Tuesday, December 23, 2008

Cinta dan Doa yang Absurd

Senin malem, 221208, aku berencana menonton film bersama Ifa n Agus. Sepertinya film yang bagus n lagi diputar di 21 hanya twilight dan tiga cinta tiga doa. Berdasarkan rekomendasi beberapa orang yang sudah menonton twilight, film ini tak sebagus novelnya yang best seller. Biasalah... sindrom filmisasi novel, pasti imajinasi jadi terbatasi dan penonton yang telah membaca novelnya dibuat kecewa. Tapi, kupikir, masih ada lah ya filmisasi novel yang berhasil: Laskar Pelangi. Itu satu-satunya menurutku. Akhirnya, kami bertiga memutuskan menonton tiga cinta tiga doa. Janjianlah kami bertemu di B21.

Senin siang, Ifa meng-sms ku bahwa ada kawannya, Patria, yang ingin ikut nonton bersama kami. Patria, si cowok charming (ni kata ifa lho pat, mau GR juga gapapa hihihi) ini juga menawarkan tebengan mobilnya... hihihi... lumayanlah, pulang malem dikit asal dianter pake mobil. Jam 17. 30 aku tiba di kos ifa, 15 menit kemudian patria juga di kamar yang (sedikit) berantakan ini. Mendingan lah kondisi kamarnya daripada waktu Ifa stress mengerjakan skripsinya hehehe. Tak lama, azan maghrib berkumandang, akupun melaksanakan kewajiban absen kepada Tuhan terlebih dahulu.

Kami pun meluncur jam 18. 00 dari kosan ifa dan menjemput Agus di B21. Jam 18. 41 kami tiba di amplas. Agus memesan tiket, aku dan ifa membeli jagung berondong. Unfortunately, kami dapat tempat duduk nomer tiga dari depan. Ya gapapalah, ifa kan ga bawa kacamata. Mmmm kami menonton film yang diperankan oleh Nicholas Saputra n Dian Sastro ini. Kupikir filmnya bakal bagus, lha wong ada butet nya juga. Ternyata... penonton kecewa hahaha

Jadi ceritanya ada tiga santri yang bersahabat dan memiliki konflik pribadi masing-masing. Si Huda (Nico), rindu ibunya yang lama tak menengoknya di pesantren. Si Syahid, yang pingin nge-bom syahid dan mati sahid, n si Rian (Yoga Pratama) yang terobsesi jadi pembuat film.

Suatu ketika Huda bertemu Dona (Dian Sastro) di sebuah kuburan. Konon, setiap hari Dona melakukan ziarah kubur ibunya. Akhirnya mereka berkenalan, dari perkenalan tersebut Huda tau kalau Dona pernah tinggal di Jakarta. Maka, Huda pun meminta tolong Dona untuk mencarikan alamat ibu Huda di Jakarta dan memastikan keadaannya. Dona menyanggupi asal Huda membayarnya. Akhirnya interaksi terjalin antara santri dan penyanyi dangdut ini.

Dalam film ini Dian Sastro berperan sebagai penyanyi dangdut yang seksi nan bahenol. Kontras sekali dengan kehidupan Huda yang religius. Film yang bersetting dari tahun 2001 hingga 2005 ini mungkin bisa mengeksplor suasana pada waktu tersebut, dari jenis uang yang diterbitkan pada tahun tersebut, logo breaking news SCTV pada tahun tersebut, namun sayangnya dialong anatara Huda dan Dona berlangsung sangat datar dan tidak mengalir, logat Jawa si Dona terkesan dipaksakan, apalagi ketidaklihaian si Nico menghayati kehidupan pesantren tradisional makin mengganggu kekhusukan menonton. Konflik antara Huda yang tak pernah dikunjungi ibunya diputus begitu saja dengan kenyataan bahwa ternyata sang ibu yang kerja di sebuah pub telah meninggal. Si Huda ini ceritanya jadi santri kesayangan Romo Kyai, petinggi di pesantren tersebut. Biasalah seperti fenomena pesantren tradisional lainnya, ada santri kesayangan yang dijodohkan dengan anak dedengkot pesantren tersebut sebagai 'balas jasa'.

Konflik aneh yang disajikan dalam film ini tak hanya dialami Huda tapi juga Rian. Awalnya, Rian mengajukan syarat pada ayahnya; ia mau belajar di pesantren asal dibelikan handycam. Namun, ia mulai lupa permintaannya tersebut tatkala ayahnya meninggal. Ketika ia hampir lulus dari pesantren, sang ibu mengiriminya handycam. Handycam inilah yang akhirnya menjerumuskan ia, Huda, Syahid dan Romo Kyai ke dalam penjara karena si Syahid yanbg keranjingan mati syahid mengikutu kajian islam garis keras di luar pesantren, pelatihan perangnya dan merekam dirinya sebelum ia mati syahid. Tak hanya itu, handycam itu juga telah merekam dian sastro yang lagi casting jadi artis oleh si Huda. Rekaman yang lain juga digunakan Rian untuk merekam film2 di pasar malam dan perkenalannya dengan butet. Handycam itu lalu diambil oleh ustadz nya, ya karena pesantren tradisional peraturannya memang begitu. Entah bagaimana handycam ini bisa sampai ke tangan polisi pada saat seru-serunya pengeboman WTC. Akhirnya ditangkaplah mereka bertiga dan dituduh penganut islam garis keras. Well, di luar carut marut yang disebabkan handycam tersebut, ternyata latar belakang mengapa Rian diberikan handycam baru yakni karena ibu Rian ingin menikah lagi. Rian yang emosi tak bisa digambarkan dengan menghayati oleh sang pemeran pun dengan kelanjutan konflik rian dengan ibunya. Lagi-lagi seakan diputus begitu saja.

Si Syahid juga mengalami konflik serupa, di satu sisi ayahnya sakit ginjal dan harus dioperasi kalau tidak harus cuci darah, di sisi lain ia ingin cepat mati syahid. Suatu ketika sawahnya dibeli oleh ekspat Amerika yang amat dibencinya untuk kesembuhan ayahnya. Namun, tanahnya hanya laku sepuluh juta. Ia mencak-mencak pada bule tersebut, tapi sayang sang bule hanya menganggapnya sebagai luapan rasa terimakasih karena tak mengerti bahasa indonesia. Saat penandatanganan surat kuasa, bule itu akhirnya mengerti bahwa syahid butuh dana banyak untuk pengobatan ayahnya. Akhirnya si bule yang menanggung semuanya tanpa diketahui siapapun. Dan syahid mengurungkan niatnya untuk mati syahid.

Film ini diawali dengan mimpi masing2 tiga santri tersebut serta doa yang mereka tulis di dinding pojok pesantren. Selain konflik tiga santri tersebut film ini juga dibumbui kehidupan pesantren, yaaa biasalah tentang kencan diam2 antara santriwan dan santriwati, fenomena sodomi di pesantren sampai poligami di kalangan ustadz yang tak kunjung mendapatkan anak lelaki untuk meneruskan tradisinya.

Menurutku, film ini ga jelas klimaks dan antiklimaksnya. Akhirnya si Dona masih menyanyi, Huda menikah dengan anaknya Romo Kyai, Syahid dibebaskan dari penjara dan Rian memang sudah menjalankan usaha video shoting pernikahan seperti impiannya dulu. Sepertinya ada dialog yang terpotong saat si ustadz garis keras ngomong "Orang kafir itu halal......" ga dilanjutkan "darahnya" yaa mungkin ini untuk kepentingan sponsornya yang dari perancis juga sih. Selain itu, mungkin film ini juga bertendensi untuk meluruskan ayat-ayat tentang bagaimana umat islam bergaul dengan keberbedaan yang seringnya ditafsirkan secara liar sehingga melegitimasi kekerasan dan peperangan. Lalu apa lagi ya.... mmmm akhirnya aku berkesimpulan semuanya dataarrrr dan ya! Absurd...

2 comments:

  1. Anonymous6:22 PM

    O, ternyata kamu hanya ingin cerita. Kalau habis ngantarin Ifa nonton ama gebetan barunya, tho, setelah "mas"nya pergi untuk jadi PNS di Jakarta. Garing...

    Kelik

    ReplyDelete
  2. Anonymous4:05 PM

    Ooo skrg jd kritikus film nih ceritanya..

    ReplyDelete