Monday, December 15, 2008

Kota Biru untuk Guruku


o/ tiwi

Suasana pagi ini berjalan seperti biasanya. Meski pagi berjalan seperti biasanya, tidak demikian dengan suasana hati Pak seto. Jam dinding di ruang tamunya baru menunjukkan pukul enam kurang seperempat. Pagi itu matahari telah bersinar dengan berani seperti menantang kegelisahannya, kegelisahan seorang guru yang dibatasi haknya. Pandangannya menerawang sambil sesekali meneguk kopi buatan istrinya. Asap rokok yang dihembuskannya menari mengikuti orkes pagi kala itu; teriakan sejumlah pedagang sayur dan roti, kicauan kutilangnya di halaman kontrakan dan deru mesin mobil yang dipanaskan. “Aku harus bergegas berangkat mengajar,”

Pak seto beranjak ke ruang tengah, melewati ruang tamu. Terlihat si Buyung sarapan sambil menonton televisi. Putra semata wayangnya itu sebentar lagi harus melanjutkan sekolah menegah pertama, sekolah zaman sekarang tentu membutuhkan biaya tinggi. Dengan gaji bulannnya yang hanya sedikit tentu makin memberatkan beban keuangan rumah tangganya. Guru, pahlawan tanpa apa-apa. Pak seto kembali gamang. Sambil menikmati makan paginya, Pak seto mendengarkan siaran berita Radio Republik Indonesia (RRI) tentang pembangunan gedung-gedung perkantoran baru yang mendapat banyak dukungan dari para investor. Setelah berita itu disiarkan, terdengarlah dendang selingan berjudul Jakarta City Blues “Pagi-pagi… udah polusi… naik bis kota… salip kiri kanan bikin jantungan, itu sudah biasa… Jakarta city blues…” Ah, syair itu sebiru keresahannya saat ini.

Tepat pukul enam pagi, setelah berpamitan pada istrinya, Pak seto memacu sepeda motornya dan beranjak meninggalkan perkampungan padat penduduk di barat daya Jakarta. Kampung itu selalu terlihat sama meski sudah belasan tahun ditinggalinya; rumah-rumah kecil yang berjubel di gang sempit, selokan yang mampat dan berbau tak sedap, serta tumpukan sampah yang belum diangkut. Pandangannya yang berkonsentrasi dengan keramaian jalan masih menerawang. “Sinting! Menuntut transparansi iuran Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) yang telah dibayarkan saja berbuntut gajiku diturunkan,” Umpatnya.

Bus kota yang merayap di kiri dan mobil sedan di kanan menjebak Pak seto di kemacetan. Keadaan ini selalu memaksanya cari celah untuk menyalip. “Sreeeet” terdengar bunyi stang motor yang tak sengaja bergesekan dengan pintu sedan bercat ungu. Bunyi itu diikuti klakson panjang dan umpatan sang pemilik mobil. Pak seto mengacukannya. Ia memacu motornya makin kencang.

***

Pak seto menghelakan nafas panjangnya setelah letih mengoreksi lembar jawaban essay ulangan mata pelajaran Bahasan Indonesia yang diampunya. Meski melelahkan, Pak seto lebih suka memberikan soal dengan model jawaban essay daripada pilihan ganda. Jika karangan murid dinilainya bagus, jawaban muridnya logis, dan mempunyai landasan ia memberikannya nilai tambah.

Pak seto percaya, muridnya tetaplah manusia yang punya daya kreasi dengan ciri khas kemampuan dan tak ingin dibatasi dalam berpendapat. Dari kepercayaannya itu ia mempersetankan konsep UAN yang memukul rata parameter keberhasilan siswa. Ia sering mengungkapkan kegelisahannya itu melalui rapat guru dan sejumlah tulisan di surat kabar. Celakanya, daya kritisnyalah yang membuat hubungannya dengan beberapa teman seprofesi dan Pak Wardoyo, sang kepala sekolah menjadi tak terlalu baik. Apalagi ditambah ulahnya tempo hari yang mempelopori teman seprofesinya untuk meminta transparansi iuran PGRI yang kemudian berakibat gajinya dipotong.

Sudah menjadi rahasia umum bahwa forum PGRI di wilayah Pak seto justru berfungsi menindas para guru yang kritis. Pengurus PGRI yang juga menjabat di dinas pendidikan sering melakukan kolusi dengan menurunkan tunjangan guru atau biasanya memindahkan ke daerah terpencil. Seperti tradisi zaman orde baru, semua ini dilakukan untuk menyingkirkan ‘pengacau’ dan melanggengkan kekuasaan orang-orang yang duduk di dinas. Pak Wardoyo juga termasuk dalam golongan pejabat dinas.

Sebelum Pak Wardoyo, jabatan kepala sekolah diisi oleh Pak Sukardi. Saat itu, Pak Wardoyo dipastikan terpilih karena pemilihan diselenggarakan dari pusat yang sangat dekat dengannya. Kepala sekolah yang baru diangkat dapat melakukan kontrol terhadap segala sesuatu di sekolah itu. Begitulah aturannya. Pak Wardoyo kemudian mendapat sejumlah daftar tipe guru-guru di sekolah itu dari Pak Sukardi. Daftar itu mencakup tipe guru yang ‘baik’ dan suku ‘menjilat’ hingga guru yang ‘mengancam kestabilan sekolah’ seperti Pak seto. Daftar tersebut memberi semacam lampu kuning bagi kepala sekolah dalam menaklukan guru. Jika guru belum bisa ditaklukan maka kepala sekolah ‘berhak’ menempuh cara-cara menekan lainnya.

***

“Teeet… teeet… teeet,” bel sekolah yang menjerit tiga kali menandakan waktu istirahat makan siang bagi seluruh penghuni sekolah tempat Pak seto mengajar, terkecuali Lik Sri, karyawan kantin sekolah itu. Perantauan Lik Sri dari Wonogiri membimbingnya bekerja ke salah satu sektor usaha informal kota metropolis ini. Setiap siang, kesibukannya dimulai dengan menyiapkan bermangkuk Soto, makanan ringan dan sejumlah minuman. Bau harum masakannya tercium dari ruang guru. Aroma sedap itu memberikan alasan bagi siapapun untuk antre memesannya. Demikian pula Pak seto. Ia beranjak dari mejanya setelah lelah mengajar murid-murid dan memeriksa setumpuk lebar jawaban essay.

“Pesan apa Pak?” Tanya Lik Sri

“Soto dan air es saja, tolong diantarkan ke ruang guru saja” Jawab Pak seto

“Ck… ck… Pak Pak seto ini, saking sibuknya sampai makanpun disambi di ruang guru, sudah sibuk dan jelas gajinya begitu kok masih macam-macam, apa gajinya kurang Pak? Heheheh… Wealah, sekalinya macam-macam kok gajinya dipotong,” Sindir Lik Sri sambil sibuk menaruh taoge dalam mangkuk.

Pak seto hanya tersenyum mendengarkan komentar Lik Sri sambil berlalu meninggalkannya. Ia menuju musola sekolah untuk melaksanakan kewajiban kepada Tuhan dalam keyakinannya.

Soto dan air es yang tadi dipesan, tandas di makannya. Dari pintu masuk, Pak seto melihat Ibu guru Mun berjalan ke arahnya. “Pak Pak seto, dimohon oleh Pak Wardoyo untuk menghadap ke ruangannya,” pinta Bu Mun. Pak seto kemudian hanya menganggukkan kepala saja. Ia berjalan dengan pasti menuju ruang kepala sekolah sambil menduga-duga petaka apalagi yang akan didapatnya.

“Berkaitan dengan beberapa aksi yang diperbuat Pak Pak seto kemarin, maka, Musyawarah Kepala Sekolah (MKS) memutuskan untuk memindahtugaskan Bapak ke salah satu kabupaten di Tasikmalaya.” Vonis Pak Wardoyo.

“Tapi, saya merasa tidak melakukan kekeliruan Pak, kenapa saya dihukum seperti ini?” tukas Pak seto

“MKS tidak menuduh anda melakukan kekeliruan dan tidak bermaksud memberikan hukuman atas kekeliruan itu, kami hanya ingin mengirim satu tenaga guru kesana, keputusan ini sudah final, tak bisa diganggu gugat, yang penting Pak Pak seto tak kehilangan pekerjaan,”

Skak Mat! Mengingat kebutuhan keluarganya yang makin mendesak, pikirannya tak bisa melangkah kemana-mana lagi. Pak seto malas berdiplomasi lagi dengan gaya otoriter macam ini. Minggu depan ia harus segera pindah dengan dipotong gaji pula. Ia merasa semua usahanya sia-sia. Ia berjanji pada dirinya sendiri, untuk kebaikan diri dan keluarganya ia tak akan banyak membuka mulut. Dunia ini tak pernah dimengertinya dan ia harus siap meninggalkan dunia itu.

***

Lima jam sudah Pak seto tak dapat memejamkan matanya. Sebentar-sebentar ia miringkan badannya ke kiri dan kanan. Bola lampu berukuran lima watt yang tergantung di pojok kamar tidurnyanya nampak berkedip-kedip. Mungkin pertanda kawat pijarnya akan putus dan harus diganti. Ambinnya yang berderit setiap ia bergerak meramaikan sunyinya dini hari itu. Nampaknya ambin itu hampir tak kuat menahan berat tuannya. Tak lama kemudian ia menatap istri yang terlelap di sampingnya. Ia merasa kasihan dengan istrinya yang tengah mengandung satu bulan. Ia juga merasa bersalah karena terpotongnya pendapatan meski istrinya mengerti dan tak pernah menuntut macam-macam. .Jika ambin ini tak segera diganti dengan yang baru mungkin ketika usia kandungan istriku sembilan bulan, ambin ini tak akan kuat menahan beban kami lagi. Malam itu Pak seto gelisah. Namun, bukan bola lampu atau ambin yang membuatnya gelisah. Tidak. Bukan Itu.

Pembicaraannya yang terakhir dengan Pak Wardoyo serta pelbagai penolakan atas kegelisahannya selama ini yang merusak akar mimpinya. Ia masih juga tak dapat tidur. Sudah berkali-kali ia membalik bantalnya. Ia juga mencoba menghilangkan pikiran itu, namun tetap tak bisa. “Sinting! Gila!” Umpatnya berkali-kali. Keresahan tentang hal-hal yang tak dimegertinya itu masih saja bertahta di pikirannya. Tak jelas kapan akan bisa dimengerti. Satu hal yang pasti, esok ia akan pindah dari Jakarta bersama keluarganya. Suara petir terdengar bergemuruh. Hujan turun menimbulkan bunyi tuk..tuk.. tuk yang makin lama makin cepat di atap rumahnya.

Pagi ini, banjir melanda perkampungannya. Hujan barang setengah jam saja sudah bisa memaksanya untuk melipat celana panjang hingga selutut. Terlihat dua orang tetangga dekat dan anak Pak seto membantu mengangkat barang-barang ke dalam truk. Sembari melangkah lunglai, lagi-lagi terdengar lantunan tembag Jakarta City Blues “keluar rumah… hujan deras basah kuyup… banjir selutut… itu sudah biasa… Jakarta city blues…” Ia sudah memutuskan untuk meninggalkan semua keresahannya di Jakarta. Walaupun ia belum lega. Setidaknya ia lega karena meninggalkan kegarangan Jakarta city blues.

No comments:

Post a Comment