengan teori-teori yang mereka kuasai, di tataran praktis? Nol besar. Buat apa kalian kuliah demokrasi dan HAM kalau hanya jadi isu pencari nilai. Kalian tu mirip politisi yang dalam kampanyenya selalu membawa-bawa kaum terdiskriminasi tanpa mewujudkan janjinya ketika ia menjabat,” Lanjut mas-mas aktifis yang sepertinya miskin perhatian ini dengan panjang lebar.

Well, fenomena ini patut disyukuri daripada jika mereka tak punya kesadaran kristis sama sekali. Akupun menyahut ocehan kritis dari mas-mas yang juga ngaku sebagai filsuf muda ini.

“Jadi apa yang diharapkan dari akademisi? Bukankah perubahan tak akan terjadi tanpa pemahaman sensitifitas terhadap teman-teman? Narasumber yang kuwawancara tak hanya dari pihak terdiskriminasi, tapi juga pemerintah, akademisi dan semua stakeholder yang terlibat dalam manifesto kebangkitan teman-teman. Dari situ akan ada obrolan-obrolan dalam sebuah ruang public yang dapat mengartikulasi kepentingan masing-masing stakeholder.”

Setelah aku sedikit bernafas aku melanjutkan lagi “Ya! fenomena meneliti tanpa mengubah memang ada, namun bukankah dari kesombongan yang hina itu kami bisa belajar dan mengubah struktur?Tapi kurasa bukan saatnya lagi menggunakan istilah kami, saya, anda dan mereka, sudah saatnya menggunakan istilah kekitaan untuk mewujudkan tatanan yang lebih manusiawi. Perubahan tak akan terjadi dalam waktu singkat, apalagi dalam struktur birokrasi yang terkonstruksi untuk selalu mensegregasikan tiap manusia seperti di Indonesia ini. Bukankah perubahan ke kondisi yang lebih humanis seperti terjadi di Eropa yang kini lebih multikultur itu melalui perjalanan yang panjang? Bukankah perubahan akan lebih massif ketika kaum terdiskriminasi juga yang memiliki inisiatif bergrak selain kebersamaan dengan stakeholder lain? Semua tak lepas dari pihak-pihak yang paling merasakan diskriminasi itu. Ingatkah jika Tuhan tak kan mengubah nasib suatu kaum sebelum kaum itu yang mengubah nasibnya? Mohon bantuannya untuk memberikan masukan apa selanjutnya yang harus dilakukan untuk rencana program keberlanjutan setelah penelitian agar aksesibilitas lebih terbuka untuk kebangkitan teman-teman. Saya sering mendiskusikan tema ini dengan teman-teman lain di sospol, mereka pun bersedia ikut membantu,”

Balik lagi ke perdebatan kebangkitan kaum terdiskriminasi. Pertanyaan ini amsih terlintas dibenaku; kewajiban terbesar untuk mewujudkan kesamaan akses bagi semua orang yang berbeda-beda itu punya siapa ya? Pemerintah dan masyarakat mayoritas selalu dicurigai, kalau akademisi dengan kebiasaannya meneliti untuk kemudian mewujudkan program keberlanjutan dibilang eksploitasi, tapi kalau tak memberi perhatian dikira diskriminasi, enaknya gimana?

Monday, March 16, 2009

Facebook Ergo Sum

Akhirnya bisa reuni sabtu pagi setelah sejuta tahun lamanya tak bertemu karena alasan kesibukan para workinprojectholic dan ‘konflik’ masa lalu yang terjadi di rumah kecil ini. Reuni dihadiri satu lelaki yang kini jadi supervisi PKM dan bercita-cita cepet lepas kuliah gandanya di UGM dan UIN, satu lelaki yang agaknya bakal cepat menyandang gelar filsuf, Habermas muda yang ga sadar kalo udah tua tapi merasa belum pantes lulus, dan tiga perempuan yang ingin cepat dapat gelar sarjana dari UGM. Eh, yang satu sudah jadi dedengkot di majalah alumni.

Masalah kerjaan yang belum selesai –sorry,karena kesalahan satu orang-- lagi-lagi jadi pemersatu diantara kami –tanpa kehadirannya yang bersalah--. DASAR WORKHOLIC! Namun, diantara pembicaraan-pembicaraan seru soal kerjaan itu ada pembicaraan yang paling ga penting; facebook.

“Ya ampuuun… kok kamu ga ada facebook sih?”

“Nek butuh komunikasi kan bisa lewat HP atau YM”

Kan ga bisa walll to wall?”

“!?!?!”

Percakapan diatas termahtub antara seseorang dengan mahasiswa komunikasi yang ngakunya pengikut Habermas tapi menguasai informasi dan sekarang kena batunya karena ga tau facebook.

“Emang wall to wall kih opo to tiw? Asem kiye, dah banyak orang nanya kok aku ga eksis di FB setelah keranjingan ngopeni blog dan komik” tadi pagi mahasiswa yang biasa dipanggil Abdi itu menanyakannya padaku.

“Ya ampun.. ra ngerti? Kalah karo Putra koe, lha wong Putra we punya account” sahut Nura

“Kae aku ra sengojo, asline gawe buat Kembang Merak,” Kata Putra yang telah mengawali reuni hari itu dengan memerawani segel soes kering yang ga tau punya siapa dan untuk siapa gerangan. Pokoknya soes itu ludes tanpa ijin yang punya. Akhirnya satu angkatanku menjadi tersangka penggelapan makanan tak berdosa itu.

“wes, pokoke ajang komen-komen dari temanmu dimana eksistensimu akan digadaikan disana, hahaha, wes ndaftar FB wae nek sempat ngopeni hahaha..” jawabku

“Aseeem, kok koe wes duwe? Dasar Facebook ergo sum! Aku tak kon ndaftarke Jehan trus tak kon nggoleke konco ah..”

Wah.. ergo sum.. ergo sum… Jadi ingat Rene Descartes, jaman semono dia mendiktumkan Cogito Ergo Sum, aku berpikir maka aku ada. Lah.. kalo jaman sekarang terutama di kalangan anak muda yang doyan internet berlaku; Facebook Ergo Sum, ada facebook maka aku ada. Dasyat! Pengaruh facebook yang ternyata meraup saham sekitar 15 milyar dolar AS bahkan seorang suami membunuh istrinya karena tahu status istri di facebook masih di-single-kan. Setiap hari ratusan juta orang mengakses facebook. Tak terkecuali, pun dengan calon psikolog UGM godhokan Bu Nela di UPTB yang menggarap skripsi soal jejaring facebook.

Tatkala facebook jadi ajang representasi identitas yang tidak dapat dihadirkan secara nyata. Gambar foto diri, teks-teks identitas yang dituangkan dalam jejaring sosial virtual acapkali bukan diri orang tersebut karena dunia virtual memungkinkan untuk itu, sangat bebas. Bahkan, negara sekalipun tak dapat mengontrol jejaring semacam itu. Well, isoke lha wong yang namanya dunia virtual pastilah menjadi penjelajahan untuk menemukan peran diri, identitas dan eksistensi ketika akses terhadap beberapa jenis modal di dunia nyata terbatasi. Hahaha pokoke Facebook ergo sum!

(Hak Cipta judul ©mrizalabdi)

Saturday, February 07, 2009

Seorang Fibonacci Muda Bilang Saya akan Mati pada Usia 34

Satu lagi dedengkot ilmu empiris asal Italia yang saya kagumi; Leonardo Fibonacci. Masih ingat permainan matematika di sekolah menengah tentang angka Fibonacci? Bagi anda pengikut paham materialisme yang terbukti lemah setelah kemunculan teori Big Bang itu mungkin akan menafikan model susunan angka ini.

Pada abad 12, Fibonacci menemukan susunan angka yang konon selalu mengingatkan makhluk hidup akan keberadaan Tuhan. Ia juga yang telah memperkenalkan sistem angka pada tradisi Hindhu. Begitu dasyatnya kekuatan angka ini sampai ia dijuluki angka ajaib hingga angka emas. Lalu berapa dan bagaimana susunan angka Fibonacci itu? Angka Fibonacci adalah urutan angka yang diperoleh dari penjumlahan dua angka didepannya. Contohnya: 0, 1, 1, 2, 3, 5, 8, 13, 21, 34, 55, 89, 144, 233, dst...

Jika anda masih ingat istilah phi (1, 618) anda pasti akan mengingat pula keajaiban temuan sang Fibonacci ini. Phi adalah hasil bagi angka Fibonacci dengan angka sebelumnya yang mendekati 1, 618 atau tepat 1, 618. Misalnya; 3:2, 21:13, 233:144, dll. Bilangan yang sering disebut rasio emas ini besarnya akan tetap pada setiap deret 13. Jadi misalnya, besarnya hasil pembagian dari urutan pertama akan sama pada urutan ke 14. Pada urutan ke 13 ia akan mencapai besar 1, 618. Sebelum itu, memang berselisih, namun dapat diabaikan. Konon dan telah banyak terbukti oleh banyak ilmuwan, bahkan mungkin bisa oleh anda sendiri, rasio emas ini keramat karena dikandung oleh setiap makhluk hidup ciptaan Tuhan. Pola rasio emas inilah yang sering saya dan kawan saya gunakan dulu untuk bermain puzzle Fibbonacci.

Beberapa hari yang lalu saya bertemu seorang kawan lama saat perjalanan ke Jogja dari Solo. Kebetulan kami bertemu karena kami satu gerbong kereta Prambanan Ekspress (Prameks). Kereta Prameks memang sering mempertemukan saya dengan banyak kawan yang lama tak bertemu. Perjumpaan kami tak banyak membuahkan pembicaraan tentang kenangan masa sekolah, meskipun saya sepakat dengan lirik yang pernah didengungkan Chrisye;... masa-masa paling indah, masa-masa di sekolah.. hehehe. Pembicaraan yang membuncah diantara kami justru tentang bilangan Fibbonacci. Mahasiswa jurusan matematika yang juga keranjingan dengan filsafat sejak SMA ini pun coba memutar-putarkan zona otak kiri saya dengan bilangan Fibonacci. Bagi kawan saya ini, matematika adalah keindahan dan keseimbangan pun dengan bilangan Fibonacci.

Awalnya ia membuat saya untuk berusaha berjarak dengan ingatan jangka panjang. Saya harus mengingat-ingat lagi tentang bilangan dan permainan Fibonacci yang sering kami mainkan beberapa tahun lalu. Pantas saja saya tak banyak mengingatnya karena disiplin yang saya pelajari selama lebih dari tiga tahun ini tidak memungkinkan saya untuk sering bersentuhan dengan barisan hitung dan rumus bilangan angka. Akhirnya, sedikit demi sedikit ia memberi saya kode-kode, dan saya sukses mengingatnya kembali. Ingatan saya kembali pada banyak rasio emas yang pernah kami temukan dulu, baik lewat eksperimen kecil maupun keterangan mesin pencari di internet yang kami buktikan sendiri. Bukti-bukti keberadaan rasio emas tersebut antara lain:

  1. Perbandingan anggota tubuh kita selalu sesuai dengan rasio emas ini. Coba anda buktikan sendiri; Jarak antara pergelangan tangan dan siku : jarak antara ujung jari dan siku, panjang kepala :jarak antara garis bahu dan unjung atas kepala, jarak antara garis bahu dan ujung atas kepala : jarak antara pusar dan ujung atas kepala, jari-jemari manusia memiliki tiga ruas. Perbandingan ukuran panjang dari dua ruas pertama terhadap ukuran panjang keseluruhan jari tersebut menghasilkan rasio emas (kecuali ibu jari). Juga dapat diihat bahwa perbandingan ukuran panjang jari tengah terhadap jari kelingking merupakan rasio emas pula. Lebar wajah: panjang wajah, panjang hidung:jarak antara bibir dan titik di mana kedua alis mata bertemu , dst... Dasyat kan? Konon Leonardo Da Vinci menggunakan rasio emas ini untuk mengukur besar Monalisa yang akan ia lukis.
  2. Spiral yang didasarkan pada rasio emas memiliki rancangan paling tak tertandingi yang dapat anda temukan di alam. Sejumlah contoh pertama yang dapat kita berikan adalah susunan spiral pada bunga matahari dan buah cemara. Panjang garis spiral cangkang laut paling depan : berikutnya juga membetuk rasio emas ini. Ada lagi contoh yang merupakan penciptaan tanpa cela oleh-Nya dan bagaimana Dia menciptakan segala sesuatu dengan ukuran: proses pertumbuhan banyak makhluk hidup berlangsung pula dalam bentuk spiral logaritmik. Bentuk-bentuk lengkung spiral ini senantiasa sama dan bentuk dasarnya tidak pernah berubah berapapun ukurannya. Anda bisa cek ukurannya pada daun, tangkai, serangga
  3. DNA tersusun atas dua rantai heliks tegaklurus yang saling berjalinan. Panjang lengkungan pada setiap rantai heliks ini adalah 34 angstroms dan lebarnya 21 angstroms. (1 angstrom adalah seperseratus juta sentimeter.) 21 dan 34 adalah dua angka Fibonacci berurutan. Kali ini yang mengungkapkan adalah kawan saya yang mahasiswa matematika itu.

Ia masih menantang saya jika saya tidak percaya dan menganggapnya sebagai sebuah kebetulan untuk mencari fakta-fakta di balik bilangan Fibonacci di mesin pencari. Hah? Jangan-jangan pola-pola interaksi sosial yang bisa diukur oleh positivis sama dengan logika Fibonacci? Alaaaah... Saya mulai berpikir perdebatan antara logika Fakta Sosial yang berkonsekuensi metodologi kuantitatif dan logika definisi sosial yang lebih kualitatif perlu sebuah peninjauan ulang. Hahaha... Anggap saja saya sedang meracau.

Di akhir pembicaraan kami, iseng-iseng saya bertanya-tanya pada kawan saya itu;

“Lalu apakah angka Fibonacci juga dapat menjelaskan pola usia hidup?”
”Coba aja; sekarang berapa umurmu?”
”21”

“Oke... 21 ya... berarti 21 dikalikan 1, 618, jawabannya: 33, 9. Wah dibulatke wae... berarti kau akan meninggal pada usia 34, ahaha”

“Lho, sing iki logikane ra mutu. Misalnya kita bertemu saat usiaku 25 bisa aja akan usia kapan aku mati berubah, atau berarti semua anak yang berusia 21 saat ini akan mati pada usia 34? njuk pye?”

“Yo emang ga ada yang tau kapan orang itu mati. Dasar Buduuuug! Hanya Tuhan yang tau. Wah... Kesimpulanmu yang terlalu dini tentang Fibonacci berlebihan, hahahah”

“?!?!?!”

Jadi, apakah bilangan Fibonacci benar-benar pola Tuhan untuk menciptakan? Atau hanya kebetulan saja? Yang jelas, jika anda mencari di mesin pencari anda akan mendapatkan fakta-fakta lain yang lebih mencengangkan. Ya... Lagi-lagi... manusia... tentu pengetahuannya masih sangat sangat kerdil jika dibandingkan Tuhan. Sekali lagi jika anda masih percaya Tuhan ;p.

Thursday, January 22, 2009

Skandal Lembaga Survey Pemilu Seratus Juta

Matahari 2009 terbit, pesta perebutan kuasa lima tahunan siap digelar lagi. Jargon-jargon romantis tentang perubahan dimaklumatkan dan ah… tak lupa tebaran gambar wajah senyum penuh kepentingan pun mulai mengganggu pemakai fasilitas umum. Selain itu, sepertinya legitimasi akademis mulai sering digunakan calon-calon terpilih untuk saling melumatkan kekuatan lawannya. Akademisi tak kalah lihai membaca pasar dengan beramai-ramai mendirikan lembaga survey politik praktis. Fenomena demikian pun terjadi di semua provinsi negeri angin, tak terkecuali berdirinya sebuah lembaga survey yang dipelopori dosen sebuah fakultas pada salah satu universitas di kota gudeg ini.

Kebanyakan lembaga survey ini memberi cap sedemikian gemerlap pada institusinya: andal, data reliabel dan valid, serta mampu menjaring ribuan responden dengan waktu cepat. Tag line semacam itu memang cukup mantap tuk sekadar jual kecap, sayangnya cukup gagap ditataran praktek.

Lusa, seorang kawan bertandang ke flat saya dan mengajukan penawaran untuk menjadi surveyor atau enumerator di lembaga survey milik seorang dosen.

“Ayo Tiw, bergabunglah bersama survey ini. Aku merekomendasikanmu pada supervisinya. Lumayan lho seminggu bayarannya bisa lebih dari setengah juta. Pye?”

“Memang sih aku biasa melakukan survey, tapi baru kali ini aku ditawari jadi ‘buruh’ di bidang politik praktis. Jawabanku: Emoh.”

“Lho kok?”

“Alesane; pertama, saat ini bukanlah saat yang tepat untuk berpeluh keringat mencari penghasilan lagi. Ada tuntutan lain yang harus diselesaikan dengan segera. Kedua, aku masih belum selesai dengan persoalan pengetahuan dan kepentingan apalagi sangkutannya politik praktis. Ketiga, jangan kira responden sekarang bisa gampang diambil datanya. Mereka akan menanyakan padamu survey ini tentang apa? Tujuan dan kepentingannya apa? yang mendanai siapa? Dan aku sedang malas menghadapi mereka. Eh, sik.. sik…; emange lembaga ini didanai berapa dan oleh siapa?”

“Kira-kira seratus jutaan, yang ndanai ya partai ********************* dan media ****************”

Wow dasyat! Saya memang tak meragukan kapabilitas dan kredibilitas para perancang survey tersebut. Hanya kemudian lagi-lagi berpikir; ternyata di ruang public dalam hal ini media cetak dan elektronik terdapat sebuah kesatuan: kepentingan, kuasa dan pengetahuan. Saya rasa ini sah-sah saja meski saya sendiri belum selesai dengan persoalan ini. Akhirnya, dengan agak sok-sok an saya menolak tawaran teman saya itu ;)

Seminggu kemudian kawan saya datang lagi ke flat saya dengan wajah murung namun terlihat lega.

“Pye surveynya sudah selesai?”

“Sudah. Tapi, selesai dengan sangat licik dan busuk”

“Lho?”

”Jadi, aku ditugaskan menjaring responden di Sleman dan Kota Yogya. Aku yang sendirian ini ditugaskan untuk menjaring seratus responden dalam waktu satu minggu. Seperti yang kita ketahui bersama, birokrasi di kelurakan, kecamatan itu sangat berbelit dan tak butuh waktu sehari dua hari. Sedangkan di Kota dan Sleman itu terdiri puluhan kecamatan. Kebanyakan responden yang juga beberapa birokrat ini tak mau mengisi kuesioner tanpa izin dari Kecamatan. Dan satu kuesioner itu ada puluhan pertanyaan. Gila ga sih? Apakah cukup realistis jika aku hanya diberi waktu satu minggu?”

“Uh huh? Tapi akhirnya selesai kan?”

“Seharusnya memang demikian. Tapi tiba-tiba di hari kelima tim pendana yang dari Jakarta datang ke Yogya dan meminta semua data yang belum selesai itu dan olahannya. Sinting tu mereka semua! They did it for their fucking media! Perjanjiannya kan tujuh hari dan menurutku itu tidak cukup realistis, mereka malah datang pada hari kelima. Deadline diajukan. SINTING!”

“Trus pada selesai ga?”

“Ya belum lah, temenku banyak yang belum, aku masih kurang sedikit.”

“So?”

”Ya, supervisiku yang mengisi kuesioner yang belum terisi itu seenaknya. “

“Lho kok begitu? Datanya ga valid dong?”

“Jelas. Trus supervisiku itu bilang ya sudah, lha wong mereka ga fair, saya juga ga fair dong. Kalo mereka cukup realistis ya saya realistis. Data dimanipulasi agar sekiranya hasilnya sesuai harapan.”

Ternyata benar perkiraan saya selama ini. Fenomena ini menunjukan ternyata kepentingan bahkan ada diatas pengetahuan. Pengetahuan bisa seenaknya dimanipulasi demi sebuah kepentingan. Tag line (sok) cakap bak jual kecap ternyata di tataran praktek cukup gagap dan bermuara pada gagalnya penelitian. Jadi, perlukah kita percaya dengan hasil penelitian lembaga survey politik?

Friday, January 16, 2009

My Blue, My thankfulness

This day, I remember what alifa’s said about life; “GOD is the greatest comedian ever after across the universe,” So, she is also make me remember about my big brother said last year “think positive n takes ur time to laughing when you get a problem, even there is a big… big problem, because the cosmos will response u like u was thinking ” Hiahaha.. L.. O.. L.. What do u think about that? I am sure that u had been feeling the same thing. You can, if u think u can, You get worst if you think bad. I thought my big brother have a talent to entertain people, although he’s truly right. But the best entertain is GOD. N alifa? Okay.. she has the same talent with my bro but she will becoming the down entertain with ‘suicide’ on her middle name, is it right fa? ;p

Last month, I dreaming till I am fly into the high n wonderful place . But, in the same time I am down to the depths of misery. There are so many things unpredictable. Sometimes I feel so strong n can finished my big problems by my self, but in the other time, like now, there is a little problem with my heart that I can’t fix it. I never suppose that it will so hurt. Feels just like…yeaa… I am nothing.., whereas I wasn’t born yesterday. It’s no big irony, I am thankful for Zee, that always come to my flat when am down n bring a cup of rose tea for me, even I didn’t tell her that I am so ‘sick’. “Tiway.. Suddenly, I want to go to your flat, don’t know why, my feelings tell me that ure not okay..” . N for my other sists n bro in the 2nd home; Ntan, Ken n Di who always ask me; “Come on.. I am sure that u can fixed it up, n everything will be okay, I’ll be there 2 support u,” N I always know that tomorrow everything will gonna be ok. Maybe that’s the reason why I am always give my silly laugh.

Back again to the GOD as comedian, sometimes He is make my dream come true, but in other times He throw me 2 the deep ravine. I don’t know what His plans for me tomorrow. It’s must be surprises. If I remember everything what did happen in my life, yeaa, I can get laugh. Sometimes, I think; how did this silly thing can happen? How sentimental fool can be? What a stupid Tiwi!

If everything has been written down by GOD, so why worry.. When He make me down, @ the same time He send me so many angel a.k.a Alifa, Zee, Ntan, Ken, n Di… n the other angel; Mr n Mrs eL, as my lecturer that always support me to pursue my dreams…

“If life is ever changing, so why worry, we say..
It’s still you and I with silly smile as we wave goodbye
And how will it be? Sometimes we just can’t see
A neighbor, a lover, a joker
Or friends you can count on forever?
How happy, how tragic, how sorry?
The sun’s still up and life remains a mystery
So, would it be nice to sit back in a silence?
Despite all the wisdom and the fantasies..”

From Dewi ‘Dee’ Lestari with Grow a Day Older in her albums “Recto Verso”