Monday, December 15, 2008

Sulitkah Menjadi Indonesia?


“Ukhti dibayar berapa untuk melakukan pemurtadan? Hati-hati dengan isu inklusifisme yang mereka gulirkan”

“Bhineka Tunggal Ika” Jargon ini begitu lekat ditanamkan dari sejak saya TK sampai sekarang. Saya yakin, semua orang Indonesia paham maknanya; Berbeda tapi tetap satu. Perbedaan di Indonesia merupakan sebuah realitas. Tapi kadang terdapat oposisi biner; di satu sisi jargon ini ditanamkan dalam pelajaran PPKn, harus dihafal –layaknya murid merupakan bejana kosong yang siap diisi, tak dididik untuk memiliki daya kritis dan pemahaman realitas, begitu ujar Paulo Freire—di sisi lain ada sekolah khusus anak orang kaya, sekolah khusus keyakinan ini, sekolah khusus suku ini, suku itu, kelas akselerasi sampai SLB.

Benarkah generasi kita sudah benar-benar dididik “Bhineka tunggal ika” jika sejak dari ‘bonggol’nya saja sudah dikonstruksi untuk mengotak-kotakan sesuatu? Seperti apa yang ditanamkan sejak kecil tentang apa yang hitam dan putih; “oooo anak ini cacat, dia beda, ga bisa apa-apa, harus dikasihani”, padahal sebenarnya ‘cacat’ hanya konstruksi pikiran. Saya yakin setiap anak diciptakan untuk memiliki bakat kognitif maupun non kognitif masing-masing. Itu baru soal perbedaan fisik dan mental, belum lagi masalah krusial seperti ideology hingga kesukuan “oooo anak suku ini begitu suku itu begini”, “pokoknya harus berhati-hati bergaul dengan anak-anak yang seperti itu”, “eh kamu jangan baca buku ini-itu, berbahaya!”, “eh jangan main sama anak itu, nanti kamu jadi begini,” Fenomena ini pun turut membawa kesadaran pada saya betapa sejak kecil tiwi dididik untuk mengotak-kotakan sesuatu, tak memahami realitas, dan dihalangi untuk berpikir kritis. Pasti masih banyak tiwi-tiwi warisan orde baru lainnya. Kenapa logika yang dipikirkan selalu negasi, bukan logika positif atau solutif? Saya yakin, anak-anak Indonesia sudah cukup cerdas untuk berpikir tentang konsekuensi atas lingkungan mana yang mereka pilih dengan sadar untuk bersosialisasi.

Fenomena yang sangat menarik bagi saya adalah ketika saya menjadi panitia sebuah diskusi sekolah mutikultural. Kebetulan yang mengadakan adalah sebuah lembaga non-islam –islam, agama yang saya anut, sebagai rahmat bagi semua, yang menurut saya sebenarnya cukup bisa mendidik bagaimana menghargai perbedaan, seperti diajarkan agama yang lainnya-- dan saya mendapatkan SMS yang demikian;

Si A : Ukhti dibayar berapa untuk melakukan pemurtadan? Hati-hati dengan isu inklusifisme yang mereka gulirkan

Saya : Saya kira, komitmen agama kita sebagai rahmat bagi semesta alam tak pernah terwujud jika masih ada orang-orang yang selalu berpikir negasi seperti anda. Bahkan Rasulullah mengajarkan untuk menghormati orang asing. Jika memang kita berbeda, marilah kita membiarkan itu berjalan , itu toleransi, toh saya tidak mencampuri urusan keyakinan mereka apalagi memaksakan kehendak. Saya, anda, maupun kawan-kawan yang lain yang masih beragama, tak beragama bahkan yang tak percaya Tuhan sekalipun pastilah dari lubuk hati terdalam mengandaikan perdamaian.

Sampai akhirnya pulsa saya yang tinggal sepuluh ribu rupiah habis untuk meladeni SMS nya. Kenapa saya jadi bodoh begini? Merugikan diri sendiri padahal seharusnya saya membiarkannya dengan kecurigaan dan keyakinannya itu.

Jika kita cari centhang perenangnya, pelbagai perbedaan di Indonesia pastilah berhubungan dengan banyak negara yang lain. Nasionalisme, saat ini bukan lagi dimaknai secara sempit, si A memaknai kesadaran kolektif karena kesamaan sebangsa, bisa jadi yang lain tak memaknai demikian. Seperti ABG di Indonesia jaman sekarang yang memiliki nasionalisme R&B, atau kerelaan mereka yang lain untuk mengaransemen musik berjam-jam demi mengakulturasi musik Jazz dan gambang di Bantul beberapa waktu yang lalu. Contoh lain seperti anak pengamen di pertigaan dari Mirota kampus ke selatan yang rela ngamen seminggu untuk makan di Mc D- ini penelitian dosen saya lho-. Atau seperti teroris di Bali beberapa waktu lalu –saya tak berani menyebut mujahid- yang menciptakan kebencian dan ketakutan hingga rela mengorbankan diri mereka untuk mencederai sesamanya yang tak bersalah atas nama ayat Tuhan yang ditafsirkan dengan liar. Seakan ada kebanggaan yang dibayangkan secara kolektif jika seseorang berhasil memperjuangkan sesuatu.

Saya jadi ingat dengan apa yang diungkapkan Benendict Anderson yang memaknai nasionalisme sebagai komunitas yang tak terbayang;

“Akhirnya, bangsa dibayangkan sebagai sebuah komunitas, sebab, tak peduli akan ketidakadilan yang ada dan penghisapan yang mungkin tak terhapuskan dalam setiap bangsa, bangsa itu sendiri selalu dipahami sebagai kesetiakawanan yang masuk mendalam dan melebar mendatar. Pada akhirnya, selama dua abad terakhir, rasa persaudaraan inilah yang memungkinkan begitu banyak orang, jutaan jumlahkan bersedia, jangankan melenyapkan nyawa orang lain, merengut nyawa sendiri pun rela demi pembayangan tentang yang terbatas itu,”

Begitu dasyatnya kekuatan nasionalisme hingga memberikan arti yang beragam tentang keindonesiaan kita. Kita pun masih merangkak untuk memahami keberagaman ini. Jika kita tak berhati-hati, pemahaman anarkis dapat bermuara pada konflik manifest hingga kekerasan. Tentu kita semua tak ingin kejahatan kemanusiaan kembali terulang. Kasus konflik di pelbagai belahan Indonesia hendaklah disikapi dengan pemahaman yang adil dan pemerataan. Namun, konsep yang demikian romantis ini menurut saya hampir-hampir utopis, bukan berarti pula tak bisa diwujudkan. Jadi, menjadi Indonesia, sulitkah?

No comments:

Post a Comment