Friday, August 07, 2009

Cerita Kebangkitan Petani Berdaya di Sleman

Sepertinya obrolan saya dengan beberapa petani siang itu mencerminkan betapa para periai negeri ini telah ditampar oleh petani yang notabene rakyatnya sendiri. Pastilah sang pemuka struktur negeri tak pernah menyadari bahwa kini petani mulai sadar akan adanya pertukaran yang tidak setimpal jika berurusan dengan negara, korporasi dan akademisi. Triplehellish, demikian petani menyebut ketiganya. Untung saya tidak mengaku bahwa saya mahasiswi dari salah satu perguruan tinggi yang saat ini hanya tinggal menara gading. Niatan saya saat itu hanya mencoba memahami pemikiran mereka sebagai manifestasi gerakan sosial petani.

Joglo Tani yang merupakan akronim dari oJO GeLo Tani merupakan salah satu organsasi petani yang tebentuk karena kekecewaan petani terhadap taji-taji sang triplehellish. Perkumpulan ini memiliki semangat pertanian organic dan terintegrasi. Hasil pertanian dalam organisasi ini telah memiliki jaringan pemasaran yang luas di seluruh Indonesia. Saya yang berlatar belakang sospol pun bak mendapat kucuran ilmu tentang pertanian jenis tersebut. Kebetulan siang itu aku membawa recorder, sehingga terekamlah semua pembicaraan kami siang itu. Percakapan kami pun mengalir.

“Emang mba Tiwi sering belajar ilmu apa dulunya?” Tanya salah satu petani, yang tahunya saya sudah lulus.

“Saya dari sosiologi pak, kan ga ada hubungannya dengan dunia pertanian. Saya ga tau apa2 soal pertanian. makanya saya pengin belajar banyak dari sini,” sahutku.

“Lho, siapa bilang ga ada hubungannya? Sosiologi kan mempelajari pertukaran kepentingan juga kan? Dalam konteks ini kami sudah merasa dikecewakan oleh kepentingan negara. Yang bisa menggerakan petani ya petani sendiri, bukan negara apalagi militer. Kami kecewa dan akhirnya sadar betapa banyak kepentingan politis dalam organisasi petani. Akhirnya negara tak sepenuhnya berpihak pada petani, padahal 60% wilayah kita adalah wilayah agraris,” Tutur pak TO yang menjadi pemrakarsa organisasi ini.

Lebih lanjut, Pak TO menjabarkan tekanan-tekanan yang melarabelakangi hadirnya gerakan sosial ini. Ia mengharapkan hal ini disadari oleh para petani di seluruh Indonesia. Tekanan-tekanan tersebut antara lain;

1. Tekanan ekonomi, contohnya bibit dan pupuk yang saat itu masih tergantung membeli pada tengkulak. Pada saat teman-teman petani menjadi pembeli maupun penjual, hokum pasar tetap berlaku, mereka tak berkuasa atas apa yang mereka beli dan jual, dan akhirnya petani yang dirugikan. Akhirnya mereka membuat pupuk sendiri sebagai manifestasi intelektual organic. Buktinya, mereka telah menemukan satu jenis pupuk murah dan berkualitas untuk mereka gunakan sendiri, dan mereka bersedia membagi resep pupuk tanpa harus menggunakan royalty. “Untuk apa mengambil keuntungan dari sodara kami yang sesama petani? Bukankah ilmu seharusnya diamalkan?” Ungkapan sederhana itupun terucap dari salah satu petani.

2. Tekanan alam, teman-teman petani setelah menanam bibit, hasilnya tak dapat digunakan, sehingga mereka selalu membeli bibit baru lagi. Pupuk yang di beli juga tidak tahu terbuat dari apa sehingga pupuk itu tidak menyuburkan tanah tapi merusak tanah. Obat pun demikian, akhirnya malah tidak melestarikan lingkungan. Akhirnya yang terjadi tanah semakin rusak, air sulit, siapa yang merusak? Ya petani, maka alampun menekan kita juga. Akhirnya kita kembangkan obat dan pupuk sendiri yang lebih ramah lingkungan.

3. Tekanan sosial, bahwa petani di Indonesia ya kastanya ya paling rendah menjadi petani tu karena lahan yang sempit bahkan tidak ada lahan, sehingga orang menilai tidak menjanjikan. Kita lihat saja, kalau tukang prakir mau kredit motor 500rb sudah bisa bawa pulang, kalau petani? 1jt ninggal KTP ya ndak bisa. Coba dipikirkan; diantara korporat, petani, pemerintah dan akademisi siapa yang dikonstruksi paling rendah? Pasti petani. Padahal, yang berperan besar dalam hasil pertanian ya petani.

4. Tekanan budaya. Pertanian merupakan budaya juga, penjelasannya, bertamu kan mestinya jangan ngatur tuan rumah. Kenyatannya sekarang dalam pertanian, banyak tamu yang ngatur tuan rumah. Contoh; mereka di suruh ini, pupuk disuruh ini obat disuruh ini. Dalam konteks ini tamu adalah perusahaan kapitalis. Mereka hanya memaksa menanam ini itu dengan obat dan pupuk yang membahayakan lingkungan, jika hasilnya buruk, mereka ingkar janji tak jadi jamin pasar. Investor datang, negarapun ditekan juga. Pembagian hasil terkadnag tak setimpal, yang penting perusahaan menguasai bibit dan pasar. Ibaratnya, petani ingin membangun rumah. Kurang pintunya, terus diutangi kapitalis untuk beli pintu dan kunci, tapi yang pegang kunci kapitalisnya, padahal rumahnya kan milik petani, tidak adil kan? Kalau kita sendiri dapat membuat sistem yang lebih adil tanpa melibatkan kuasa modal, kenapa tidak?

5. Petani tertindas pasar global dan tertekan dengan standar global. Maka, petani ingin meningkatkan kapabilitas mereka mengembangkan dari mentah hingga produk jadi yang memiliki nilai jual berlipat daripada produk mentah.

6. Tekanan kebijakan. Selama ini kebijakan pemreintah tidak sepenuhnya berpihak pada petani. Kalo kita melihat Indonesia sebagai wilayah agraris, namun anggraran untuk petani tak menjadi prioritas. “Pertanian kita itu tidak berkelanjutan, karena ego sektoralnya tinggi, obyeknya petani tapi yang membidangi banyak sekali, urusan air sendiri sendiri, ternak sendiri, kalo tani dipisah dengan peternakan itu akan terjadi kehancuran karena tidak akan ada kelestarian ekologis, simbiosis mutualisme tidak terpenuhi dan petanipun tergantung, tidak mandiri, jadi kecewa,” Jelas pak TO. Akhirnya terbentuklah pertanian terintegrasi dimana peternakan dapat dimanfaatkan untuk pertanian dan perikanan.

Nah, tidakkah kini pemerintah seharusnya malu jika ternyata di tingkat bawahpun janji mereka bak pepesan kosong? Toh, sang pengumbar janji yang ngakunya cinta wong cilik pun kini sibuk memperdebatkan politik praktis terkait keberlanjutan kuasa mereka. Sedangkan rakyat sendiri? Mereka berhasil bangkit tanpa campur tangan pemerintah dan justru skeptis dengan pemerintah. Lalu pemimpin hasil electoral pun kini mandul kalau di tingkat komunitaspun rakyat mampu mengembangkan diskursus dan berdaya