“Ukhti dibayar berapa untuk melakukan pemurtadan? Hati-hati dengan isu inklusifisme yang mereka gulirkan”
“Bhineka Tunggal Ika” Jargon ini begitu lekat ditanamkan dari sejak saya TK sampai sekarang. Saya yakin, semua orang
Benarkah generasi kita sudah benar-benar dididik “Bhineka tunggal ika” jika sejak dari ‘bonggol’nya saja sudah dikonstruksi untuk mengotak-kotakan sesuatu? Seperti apa yang ditanamkan sejak kecil tentang apa yang hitam dan putih; “oooo anak ini cacat, dia beda, ga bisa apa-apa, harus dikasihani”, padahal sebenarnya ‘cacat’ hanya konstruksi pikiran. Saya yakin setiap anak diciptakan untuk memiliki bakat kognitif maupun non kognitif masing-masing. Itu baru soal perbedaan fisik dan mental, belum lagi masalah krusial seperti ideology hingga kesukuan “oooo anak suku ini begitu suku itu begini”, “pokoknya harus berhati-hati bergaul dengan anak-anak yang seperti itu”, “eh kamu jangan baca buku ini-itu, berbahaya!”, “eh jangan main sama anak itu, nanti kamu jadi begini,” Fenomena ini pun turut membawa kesadaran pada saya betapa sejak kecil tiwi dididik untuk mengotak-kotakan sesuatu, tak memahami realitas, dan dihalangi untuk berpikir kritis. Pasti masih banyak tiwi-tiwi warisan orde baru lainnya. Kenapa logika yang dipikirkan selalu negasi, bukan logika positif atau solutif? Saya yakin, anak-anak
Fenomena yang sangat menarik bagi saya adalah ketika saya menjadi panitia sebuah diskusi sekolah mutikultural. Kebetulan yang mengadakan adalah sebuah lembaga non-islam –islam, agama yang saya anut, sebagai rahmat bagi semua, yang menurut saya sebenarnya cukup bisa mendidik bagaimana menghargai perbedaan, seperti diajarkan agama yang lainnya-- dan saya mendapatkan SMS yang demikian;
Si A : Ukhti dibayar berapa untuk melakukan pemurtadan? Hati-hati dengan isu inklusifisme yang mereka gulirkan
Saya : Saya kira, komitmen agama kita sebagai rahmat bagi semesta alam tak pernah terwujud jika masih ada orang-orang yang selalu berpikir negasi seperti anda. Bahkan Rasulullah mengajarkan untuk menghormati orang asing. Jika memang kita berbeda, marilah kita membiarkan itu berjalan , itu toleransi, toh saya tidak mencampuri urusan keyakinan mereka apalagi memaksakan kehendak. Saya, anda, maupun kawan-kawan yang lain yang masih beragama, tak beragama bahkan yang tak percaya Tuhan sekalipun pastilah dari lubuk hati terdalam mengandaikan perdamaian.
Sampai akhirnya pulsa saya yang tinggal sepuluh ribu rupiah habis untuk meladeni SMS nya. Kenapa saya jadi bodoh begini? Merugikan diri sendiri padahal seharusnya saya membiarkannya dengan kecurigaan dan keyakinannya itu.
Jika kita cari centhang perenangnya, pelbagai perbedaan di
Saya jadi ingat dengan apa yang diungkapkan Benendict Anderson yang memaknai nasionalisme sebagai komunitas yang tak terbayang;
“Akhirnya, bangsa dibayangkan sebagai sebuah komunitas, sebab, tak peduli akan ketidakadilan yang ada dan penghisapan yang mungkin tak terhapuskan dalam setiap bangsa, bangsa itu sendiri selalu dipahami sebagai kesetiakawanan yang masuk mendalam dan melebar mendatar. Pada akhirnya, selama dua abad terakhir, rasa persaudaraan inilah yang memungkinkan begitu banyak orang, jutaan jumlahkan bersedia, jangankan melenyapkan nyawa orang lain, merengut nyawa sendiri pun rela demi pembayangan tentang yang terbatas itu,”
Begitu dasyatnya kekuatan nasionalisme hingga memberikan arti yang beragam tentang keindonesiaan kita. Kita pun masih merangkak untuk memahami keberagaman ini. Jika kita tak berhati-hati, pemahaman anarkis dapat bermuara pada konflik manifest hingga kekerasan. Tentu kita semua tak ingin kejahatan kemanusiaan kembali terulang. Kasus konflik di pelbagai belahan
No comments:
Post a Comment