Thursday, January 25, 2007

Agama (Islam) : Sebuah Komoditikah?

Hegemoni akan moralitas dan suasana religi yang menjadi tuntutan pasar merupakan alat produksi. Penguasaan dan kepemilikan alat produksi yang berbeda akan memunculkan kelas sosial dan kesadaran-kesadaran semu.

Apa arti agama bagi Anda? Apakah Anda termasuk orang yang mengartikan agama sebagai pedoman hidup? Atau mungkin Anda punya definisi yang berbeda tentang agama. Kita bukan akan bicara panjang lebar tentang definisi relatif agama bagi tiap orang. Hanya akan menelaah politik media sejenak untuk melihat sebuah fenomena yang kita hadapi bersama terkait pengartian agama secara individual.

Euforia Konsumerisme Agama.
Pada momentum tertentu seperti bulan puasa, kita disuguhi tayangan ramadhan oleh media massa baik cetak maupun elektronik. Program televisi bernuansa Islam mulai dari iklan, sinetron religius, hingga grup musik yang membawakan lagu rohani dapat kita temui hampir tiap hari. Mumpung orang-orang sedang dalam suasana lebih religius dari biasanya, para produser program-program tadi menawarkan produk mereka. Begitu pula dengan acara pencari bakat da’i, program ini muncul dengan sistem peluang acak sms layaknya di meja judi yang pada akhirnya menguntungkan bandarnya.

Tentu masih banyak contoh lain yang dapat kita ambil mengenai konsumerisme agama ini. Contoh pertama yang dapat dicermati yakni pada penayangan sinetron-sinetron yang sepintas islami. Penayangan sinetron islami tersebut perlu dipertanyakan keislamannya. Ini karena pilihan cerita yang ditampilkan kurang bijaksana sehingga dapat menimbulkan persepsi negatif masyarakat terhadap Islam. Misalnya, cerita tentang siksa kubur yang digambarkan dengan vulgar dan mengesankan bahwa Islam begitu menakutkan. Sekilas, program religi yang disiarkan di media tampaknya bersifat positif. Tetapi, jika kita telusuri lebih jauh, ada dampak negatifnya yang bersifat laten. Bila acara tersebut ditonton oleh anak-anak, bagaimana kesan mereka terhadap Islam nantinya? Seringkali dalam sinetron, penggambaran Islam masih kurang sesuai dengan kondisi Islam itu sendiri

Contoh kedua, yakni maraknya budaya masa anak muda Islam seperti produknya yang berupa majalah, mode berpakaian, dan gaya hidup, ini semua dikonstryuksi sebagai yang 'religius', padahal budaya masa religius tersebut sama saja dengan yang non-religius. Ini tentu memacu sifat konsumerisme di masyarakat.

Mengenai konsumerisme, Stuart Ewen mengemukakan analisis historisnya tentang budaya konsumen tahun 1920-an. Ia mengungkapkan bahwa perubahan ekonomi kebutuhan (need) menjadi ekonomi keinginan (want) di dunia modern, membutuhkan para ahli dalam "logika konsumerisme". Bahasa iklan (advertising language) diyakini telah meningkatkan ekonomi konsumen ke tahap status sebagai "filosofi kehidupan" yang menyatakan kepada masyarakat, bukan saja mengenai apa yang harus mereka beli, melainkan juga apa yang harus mereka impikan. 1

Dakwah atau Komersialisasi ?
Dalam hal penayangan iklan atau siaran religi, kita perlu mencermati tujuan produksinya. Dakwah atau komersialisasi? Jika memang menjurus pada komersialisasi, ini tentu mengingatkan kita pada pendapat sosiolog media, John Macmanus, bahwasanya pengelola media menerapkan budaya idiot. Budaya ini ditandai dengan empat ciri. Pertama, menempatkan kuantitas konsumen sebagai benda yang dijual pada pengiklan berdasarkan rating acak. Kedua, menyajikan menu siaran yang selalu berupaya mengajak konsumen melupakan berbagai persoalan dan beban sosial nyata yang dihadapi dengan cara tertawa, dan bersenang-senang. Ketiga, mengajak konsumen untuk konsumtif membeli produk musiman ramadhan sebagai simbol gaya hidup religius, bukan mengajak selektif mengatasi masalah keuangan dan memperkuat iman diri dalam berpuasa. Keempat, memastikan semua kebijakan dagang yang diambil secara penuh memberi keuntungan finansial dan mengabaikan hal edukatif bagi konsumen. 2
Masyarakat yang awalnya terbawa suasana religi menjadi terbius dengan munculnya semacam identitas dan trend gaya hidup modern yang dimunculkan atas nama agama.

Terhadap fenomena komersialisasi agama, hendaknya kita bersikap bijaksana. Dengan meningkatkan kualifikasi tontonan, acara televisi yang menyelewengkan citra Islam dapat kita hindari. Ini membuat kita kembali pada pemaknaan agama secara individual. Jika kita menganggap agama sebagai tuntunan dalam hidup, relakah jika ia dikomersilkan? Ikhlaskah jika agama hanya dimanfaatkan untuk mendulang keuntungan bagi segelintir orang? Ini semua kembali pada sifat manusia sebagai makhluk homo mechanicus, yakni makhluk yang memiliki kemampuan kognitif untuk aktif untuk menata, menyaring dan mengolah stimulan yang diterimanya, termasuk pengaruh iklan dan media.4 Walaupun masing-masing kita memaknai agama secara berbeda, tentunya bagi yang peduli, tak ingin agama menjadi sekedar komoditi.




Catatan Kaki :
1 Untuk lebih jauh lihat Stuart Ewen, Captains of Consciousness: Advertising and the Social Roots of the Consumer Culture (New York: McGraw-Hill, 1976).
2 Harian Kedaulatan Rakyat, 31 Oktober 2006.
3 Kumpulan Cerpen Terpilih BPPM-UGM Balairung 2004 : Risalah Kekerasan dalam cerpen yang berjudul Kisah Dari Fransiska Tentang Arina.