Monday, December 15, 2008

Keledai pun Tak Mau Terjebak Lagi di Lubang yang Sama

Bulan depan mubes. Musyawarah Besar di Balairung; Persma yang saat ini butuh narsis menurutku. Sebentar lagi aku akan hengkang dari sana juga rumah kecil itu. Tujuanku menulis ini hanyalah melukis sejengkal kisah di Balairung. Awalnya, aku menyepakati apa yang pernah diobrolkan bersama Abdi perihal ujaran Hegel tentang sejarah yang mencatat bahwa sepanjang sejarahnya, manusia tak pernah belajar apapun. Mubes oh mubes, kadang aku berpikir, tak pernah belajar apapun. Perubahan? It’s bull! 21 tahun kok molor terus, mutungan terus. Terkadang sulit memang mengungkapkan apa yang dirasakan pada orang lain, lebih baik dipendam, dan sayangnya ini akan berbahaya. Apalagi memisahkan hubungan profesional dan emosional, saya paling kesal mengadaptasi dengan teman-teman yang punya masalah seperti ini. Memutus ritus perlu greget dari kesadaran masing-masing awak. Semuanya tentu. Ketika mimpi sebuah lembaga tak dibarengi dengan perjuangan kolektif, betapa menyakitkan. Tapi izinkan aku melukis kisah ini. Kisah tentang warna kerja di persma terbesar di dunia berbahasa Indonesia.

“Nafas Intelektual Mahasiswa” Jargon itu begitu lekat dengan Badan Penerbitas Pers Mahasiswa yang aku geluti selama hampir tiga tahun ini. Ujaran seseorang tentang definisi intelektual berikut bisa jadi benar; sosok orang yang dapat mempertahankan hidupnya dan orang lain dalam situasi yang genting sekalipun. Sudahlah, tak ada lagi kata-kata romantis tentang intelektual yang perlu dilebihkan. Itu lebih baik daripada semua bermuara pada dusta. Dusta hanya akan membimbing pada pertahanan yang buruk. Dan awak-awak Balairung kini nyaris tak dapat mempertahankan hidup lembaga karena dusta mewarnai kondisi internal.

Adalah dusta jika seseorang hanya mampu menghasilkan pemikiran dan pernyataan dasyat tanpa adanya bukti nyata. Kakean diskusi, miskin data, bar kuwi molor sisan. Bicara dusta, mari bicara Balairung sebagai sebuah badan penerbitan pers mahasiswa. Tentu saja juga tentang aku, kau dan kita semua. Mengerjakan produk bukanlah hal yang main-main: dusta!, Mengerjakan produk selesai tepat waktu: dusta! Persma sebagai ajang aktualisasi yang dipilih secara sadar dan bertanggung jawab: dusta! Toh, keluh kesah masih terdengar kala awak mengerjakan produk. Tapi, di luar itu saya apresiasi bagi teman-teman di angkatan pertama dan kedua yang menikmati rumah ini.

Padahal, layaknya gerakan pers, persma hanya dapat hidup dengan produk penerbitan. Banyak faktor yang mempengaruhi eksisnya lembaga pers. Eksistensi lembaga pers salah satunya berkorelasi positif dengan kuantitas dan kualitas produk. Jika dalam penerbitan produknya saja diwarnai dusta, saya yakin eksistensi persma terancam. Celakanya, jika persma tak bergegas refleksi diri, ia akan segera musnah. Persis seperti ramalan Karl Marx terhadap kapitalisme. Juga ramalan tetangga kepada tetingginya.

Beruntung, Balairung masih dapat menerbitkan dua produknya-jurnal dan balkon- meski tertatih. Dua produk tersebut juga menjadi jalan pijakan Balairung sebagai pers mahasiswa: berwacana dan berkomunitas. Pijakan itu yang akhirnya melahirkan sinergi kerja empat divisi. Social trust dalam sinergi kerja membutuhkan satu prasyarat yakni adanya norma yang disepakati.
Sayangnya, social trust yang digemborkan sejak awal semakin luntur karena dalam pengerjaan produk diwarnai keegoisan masing-masing awak dan divisi. Akhirnya aku sepakat dengan Abdi yang memberi jeda antara perasaan egois dan pembagian kerja. Aku tahu sejak awal tugas kita masing-masing telah dibagi, tapi bukankah dalam menjalankannya kita harus tetap berkoordinasi? Artinya ada kerjasama disana, pembagian kerja tentu tak dimuarakan pada keegoisan. Sangat egois ketika tak saling menghargai kesepakatan, tak saling mengingatkan dan tentu saja mementingkan kepentingan sendiri.

Ceritanya berawal ketika Dewan Pemimpi(n) dari Redaksi, Produksi dan Artistik, Riset dan perusahaan berkumpul untuk membicarakan matriks jurnal. Akhirnya disepakati jurnal akan terbit oktober dengan asumsi akhir juni selesai edit bahasa, sehingga biSA berangkat KKN dengan tenang. Namun salah satu divisi molor, sekiranya kurang satu tulisan yang masuk dari divisi tersebut, sedangkan divisi yang lain telah berusahan dan berhadil memenuhi kesepakatan awal. Maka, mutung2 an tak terhindarkan lagi. Terjadilah proses yang tidak dewasa itu. Padahal riset diburu oleh korporasi yang mendanai penelitiannya, akibatnya hasil riset yang sudah jadi itu belum bisa terbit juga, Selak basi validitas datane, dab! dan korporasi tersebut membatalkan kontraknya apalagi setelah riset mengajukan MoU yang baru. Perusahaan juga diburu pengiklan dan jurnal telat, apa yang terjadi, entahlah. Forum asertif yang direncanakan tak pernah terlaksana karena ketidakhadiran beberapa DP. Konflik ini hanya sebagian kecil dari banyak konflik yang terjadi.

Baiklah… ketika keegoisan sudah menjadi budaya disini, aku mencoba untuk tak memakai perasaan. Inilah yang membuat keraguanku hilang kala aku harus sendirian di angkatan tiga divisi riset. Aku harus egois, ikut ritme, tak peduli pada awak-awak yang tak lagi membersamai, toh aku masih punya bala kurawa yang siap berlari meski terengah.

Namun, obrolan dengan ifa yang masih bingung soal pembagian kerja dan identitas kebalairungan mengejutkanku.

“Sebenarnya balairung akan mendidik awaknya jadi yang semacam apa sih? Keren ya.. balairung masih bisa jalan tanpa alur koordinasi yang jelas dari struktur, maksudku pada prakteknya, konsep sebenarnya sudah jelas di AD ART. Permasalahannya adalah kita tak dibiasakan dengan forum asertif. Dimana semua orang bisa dan berani menyatakan apa yang dirasakannya dan kemudian ada diskusi dan hal jawab. Semuanya terlalu terbawa perasaan dan akhirnya berujung mutungan, kerja jadi kacau” Tutur Ifa.

“Aduh, kayaknya mengungkap apa yang dirasakan di forum besar susah juga, mungkin secara pribadi. Kalau orangnya cuek sih ga papa tapi kalau sensitif jadinya ya... aku ragu..” Aku menanggapi.

“Iya kayak gitu, kemarin aja aku melihat proses yang tidak sehat itu. Ada editor yang dikritik editor lain, tapi editor yang dikritik malah jadi mutung dan ga mau ngedit, yo wis editen kono, gitu...” Sahut Nura

“Nah, aku jadi inget raker kedua, kok bisa muncul komunitas tanpa otak? Mbok ya jangan ada dikotomi antara anak2 yang ‘serius’ dan tidak. Kalau bisa anak-anak yang lain mengejar teman-temannya dan anak-anak yang dianggap serius itu harusnya lebih terbuka,” Putra menimpali.

Sebelum pembicaraan ini aku SMS an dengan Ifa

“Kok jadi kayak gini to; talk with putra hopeless, talk with oky he feels guilty n tak ada hal lain selain memberinya maaf dan kepercayaan lagi (bagiku ini menyebalkan), talk with abdi feels like hells n make me want to suicide, come on... ini persma terbesar di Indonesia. Koordinasi yang seperti ini? Kalian terlibat konflik, It’s shock me out!”
Sender: Noor Alifa

“Wis to fa ga usah pake perasaan, cuek aja lah. Kalau dipikir pakai perasaan, lebih baik nafikanlah sama sekali,” Jawabku

“Itulah menurutku yang menggerakan balairung, utamanya perasaan bersalah”
Sender: Noor Alifa

Baiklah… baiklah… Maafkan saya… Lantas, apa kondisi demikian yang akan terus-terusan mewarnai internal persma terbesar di dunia berbahasa Indonesia ini? Tanyakan pada rumput yang bergoyang hahaha...

Oh ya, teringat pada apa yang pernah disampaikan dosen pembimbingku, bahwa posisi kerangka teori dalam sebuah penelitian bukan dipaksakan sama dengan data lapangan. Melainkan, hanya tuntunan untuk dikaji lewat penelitian selanjutnya tidak disepakati atau dikritisi. Ini karena konteks ruang, waktu, budaya dan subjek penelitian tatkala teori itu lahir samasekali berbeda dengan saat ini. Dan akhir-akhir ini aku tidak sepakat dengan apa yang diujarkan Hegel bahwa manusia tak pernah belajar apapun sepanjang sejarahnya. Aku tidak menyepakatinya karena dari obrolan kumpul divisi, menghasilkan rekomendasi-rekomendasi yang siap dilaksanakan dan kini terlaksana meski tak sempurna. Ketidaksempurnaan akan terus menjadi cambuk perubahan. Masih ada keyakinan bahwa manusia merupakan makhluk yang dinamis. Keledai pun tak mau terjebak lagi di lubang yang sama. Semoga konflik yang terjadi dapat menunjukan sisi fungsionalnya.

Brontokusuman, 261108 pkl 10. 33. Ada mbak Norah Jones yang masih nyanyi...
Spinning, laughing, dancing to her favorite song
A little girl with nothing wrong, is all alone

Eyes wide open, always hoping for the sun
And she'll sing her song to anyone that comes along

Crooked little smile on her face tells a tale of grace
Thats all her own

2 comments:

  1. Anonymous8:10 AM

    Perasaan yang sama Tiw, kalau dihitung2, udah banyak janji yg aku langgar di Balairung. Namun aku juga ga bakalan sanggup bertahan hanya karena rasa tak enak atau sejenisnya. Salut untuk kamu yg udah bertahan selama ini (gile bosone!!!)

    ReplyDelete
  2. Anonymous12:42 AM

    hmmm...Tiwi, aku sedikit mendengar kisah di Bal ini dari Abdi. Yup...aku pun juga pernah membuat kecewa Bal karena keegoisanku. Dan penyesalan itu sampai sekarang tak pernah bisa aku maafkan.
    Aku juga tak akan meminta maaf, karena kata2 itu tll basi. tapi yang jelas aku punya alasan sendiri mengapa aku harus mutung dari Bal pada saat itu.
    Balairung,,,rumah kecil nan hangat beserta Pak Kelik yang selalu memberiku semangat, Abdi bagaikan seorang pendeta muda bagiku, kawan2 Bal yang apa adanya. Kalian semua membuatku tambah mencintai lembaga ini, tp aku juga sama sekali tak bisa memaafkan diriku sendiri.
    (dari seseorang yang mencintai Bal dan tega meninggalakannya)

    ReplyDelete