Thursday, September 13, 2007

(Resensi buku) Pendidikan Multikultural: Sebuah Pembebasan (kah?)

Identitas Buku:
Judul : ‘Emoh’ Sekolah: Menolak Komersialisasi Pendidikan dan Kanibalisme Intelektual, Menuju Pendidikan Multikultural
Penulis : Dr. Ainurrofiq Dawam, M. A
Penerbit : INSPEAL PRESS
Waktu Terbit : Agustus 2003 (cetakan pertama)
Jumlah Halaman : 182 hlm



Hasil belajar di sekolah formal bukanlah harga mati keberhasilan pendidikan

Di salah satu daerah Sulawesi, seorang guru ditugaskan mengajar baca tulis bagi anak didiknya. “Ini Ayah” seru sang guru. Ayah divisualisasikan layaknya seorang laki-laki yang menenteng tas kantor, memakai kemeja dan dasi di tubuhnya. Mendengar seruan guru tersebut, salah satu anak didik protes dan berteriak “TIDAK! Itu bukan ayah saya. Ayah sudah meninggal dan ia ada di atas bukit!” Protes si anak Toraja itu. Untuk meyakinkan sang guru, anak itu naik ke atas bukit dan membongkar makam ayahnya. Pembongkaran makam tentu menggemparkan suasana kampong Toraja saat itu. Akhirnya, anak tersebut dipaksa oleh penduduk dan tetua adat melakukan upacara meminta maaf bagi roh leluhur. Begitulah gambaran salah satu film karya Garin Nugroho yang mengesankan bahwa sentralisasi pendidikan formal ternyata belum mampu memenuhi kebutuhan anak didik di negara multikultur seperti Indonesia.
Sentralisasi pendidikan dikonstruksikan melalui paradigma pembangunan developmentalisme. Paradigma ini berpandangan bahwa kesuksesan pembangunan hanya diukur dari perkembangan ekonomi dan industri. Akibatnya, konsep pendidikan yang dicanangkan pemerintah pun mengarah pada hal-hal praktis. Konsep ini dijalankan dengan penyamaan kurikulum tanpa memperhatikan kebutuhan anak didik. Sehingga, terciptalah generasi plagiat, tidak kreatif dan kurang memiliki kepekaan sosial yang tinggi. Tak hanya itu saja, Dr. Ainurrofiq Dawam, M.A, juga menelanjangi konsep otonomi kampus yang berjalan di Indonesia saat ini. Otonomi kampus yang juga merupakan pelepasan tanggung jawab negara terhadap pendidikan tunas bangsa. Gambaran demikian menjadi latar belakang Dawam dalam mengungkap masalah dan solusi bagi masalah kebobrokan pendidikan di Indonesia.
Melalui buku ini, penulis mencoba menawarkan jalan keluar dari ‘penjara’ sistem pendidikan Indonesia. Konsep pendidikan multikultural menjadi filosofi inti litreratur ini. Konsep ini lahir karena pada dasarnya manusia diciptakan sebagai makhluk yang memiliki cipta, rasa, dan karsa beragam. Untuk memperkuat argumennya, Dawam mengungkapkan beberapa pendekatan psikologis. Penulis menganggap bahwa sistem pendidikan formal yang selama ini berjalan di Indonesia belumlah dapat mendukung perkembangan kecerdasan manusia yang berbeda. Kecerdasan manusia mencakup linguistik, logika matematika, fisik, lingkungan alam, interpersonal maupun intrapersonal. Aspek kecerdasan ini justru diacuhkan pemerintah dengan struktur institusional pendidikan. Paulo Freire, dalam bukunya Pedagody of the Oppressed, mengungkapkan bahwa sistem pendidikan dengan struktur institusional hanyalah akan menindas rakyat kecil. Ada kepala sekolah, guru, yang membuat parameter keberhasilan tertentu hingga memaksa meridnya menghafal, mendengar tanpa memberi kesempatan bagi jalannya proses kreativitas anak didik.
Dengan penyampaian kritik persuasif, Dawam tak hanya menjelaskan konsep pendidikan multikultural, tetapi ia juga mengungkap pelbagai model paradigma pendidikan yang tengah berkembang di Indonesia. Sayang, penjelasan yang terlalu romantis dan teoritis justru belum mencerminkan jalan keluar konkrit. Namun, jangan lewatkan buku ini jika anda mengaku akademisi atau pemerhati pendidikan. Bisa jadi, buku ini merangsang wacana baru mengenai pendidikan. Setuju? (tw)

No comments:

Post a Comment