Wednesday, April 01, 2009

Kewajiban Memerdekakan Kaum Terdiskriminasi Siapa Punya? (Catatan dari Bilik si Enam SKS)

Catatan ini hadir bukan saja sebagai reaksi atas apa yang menghentak tatkala aku mewawancarai seorang narasumber untuk data pra penelitian proposalku. Skripsiku membahas tentang manifesto kebangkitan sebuah kaum yang terdiskriminasi karena hegemoni pemerintah. Namun, kaum yang terdiskriminsi itu dapat bangkit di level kebijakan dengan hegemoni tandingan mereka.

Kupikir tak perlu kujelaskan kaum terdiskriminasi macam apa yang kuteliti. Yang jelas, suatu kaum dikatakan terdiskriminasi ketika ia teralienasi dari diri, kuasa yang besar dan lingkungannya karena ketimpangan sumber daya. Wujudnya bisa macam-macam; suku dan ras minoritas, kaum miskin, perempuan, buruh, termasuk difabel (different ability people), istilah ini masih menjadi perdebatan hingga sekarang, ada yang menyebutnya sebuah penghalusan bagi penyandang cacat, ada yang bilang istilah ini merupakan dekonstruksi dari kecacatan yang sebenarnya permasalahan sosial bukan masalah kesehatan. Namun, toh istilah ini sudah diserap dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) edisi paling gres. Istilah cacat muncul karena yang cacat dianggap tak mampu, padahal berdasarkan beberapa penelitian Girolam Cardano, ketika indra satu tak berfungsi, indra lain akan berfungsi lebih optimal.

Aku cukup sadar, ketika aku bersentuhan dengan kaum terdiskriminasi akan terjadi reaksi-reaksi kritis terhadapku dari mereka. Dan yang kipikirkan pun terjadi.

“Alaaaaa.. kamu meneliti ini ya cuma buat kepentingan skripsimu kan? Toh setelah kamu selesai penelitian kami tak akan berubah menjadi lebih baik!” Ujar seorang aktifis sebuah LSM yang konsern terhadap aksesibilitas kaum terdiskrimnasi tatkala kuwawancara.

“Akademisi selalu memandang kami sebagai fenomena yang unik, layak diteliti. Setelah itu? Kami hanya dieksploitasi untuk pencarian data-data tanpa sebuah konsekuensi yang bermanfaat bagi kebangkitan kami. Kami sudah capek diwawancara terus! Akademisi tu cuma bisa sok-sokan dengan teori-teori yang mereka kuasai, di tataran praktis? Nol besar. Buat apa kalian kuliah demokrasi dan HAM kalau hanya jadi isu pencari nilai. Kalian tu mirip politisi yang dalam kampanyenya selalu membawa-bawa kaum terdiskriminasi tanpa mewujudkan janjinya ketika ia menjabat,” Lanjut mas-mas aktifis yang sepertinya miskin perhatian ini dengan panjang lebar.

Well, fenomena ini patut disyukuri daripada jika mereka tak punya kesadaran kristis sama sekali. Akupun menyahut ocehan kritis dari mas-mas yang juga ngaku sebagai filsuf muda ini.

“Jadi apa yang diharapkan dari akademisi? Bukankah perubahan tak akan terjadi tanpa pemahaman sensitifitas terhadap teman-teman? Narasumber yang kuwawancara tak hanya dari pihak terdiskriminasi, tapi juga pemerintah, akademisi dan semua stakeholder yang terlibat dalam manifesto kebangkitan teman-teman. Dari situ akan ada obrolan-obrolan dalam sebuah ruang public yang dapat mengartikulasi kepentingan masing-masing stakeholder.”

Setelah aku sedikit bernafas aku melanjutkan lagi “Ya! fenomena meneliti tanpa mengubah memang ada, namun bukankah dari kesombongan yang hina itu kami bisa belajar dan mengubah struktur?Tapi kurasa bukan saatnya lagi menggunakan istilah kami, saya, anda dan mereka, sudah saatnya menggunakan istilah kekitaan untuk mewujudkan tatanan yang lebih manusiawi. Perubahan tak akan terjadi dalam waktu singkat, apalagi dalam struktur birokrasi yang terkonstruksi untuk selalu mensegregasikan tiap manusia seperti di Indonesia ini. Bukankah perubahan ke kondisi yang lebih humanis seperti terjadi di Eropa yang kini lebih multikultur itu melalui perjalanan yang panjang? Bukankah perubahan akan lebih massif ketika kaum terdiskriminasi juga yang memiliki inisiatif bergrak selain kebersamaan dengan stakeholder lain? Semua tak lepas dari pihak-pihak yang paling merasakan diskriminasi itu. Ingatkah jika Tuhan tak kan mengubah nasib suatu kaum sebelum kaum itu yang mengubah nasibnya? Mohon bantuannya untuk memberikan masukan apa selanjutnya yang harus dilakukan untuk rencana program keberlanjutan setelah penelitian agar aksesibilitas lebih terbuka untuk kebangkitan teman-teman. Saya sering mendiskusikan tema ini dengan teman-teman lain di sospol, mereka pun bersedia ikut membantu,”

Balik lagi ke perdebatan kebangkitan kaum terdiskriminasi. Pertanyaan ini amsih terlintas dibenaku; kewajiban terbesar untuk mewujudkan kesamaan akses bagi semua orang yang berbeda-beda itu punya siapa ya? Pemerintah dan masyarakat mayoritas selalu dicurigai, kalau akademisi dengan kebiasaannya meneliti untuk kemudian mewujudkan program keberlanjutan dibilang eksploitasi, tapi kalau tak memberi perhatian dikira diskriminasi, enaknya gimana?