Thursday, September 13, 2007

Menguak Potensi Bisnis pada Bangunan Kuno

Berbisnis sekaligus Melestarikan Nilai Sejarah, dan Budaya: Anda Mau Coba?

Siapa yang tak takjub melihat nilai sejarah dan keunikan bangunan kuno yang masih terjaga? Tengok saja daerah Kotagede, Baciro, Kotabaru ataupun Sagan (kawasan kota kuno Yogyakarta). Beberapa diantara bangunan kuo tersebut masih terawat dan terlihat baik, bahkan ada yang diadaptasikan dengan menambah unsur modern. Bangunan kuno mencerminkan perjalanan identitas sebuah kota. Kotagede misalnya, pernah menjadi pusat pemerintahan Kerajaan Mataram pada tahun 1577 oleh Ki Ageng Pamanahan. Ia menjadi saksi bisu atas berbagai peristiwa yang terjadi dalam sejarah Daerah Istimewa Dogyakarta (DIY). Menghancurkan bangunan kuno berarti turut pula menghancurkan sejarah dan identitas sebuah kota.
Meski terkesan ketinggalan zaman, bangunan kuno ternyata memiliki beberapa potensi bisnis. Ini dibuktikan oleh beberapa pemilik usaha di Yogyakarta yang menggunakan bangunan kuno sebagai tempat menjalankan usahanya. Beberapa bangunan merupakan bisnis keluarga. Buah dari keberanian menanggung resiko, keuletan dan siasat kreatif, usaha mereka makin menguntungkan. Selain mendatangkan keuntungan, memfungsikan bangunan kuno sebagai tempat usaha juga dapat melestarikan warisan budaya.
Menurut Titi Handayani, Direktur Eksekutif Jogja Heritage Society (JHS), dalam istilah konservasi, alih fungsi bangunan diistilahkan dengan adaptivius, yakni penyesuaian fungsi bangunan untuk masa kini. Salah satunya, tempat usaha. Konservasi bukan berarti mengawetkan, namun perlu juga perkembangan. Salah satu alasan mengapa si pemilik rumah ingin merubah fungsi rumah, yakni pemilik merasa bahwa bangunan tidak berguna lagi jika difungsikan seperti fungsi lama.
Wujud alih fungsi bangunan kuno menjadi tempat usaha dapat kita lihat salah satunya di kerajinan dan toko perak Ansor’s Silver, Kotagede. Kotagede merupakan kota yang terkenal dengan kerajinan peraknya di Yogyakarta. Memasuki showroom Ansor’s Silver bagai kembali pada suasana Jawa zaman dahulu. Arsitektur bangunannya merupakan perpaduan antara bangunan Belanda berdinding tebal dan pendopo Jawa dengan ornamen wayang. Iringan gamelan makin menambah kental suasana tradisional. Menurut Udjang Simbara, direktur Ansor’s Silver, Bapak Ansor Kartoutomo, pemiliknya, tertarik dengan keunikan arsitektur bangunannya. Lalu bangunan itu dibeli dan dijadikan showroom kerajinan perak pada tahun 1994. Tempat ini kemudian menjadi daya tarik tersendiri bagi wisatawan domestik maupun mancanegara. Usaha perak dipilih karena sang pemilik ingin memperkuat citra daerah perak Kotagede. Jika dilihat dari segi arsitektur, bangunan ini tergolong bangunan yang dibangun pada tahun 1800-an. Sang pemilik berniat melestarikan bangunan tua itu. Pelestarian ini dibuktikannya tanpa mengubah bentuk dan konstruksi bangunan, ia hanya menambahkan beberapa ornamen semipermanen, melakukan pengecatan berkala dan menambahkan cor agar bangunan bertambah kokoh.
Pun demikian dengan Irsyam Sigit Wibowo, pemilik resto Omah Dhuwur, Kotagede. Menurutnya, suasana bangunan kuno berpotensi sekali untuk dijadikan tempat bisnis. “Saya beli tempat ini sekitar tahun 2000 atau 2001. Konstruksi tidak banyak yang diubah, soalnya mengurangi nilai. Disini yang diunggulkan memang suasananya. Bagi pemilik bangunan kuno, mbok ya kalau bisa dikembangkan saja untuk usaha jika sudah tak berniat meninggali, sayang kalau dibiarkan tak terawat” ujar pegiat komunitas motor besar ini. Mengembangkan bangunan kuno menjadi tempat usaha juga memerlukan siasat kreatif, diantaranya mengenai tata letak ruangan. “Bangunan ini dulunya rumah, untuk mengalihfungsikannya menjadi resto ya butuh siasat” tukasnya. Suasana asri dan pemandangan kolam yang dapat dinikmati dari atas resto menambah kesan santai. Lebih lanjut, pak Irsyam, begitu kemudian pemilik bisnis keluarga ini disapa, menyayangkan tingginya pajak bumi dan bangunan (PBB) yang diterapkan pemerintah DIY. “Biaya perawatan bangunan ini mahal, kalau bisa PBB nya mendapat diskon. Lagipula yang saya lakukan ini juga termasuk merawat warisan budaya.” Ujarnya.
Menanggapi mahalnya PBB bagi pemilik bangunan kuno, Titi Handayani, menyatakan, hal ini sedang diperjuangkan oleh JHS. Namun, belum ada respon dari pemerintah DIY. “Kalau ingin ada yang melestarikan bangunan, ya pemerintah harus memberi insentif, setidaknya pemotongan pajak yang signifikan. Di negara lain malah ada yang digratiskan dari PBB. Di Indonesia, khususnya DIY memang ada peraturan mengenai pemotongan 25% bagi pemilik, itu menurut saya masih telalu sedikit, yang saya sayangkan lagi, banyak masyarakat yang belum tahu prosedur mendapatkannya, pemerintah juga belum punya data mengenai bangunan mana yang layak disubsidi” ujarnya. Hal yang sama juga diungkapkan oleh Dr. Ir. Arya Ronald, dosen jurusan teknik Arsitektur Universitas Gadjah Mada (UGM), “Saya setuju kalau disubsidi, PBB bisa dihitung dari luas lahan, jenis rumah dan bangunan di kelas mana, kemudian dimasukan kedalam sebuah rumus. Ketika ada warga negara yang melestarikan bangunan kuno maka harus ada keringanan. Di Belanda, negeri yang lebih menghormati warisan budaya, memberi subsidi untuk perawatan.” Tambah akademisi yang akan menelurkan buku berjudul Gemulai Arsitektur Jawa ini.
Pambudi Narotama, pemilik dan pengelola Indraloka Homestay di kawasan Sagan, memiliki pandangan lain tentang PBB yang dipungut pada pengelola bangunan kuno. “Keluarga saya merawat dan memang tak berniat mengubah kekhasan konstruksi bangunan. Diubah paling hanya 20 %, itu pun tidak permanen. Tempat yang dibangun pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1930 ini pernah disurvei oleh Dinas Purbakala. Bangunan ini mendapat subsidi sebesar 40 hingga 60 % untuk perawatan. Setahu saya yang mendapat subsidi hanya bangunan ini dan Sekolah Menegah Pertama Negeri 1 (SMP N 1) Yogyakarta.” Ujar desainer interior ini.
Ada sejumlah tips dalam mengembangkan alih fungsi bangunan kuno menjadi tempat usaha. Tips ini antara lain dikemukakan Titi Handayani, menurutnya, untuk memperkuat tembok bisa dengan memlesternya. Ia juga memberi peringatan agar jangan mengganti jenis ataupun bentuk kayu. “Kayu bangunan kuno, biasanya Berkualitas kebih baik, kalau di cat nanti teksturnya bisa hilang. Selain itu ciri khas bangunan. Contohnya, Baudanyang di Kotagede jangan dihilangkan” ujar dosen yang mengajar di Akademi Teknik Yayasan Keluarga Pahlawan Negara (AT YKPN) ini. Tampaknya, anjuran pelestarian ini dilakukan pula di Gabah Resto yang terletak di kawasan Sagan. “Kita tidak mengubah konstruksi sama sekali, buktinya, mantan penghuni yang orang Belanda, sudah lama tidak ke sini, namun sekalinya bertandang kemari masih hafal benar tempat ini” ujar Dani Kurniawan, Finance Supervisor Gabah Resto. Peringatan lain juga disampaikan oleh Dr. Ir. Arya Ronald, yakni agar tidak mengubah dan mengurangi jendela dan ventilasi. “Bangunan berongga itu lebih kuat. Lagipula, jendela menunjukan pemiliknya welcome, tidak asosial. Arsitektur tanpa ada nilai humanisnya akan hambar” tambah kakek empat cucu ini. Dari sudut pandang sosial, Titi Handayani mengungkapkan, begitu bangunan menjadi lebih public maka konsekuensinya akan banyak dikunjungi orang luar, pemilik harus memikirkan dampak sosial, misalnya, jika di dekatnya ada masjid dan lingkungan sekitar penduduknya mayoritas santri, jangan mengembangkan diskotek.
Jargon DIY sebagai kota budaya dapat terwakili oleh pelestarian bangunan kuno dan tradisionalnya. Ini akan menjadi daya tarik bagi wisatawan jika masyarakat dan pemerintah mau peduli dan kerjasama dalam pengembangannya. Usaha pribadi dalam sektor ini jelas menguntungkan, karena memiliki nilai tambah yakni nilai seni, sejarah dan budaya. Jadi, mari berbisnis sekaligus melestarikan budaya! [Tiwi]

(Resensi buku) Perjalanan Panjang Sang Petualang

Identitas Buku:

Judul Buku : Edensor
Pengarang : Andrea Hirata Seman
Penerbut : Klub sastra BENTANG
Jumlah hlm : 288 hlm
Waktu terbit : Mei 2007



Bermimpilah, maka Tuhan akan memeluk mimpi-mimpimu…

Buku ini merupakan buku ketiga dari tetralogi Laskar Pelangi, setelah buku pertamanya yang berjudul Laskar Pelangi dan buku keduanya yang berjudul Sang Pemimpi. Cerita berawal dari perjuangan meraih impian sepuluh anak yang terjalin melalui pertemanan di sebuah sekolah terpencil di Belitong. Ikal, salah satu anak kampung yang cerdas, gigih dan nakal menjadi tokoh utama yang dikisahkan penulisnya. Kenakalannya sempat membuat gamang orang tuanya karena, ia sempat mencuri hidangan berbuka puasa di masjid dan menyuruh adiknya bernyanyi Indonesia Raya keras-keras di depan pengeras suara masjid. Agaknya penulis ingin mengungkapkan pengalaman hidupnya yang luar biasa lewat tetralogi Laskar Pelangi.
Di novel yang ketiga, Andrea Hirata mengisahkan perjalanan hidupnya setelah lulus SMA, bekerja sambil kuliah di Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia, dan akhirnya melanjutkan studi strata duanya di Eropa sambil menjadi backpacker sejati, istilah untuk petualang yang hanya mempunyai bekal dan peralatan terbatas di tas punggung. Dalam petualangannya, Ikal juga berniat menemukan A Ling, si anak Hokian yang menjadi pujaan hatinya. Bersama sepupunya, Arai, yang juga menempuh studi di tempat yang sama, si Ikal melalui hari-harinya yang penuh kejutan di Eropa. Di masa kecilnya, Ikal bermimpi mengenai petualangan ke Eropa dan untuk mewujudkan impiannya itu, ia akhirnya berhasil lolos seleksi beasiswa strata dua ke Eropa. Ikal, yang berlatar belakang ekonomi dari sebuah keluarga kampong Belitong yang miskin, ternyata mempunyai semangat hidup dan kecerdasan yang luar biasa. Meski ia hanya disekolahkan di sekolah muhamadiyah yang miskin, namun hal tersebut tak menghalanginya tuk menemukan ilmu pengetahuan dan pengalaman menakjubkan.

Membaca novel ketiga ini kurang lengkap jika belum membaca novel sebelumnya. Di novel sebelumnya, diceritakan dengan menyentuh mengenai kondisi pendidikan yang memprihatinkan di daerah terpencil saat itu. Kondisi pendidikan yang tak lain akibat dari sentralisasi pendidikan orde baru yang tak memperhatikan beragamnya jenis budaya di Indonesia. Tak lupa, Andrea Hirata menambahkan beberapa tokoh yang patut dikagumi seperti Ayahnya, gurunya dan kedelapan tema-temannya memiliki pribadi inspiratif. Deskripsi tiap bab dalam novelnya disajikan dengan jenaka, mengharukan dan cerdas. Istilah kimia, biologi, ekonomi dan astronomi yang beradu dengan karya sastra dibubuhkannya dengan bumbu tepat sehingga membuat pembaca terbius larut dalam petualangan hingga tak terasa kita telah menyelesaikan salah satu novel.

Sebuah tetralogi melayu gaya baru coba dituturkan Andrea lewat karyanya kali ini. Tanpa harus melabelkan diri dengan ‘sastra islami’ , nilai-nilai humanisme dalam ajaran islam ditonjolkan penulis di tiap bagian novelnya. Saat pembaca bosan dengan tema novel cinta picisan atau novel dengan bau metropop, Andrea mampu menghadirkan sensasi 'keindonesiaan' baru dalam Edensor. Judul Edensor diambil dari sebuah nama desa khayalan dalam novel milik A Ling yang masih dipegangnya. Bagi anda yang mengaku penggemar sastra jangan dulu mencibir karya yang mendapat banyak apresiasi dari banyak sastrawan senior ini. Cobalah, maka anda akan tersenyum getir hingga menitikan air mata haru lewat sajian sastra Andrea Hirata kali ini. Setelah itu, anda akan mengakui keindahan karyanya dan tak sabar membaca novel keempat. (tw)

(Resensi buku) Pendidikan Multikultural: Sebuah Pembebasan (kah?)

Identitas Buku:
Judul : ‘Emoh’ Sekolah: Menolak Komersialisasi Pendidikan dan Kanibalisme Intelektual, Menuju Pendidikan Multikultural
Penulis : Dr. Ainurrofiq Dawam, M. A
Penerbit : INSPEAL PRESS
Waktu Terbit : Agustus 2003 (cetakan pertama)
Jumlah Halaman : 182 hlm



Hasil belajar di sekolah formal bukanlah harga mati keberhasilan pendidikan

Di salah satu daerah Sulawesi, seorang guru ditugaskan mengajar baca tulis bagi anak didiknya. “Ini Ayah” seru sang guru. Ayah divisualisasikan layaknya seorang laki-laki yang menenteng tas kantor, memakai kemeja dan dasi di tubuhnya. Mendengar seruan guru tersebut, salah satu anak didik protes dan berteriak “TIDAK! Itu bukan ayah saya. Ayah sudah meninggal dan ia ada di atas bukit!” Protes si anak Toraja itu. Untuk meyakinkan sang guru, anak itu naik ke atas bukit dan membongkar makam ayahnya. Pembongkaran makam tentu menggemparkan suasana kampong Toraja saat itu. Akhirnya, anak tersebut dipaksa oleh penduduk dan tetua adat melakukan upacara meminta maaf bagi roh leluhur. Begitulah gambaran salah satu film karya Garin Nugroho yang mengesankan bahwa sentralisasi pendidikan formal ternyata belum mampu memenuhi kebutuhan anak didik di negara multikultur seperti Indonesia.
Sentralisasi pendidikan dikonstruksikan melalui paradigma pembangunan developmentalisme. Paradigma ini berpandangan bahwa kesuksesan pembangunan hanya diukur dari perkembangan ekonomi dan industri. Akibatnya, konsep pendidikan yang dicanangkan pemerintah pun mengarah pada hal-hal praktis. Konsep ini dijalankan dengan penyamaan kurikulum tanpa memperhatikan kebutuhan anak didik. Sehingga, terciptalah generasi plagiat, tidak kreatif dan kurang memiliki kepekaan sosial yang tinggi. Tak hanya itu saja, Dr. Ainurrofiq Dawam, M.A, juga menelanjangi konsep otonomi kampus yang berjalan di Indonesia saat ini. Otonomi kampus yang juga merupakan pelepasan tanggung jawab negara terhadap pendidikan tunas bangsa. Gambaran demikian menjadi latar belakang Dawam dalam mengungkap masalah dan solusi bagi masalah kebobrokan pendidikan di Indonesia.
Melalui buku ini, penulis mencoba menawarkan jalan keluar dari ‘penjara’ sistem pendidikan Indonesia. Konsep pendidikan multikultural menjadi filosofi inti litreratur ini. Konsep ini lahir karena pada dasarnya manusia diciptakan sebagai makhluk yang memiliki cipta, rasa, dan karsa beragam. Untuk memperkuat argumennya, Dawam mengungkapkan beberapa pendekatan psikologis. Penulis menganggap bahwa sistem pendidikan formal yang selama ini berjalan di Indonesia belumlah dapat mendukung perkembangan kecerdasan manusia yang berbeda. Kecerdasan manusia mencakup linguistik, logika matematika, fisik, lingkungan alam, interpersonal maupun intrapersonal. Aspek kecerdasan ini justru diacuhkan pemerintah dengan struktur institusional pendidikan. Paulo Freire, dalam bukunya Pedagody of the Oppressed, mengungkapkan bahwa sistem pendidikan dengan struktur institusional hanyalah akan menindas rakyat kecil. Ada kepala sekolah, guru, yang membuat parameter keberhasilan tertentu hingga memaksa meridnya menghafal, mendengar tanpa memberi kesempatan bagi jalannya proses kreativitas anak didik.
Dengan penyampaian kritik persuasif, Dawam tak hanya menjelaskan konsep pendidikan multikultural, tetapi ia juga mengungkap pelbagai model paradigma pendidikan yang tengah berkembang di Indonesia. Sayang, penjelasan yang terlalu romantis dan teoritis justru belum mencerminkan jalan keluar konkrit. Namun, jangan lewatkan buku ini jika anda mengaku akademisi atau pemerhati pendidikan. Bisa jadi, buku ini merangsang wacana baru mengenai pendidikan. Setuju? (tw)

(Resensi buku)Perantauan yang Sarat Tikungan

Judul Buku : Jalan Menikung Para Priyayi 2
Penulis : Umar Kayam
Jumlah Halaman : 184 + IX hlm
Penebit : Pustaka Utama Grafiti kerjasama dengan The Ford Foundation dan Yayasan Adikarya IKAPI
Tahun Terbit : 2002 (cetakan keempat)


Hidup bagaikan semangkuk penuh bermacam buah cherry, ada yang manis, masam bahkan hampir busuk. Maka, kita selalu untung-untungan dalam mencomotnya.
(hlm 4)

Kondisi Indonesia di awal masa orde baru yang sarat kekerasan dan pembunuhan karena ketakutan pemerintah terhadap komunisme menjadi setting awal yang dihadirkan Umar Kayam. Harimurti, seorang yang lahir di tengah keluarga besar Jawa yang terpandang menjadi tokoh utama dalam novel ini. Ia diceritakan pernah terlibat Partai Komunis Indonesia (PKI). Isu ini kemudian membawanya ke dalam bui. Namun, Pakdhe Nug, kerabatnya yang seorang petinggi pemerintahan, berhasil menyelesaikan masalah ini. Harimurti bebas dari bui dan keselamatannya dijamin asal ia tak bekerja lagi di lembaga pemerintah. Harimurti kemudian menikah dan bekerja di sebuah perusahaan penerbitan.
Diundangnya Harimurti untuk makan siang di sebuah restoran mewah oleh Maryanto, atasannya, ternyata bukan pertanda baik. Perjamuan makan siang itu justru membuat Harimuti kehilangan pekerjaan sekaligus menguak masalalunya. Harimurti ternyata masih diduga pemerintah sebagai orang yang “tidak bersih”. Ia terus dilanda kebingungan karena masa lalunya yang telah usai dan terkubur hadir kembali. Tak ada pilihan lain, ia harus keluar dari pekerjaannya. Jika tidak, perusahaannya akan ditutup pemerintah. Sementara Pakdhe Nug yang dulu pernah menyelamatkan hidupnya telah meninggal. Kecurigaan pemerintah terhadap Harimurti menjadi ketakutan Harimurti jika nanti orang tua, ibu dan anaknya ikut terlibat masalah tersebut. Betapa tidak, seluruh keluarganya akan terus diperiksa dan dicurigai.
Ketakutan Harimurti berbuah larangan pada Eko, anak tunggalnya yang menempuh studi beasiswa di Sunnybrook College, Connecticut, Amerika Serikat (AS), untuk jangan pulang dulu ke Indonesia. Jika Eko pulang ke Indonesia, Harimurti mengkhawatirkan keselamatan Eko. Padahal, Eko berniat secepatnya kembali dan membangun negerinya sendiri. Namun semangat itu terhalang oleh ketakutan pemerintah terhadap keruntuhan kekuasaan. Meskipun dirasakan berat oleh Harimurti dan Suli, istrinya, Eko harus tinggal di AS demi keamanan dan kemajuannya.
Di AS, Eko tinggal bersama keluarga Prof. Samuel D. Levin. Biaya hidup Eko ditanggung oleh keluarga Levin hingga ia menamatkan kuliahnya. Pretasi Eko yang gemilang membawanya bekerja di sebuah penerbit besar, Asia Books. Di keluarga yang menganut kepercayaan Yahudi ini, Eko terpesona pada Claire Levin, putri dari Prof. Levin. Bertahun-tahun waktu yang mereka jalani bersama membuat hubungan mereka makin dekat. Mereka akhirnya menikah karena Claire telah hamil.
Rencana pernikahan mereka telah direstui oleh keluarga Levin. Namun, tidak dengan keluarga Eko di Indonesia. Kabar pernikahan yang dikirimkan melalui surat singkat dan padat itu dianggap Suli sebagai perilaku yang tak sopan terhadap orang tua. Suli merasa tak dimintai restu karena nada surat itu sekadar pemberitahuan. Eko yang beristrikan Yahudi dan kehamilan Claire makin membuat hati Suli tak senang. Pergaulan dan lingkungan di AS dianggap Suli bertentangan dengan norma adat dan agama di Jawa. Namun, setelah diberi pengertian Harimurti, kemarahan Suli mereda.
Pernikahan Eko dan Claire disambut penugasan dari Alan Bernstein, atasan Eko. Eko ditugaskan untuk mengurus pemasaran produk Asia Books ke sejumlah negara di Asia termasuk Indonesia. Kedatangan Eko dan istrinya ke Indonesia disambut orang tua dan kerabatnya dengan senang. Semenjak Eko melanjutkan studinya ke AS, ia mengalami banyak perbenturan kebudayaan. Pun ketika ia kembali ke Indonesia bersama istrinya. Sikap defensif masyarakat Jawa dalam menyikapi perbedaan norma dan ras ditonjolkan Umar Kayam pada bagian ini. Rasisme di Jawa tampak ketika Tommi, kerabat Harimurti, mengomentari Claire, yang berketurunan Yahudi. Di bagian yang lain, rasisme di Jawa tampak ketika Tommi menentang pernikahan putrinya yang bersuamikan seorang beretnis Cina. Tak hanya di Jawa, rasisme di AS juga digambarkan Umar Kayam melalui perjalanan silsilah keluarga Levin.
Keluesan Umar Kayam dalam mendeskripsikan sistem kekerabatan dan kebudayaan di AS dan Jawa mampu memacu imajnasi pembaca. Perbedaan pandangan mengenai norma adat dari generasi ke generasi ikut membumbui jalan cerita. Novel ini cocok bagi orang yang mengaku pluralis dan menggemari sastra. Sebuah perjalanan di perantauan dijabarkan dengan penuh lika-liku oleh penulis. Tak hanya itu, penyampaian penulis juga sarat kritikan terhadap sistem pengadilan, pengupahan dan pendidikan di Indonesia yang masih buruk. Sayang, kata ganti tokoh utama yang berubah-ubah mengganggu kenikmatan membaca. Alur yang terkadang berubah di tiap bagiannya juga membingungkan pembaca. Terlepas dari itu semua, novel ini mampu menambah khazanah mengenai pluralitas tiap ras di AS dan Indonesia. Jadi, selamat menikmati pergulatan pluralitas rasa novel!

(Resensi buku)Perjalanan Panjang dan Rumit Sang Wayang Kulit

Judul Buku : Kelir tanpa Batas
Penulis : Umar Kayam
Jumlah Halaman : 453 + X hlm
Penerbit : Gama Media Kerjasama dengan Pusat Studi Kebudayaan UGM dan The Toyota Foundation
Tahun Terbit : 2001 (cetakan pertama)



Seni yang terpelihara dalam suatu masyarakat merupakan refleksi identitas dari masyarakat tersebut.

Bagi masyarakat Jawa, wayang kulit mengandung banyak pemaknaan tentang kehidupan. Hingga kini, wayang kulit masih dipertahankan oleh masyarakat yang dihidupi dan menghidupinya. Wayang kulit masih menarik untuk terus dikaji. Banyak penelitian tentang wayang kulit yang telah dihasilkan seiring dengan dinamika masyarakat Jawa. Begitu pula dengan Umar Kayam, mantan guru besar Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada (FIB UGM) ini telah membukukan hasil penelitiannya mengenai perkembangan wayang kulit pada masa orde baru.
Buku yang berjudul Kelir tanpa Batas tak sepenuhnya hasil penelitian, melainkan ditambah dengan data dan analisis baru. Hal ini dikarenakan penelitian dilakukan pada 1993 sedangkan buku ini diterbitkan pada tahun 2001. Penelitian ini bertujuan memahami sejarah wayang dan pergolakannya dalam bertahan. Dalam wayang kulit terdapat pakem-pakem tertentu, namun seiring berubahnya zaman beberapa pakem mulai mencair. Penelitian ini difokuskan pada kondisi wayang kulit saat orde baru tahun 1993 hingga 1995. Umar Kayam memiliki dua alasan mengapa mengambil setting pada masa ini. Pertama, masyarakat Jawa dinilainya lebih terbuka pada masa orde baru. Kedua, orde baru yang berlangsung lama menimbulkan kecenderungan budaya tertentu. Peta kehidupan wayang kulit, sejarah, pakem, peran dalang dan pemaknaan wayang di tengah masyarakat Jawa menjadi suatu pertanyaan dalam penelitian ini. Wawancara dan pengamatan langsung terhadap kondisi pertunjukan, dalang dan penontonnya menjadi alat utama pengumpul data.
Jalan cerita, tokoh dan setting yang terdapat dalam dua epos besar India yakni Ramayana dan Mahabarata menjadi ciri umum wayang kulit. Keduanya dimainkan dengan boneka tipis dari kulit yang dipahat sesuai karakter dan ciri fisik tokoh masing-masing. Boneka tersebut digerakan oleh dalang dengan bantuan tongkat kecil dalam ukiran wayang kulit diiringi suara sinden dan gamelan. Dalam pertunjukan kesenian yang diindikasikan muncul di abad X SM ini, dalang memiliki peranan sosial religius yang menyeimbangkan manusia dan lingkungannya. Dalam kehidupan masyarakat Jawa, wayang kulit memberi ruang kategoris dan hierarkhis yang terefleksi dari jalan ceritanya. Setiap manusia memiliki kedudukan dan perannya masing-masing. Peran itu harus dimainkan sesuai silsilah dan tata krama yang wajib dipatuhi. Ini kemudian menimbulkan filsafat pertunjukan wayang kulit yang diciptakan orde baru sebagai tontonan, tuntutan dan tatanan. Hal tersebut kemudian menjadi pemaknaan umum masyarakat Jawa. Pemaknaan ini turut dibayangi oleh beberapa otoritas, antara lain otoritas kraton, lembaga pendidikan formal seni pedalangan, tradisi lokal dan penguasa politik orde baru beserta pejabat dan agen/agennya (hlm 69).
Dalam perjalanannya, wayang kulit mengalami pemudaran pakem dan betuk estetiknya. Pada dasarnya, wayang kulit di Jawa terbagi dalam tiga gaya, yakni Surakarta, Yogyakarta dan Jawa Timur. Ketiganya memiliki perbedaan masing-masing. Namun, mulai 1980-an batas ketiganya luntur. Ini dipengaruhi oleh mencairnya batas antara dunia panggung dan penonton sebagai penikmat wayang kulit di luar panggung. Pengaruh yang dikemukakan Umar Kayam ini didukung banyak data. Salah satunya, Ki Sudarman Gondo Darsono, salah satu dalang senior, mengundang Ki Warsito untuk mendalang dalam acara supitan anaknya. Acara tersebut dihadiri oleh banyak dalang dari pelbagai generasi. Ketika Ki Warsito mendalang, dalam ceritanya ia banyak menyampaikan ejekan terhadap pakem wayang yang selama ini dipakai. Ini kemudian memancing perdebatan diantara dalang yang menontonnnya dan salah satu penonton melemparkan sandal ke panggung. Tak hanya contoh tersebut, di salah satu pertunjukan wayang di Sukoharjo, dalang Ki Warseno Slenk malah memberi kesempatan pada penontonnya untuk menyanyi ke depan panggung sesuai tema wayang. Kedua contoh ini tentu menunjukan betapa batas panggung dan penonton mulai mencair.
Pakem tampilan wayang juga mengalami perubahan. Perubahan ini ditandai dengan munculnya unsur pendukung baru selain sinden, gamelan, bingkai kelir, dan boneka wayang. Bingkai kelir yang seharusnya sepanjang enam hingga delapan meter menjadi lebih panjang. Bingkai kelir menjadi berukuran seperti bingkai film di gedung bioskop, yakni sepanjang 12 meter. Sinden yang seharusnya duduk, justru maju ke panggung dan berdiri untuk menyanyi, ini terjadi pada saat Ki Djoko Edan mendalang. Nuansa wayang kulit bertambah lain ketika dimasukan unsur jaipongan Sunda ke dalamnya. Peralatan gamelan pun sudah ditambah dengan peralatan yang lebih modern seperti keyboard atau drum. Perubahan pakem ini pun memacu perselisihan antar dalang.
Menurut Groenendael (1987), tugas wayang kulit dan dalangnya pada hakikatnya memelihara, mempertahankan sebuah tatanan. Pemaknaan mengenai perubahan pakem yang telah terjadi pada wayang kulit ikut memaknai pula perubahan tatanan pada masyarakat Jawa. Ini turut memberi dukungan bagi filosofi pembangunan orde baru saat itu, yakni menggunakan teknologi, menyerap dan sekaligus menyeleksi nilai eksternal. Ini menjadi legitimasi perubahan pakem wayang kulit. Seiring dengan perubahan tersebut, wayang kulit mulai digunakan pejabat orde baru baik negeri atau swasta untuk mengisi beragam acara. Predikat wayang kulit sebagai kesenian daerah yang kuno berubah menjadi kesenian kota. Selama wayang kulit tetap berefleksi dan menjaga agar penonton tak bosan walau menontonnya semalam suntuk, ia akan tetap bertahan.
Kelir tanpa Batas melambangkan perumpamaan bahwa kajian mengenai wayang kulit tak akan pernah selesai. Wayang kulit akan terus ada dan bertahan dengan perubahannya. Tak hanya perubahan wayang kulit dari waktu ke waktu yang coba diselami oleh Umar Kayam, ia juga menampilkan profil dalang sesuai identitas pembagian daerah yakni Surakarta, Yogyakarta, dan Jawa Timur. Buku ini dilengkapi gambar-gambar mengenai peralatan wayang, dalang dan suasana pertunjukan wayang agar memberi gambaran kepada pembaca yang belum pernah menyaksikan wayang kulit. Penelitian ini turut memberi hawa baru dalam wacana wayang kulit karena dikembangkan dari penelitian sebelumnya. Walaupun terdapat istilah yang kurang dijelaskan secara rinci oleh penulis, penjabaran yang runut tak mengurangi kualitas isi buku. Bagi anda yang tertarik menyelaminya lebih dalam, belum terlambat untuk ikut melestarikan kesenian tradisional ini.

(Resensi buku)Neoliberalisasi Tidak Akan Berdiri Tanpa Kemiskinan

Dipertahankannya neoliberalisme pada akhirnya berakibat terbunuhnya masyarakat miskin secara perlahan

Judul Buku : Kemiskinan Global (Kegagalan Model Ekonomi Neoliberalisme)
Penulis : Jeremy Seabrook diterjemahkan oleh Darmawan.
Penerbit : Resist Book
Tebal Buku : 166 + VII halaman
Waktu terbit : September 2006

Dibalik kemewahan gedung pencakar langit terdapat perumahan kumuh di kolong jembatan. Setidaknya seperti itulah keadaan yang terjadi di selatan kota Jakarta. Penghuninya adalah para gelandangan pemungut sampah dengan baju rombeng. Mereka selalu mengais untuk mendapatkan beberapa receh uang. Dibelahan dunia yang lain, pemukiman London Utara, terdapat pemukiman-pemukiman kumuh dimana wadah plastik digunakan untuk menampung air yang bocor dari atap. Mereka yang bernaung disana adalah orang-orang yang kehilangan dan tidak berdaya.
Dimanapun kemiskinan selalu terjadi dengan cara yang sama. Diantara orang kaya mereka menjadi tak terlihat. Statistik tentang mereka tenggelam bersama dengan meledaknya kasus-kasus kriminalitas. Keprihatinan atas kasus kemiskinan sebagai akibat model ekonomi neoliberalisme mendorong Jeremy Seabrook untuk menelaah lebih dalam mengenai penguncian orang miskin, ketidakadilan, penanganan kemiskinan, fakta-fakta kemiskinan dan mekanisme pemiskinan.
Di AS dan Inggris, pengurungan di tempat kerja merupakan usaha pemaksaaan agar orang miskin mau menyesuaikan diri dengan nilai-nilai yang diciptakan oleh kelas berpunya. Dari kasus-kasus yang terjadi kemudian munculah yayasan atau institusi-isntitusi sosial. Yayasan sosial diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan kaum termarginal tersebut. Namun pada kenyatannya, dalam struktur perencanaan ekonomi global tak ada rencana perbaikan yang dilakukan.
Dalam buku ini juga dijelaskan bagaimana kolonialisasi muncul sebagai biang kemiskinan. Dari kolonialisasi tersebut kemudian berkembanglah globalisasi dan sistem ekonomi neoliberalisme. Menurut Seabrook sistem ekonomi neoliberalisme hanya mungkin berdiri diatas penderitaan dan kemiskinan.
Buku yang disajikan dari berbagai fakta kemiskinan ini kiranya dapat memberikan penyikapan atas seluk beluk globalisasi. Selain itu fakta di dalamnya dinilai dapat memberikan kritik bagi para pembuat kebijakan. Namun kritik didalamnya kurang dapat mencerminkan solusi nyata bagi kesejahteraan masyarakat miskin. Kesalahan struktur kalimat dan keganjilan makna yang diterjemahkan juga masih terdapat didalamnya. (Tiwi)

(Resensi buku)Studi Ke Luar Negeri? Tak sekadar Impian

Judul Buku : Kiat Memenangkan Beasiswa
Penulis : Pangesti Wiedarti & Togap Siagian
Penerbit : Tiara Wacana
Tebal Buku : 206 halaman + xx
Tahun Terbit : Mei 2006

Melanjutkan studi ke luar negeri kiranya bukan sekadar impian belaka. Namun, seiring dengan banyaknya lembaga yang menawarkan beasiswa, peminatnya pun kian bertambah. Sehingga bagi pencari beasiswa dituntut jeli agar dapat memenangkan persaingan.

Sekitar 15 atau 20 tahun yang lalu, lulusan Strata 1 dapat dipastikan memperoleh pekerjaan yang baik, cepat, serta mendapatkan gaji yang menggiurkan. Dengan berkembangnya persaingan sebagai imbas dari perdagangan bebas, saat ini keadaan telah berubah. Lulusan Strata 1 saja belumlah cukup untuk menembus pasar kerja. Tak jarang ditemui masih banyak mahasiswa yang bingung dalam menentukan langkah setelah menyelesaikan studi pada jenjang Strata 1, sementara itu persaingan justru semakin ketat.
Berkembangnya teknologi membuat semakin ketatnya persaingan global. Di sinilah berlaku hukum alam, siapa yang kuat dialah yang menang. Persaingan global menuntut setiap orang untuk dapat memperbaiki diri agar menduduki posisi sebagai pemenang. Agar tetap survive dalam menghadapi persaingan, dibutuhkan pula pembekalan diri, khususnya secara akademis. Salah satu caranya dengan mendapatkan pendidikan yang berkualitas internasional di Luar Negeri. Terbukti bahwa mereka yang lulusan dari universitas di Luar Negeri mempunyai bargaining position yang kuat di pasar kerja.
Bagi yang belum mempunyai cukup biaya untuk memperoleh pendidikan yang berkualitas internasional di Luar Negeri tidak perlu khawatir karena saat ini banyak lembaga yang menawarkan beasiswa baik partial maupun full. Namun untuk mendapatkan beasiswa bukanlah suatu hal yang mudah. Ada ribuan orang bersaing dari berbagai negara untuk memperebutkannya sedangkan beasiswa yang tersedia terbatas jumlahnya. Hanya mereka yang benar-benar memenuhi kualifikasi sajalah yang akan berhasil memenangkan persaingan di antara ribuan orang tersebut.
Berbagai persyaratan pun haruslah dipenuhi untuk mendapatkan beasiswa. Biasanya nilai TOEFL/IELTS, yaitu standar nilai kemampuan berbahasa Inggris harus mencapai skor 550, GPA atau IPK minimal 3,00, ditambah pula memiliki kemampuan membuat proposal dan essay dalam bahasa Inggris merupakan syarat-syarat mutlak yang harus dipenuhi. Masih banyak persyaratan lain yang harus dipenuhi sehingga dari sinilah Pangesti Wiedarti dan Togap Siagian memaparkan sejumlah tips untuk membantu mendapatkan beasiswa studi ke Luar Negeri.
Buku yang diilhami dari pengalaman moderator mailing list beasiswa ini memberi banyak pengetahuan dan informasi mengenai kiat dan trik mendapatkan beasiswa sesuai dengan minat. Karena selalu berusaha untuk meng-up date segala informasi mengenai beasiswa sehingga secara kuantitas buku ini tersedia dalam jumlah yang terbatas.
.
Pembahasan dalam buku ini terkait dengan hal-hal apa saja yang dijadikan parameter penilaian diterima atau tidaknya suatu pengajuan beasiswa serta bagaimana cara menembus parameter tersebut. Terlebih tips dan triks di dalamnya disampaikan dengan bahasa yang mudah dipahami dan pembahasannya runut sehingga mudah dipahami oleh siapapun yang membacanya. Buku ini cukup penting untuk dijadikan referensi bagi Anda yang ingin melanjutkan studi ke Luar Negeri dengan biaya murah bahkan gratis. Sayangnya, buku ini kurang memberikan pembahasan secara tuntas mengenai pencarian beasiswa sehingga sering membingungkan bagi pembacanya.
Dalam pencarian beasiswa asalkan mau mencoba tidak akan ada yang mustahil dan sia-sia. Bagi Pangesti Wiedarti, kegagalan dalam mendapatkan beasiswa merupakan hal yang biasa, yang paling penting adalah usaha kita untuk terus memperbaiki diri dan pantang menyerah. [Tiwi]

Fenomena Animasi Mr. Bean: Sebuah Kritik Bagi Bangsawan Inggris

Fenomena Mr. Bean hadir sebagai bagian dari masyarakat Inggris dengan karakternya yang kocak, kekanakan, melanggar dari tata karma, dan selalu ingin balas dendam seolah memberi sindiran bagi masyarakat golongan tertentu di Inggris, terlebih lagi jika dihadirkan melalui bentuk film animasi yang disusun dari sebuah khayalan yang kemudian menjadi tidak terbatas.
Film animasi yang saat ini sedang menjadi tren dalam dunia hiburan merupakan film yang memiliki cirri khas dibanding film lainnya. Film ini merupakan hasil dari imajinasi pembuatnya yang terkadang terlihat tidak masuk akal jika hal itu benar-benar terjadi di kehidupan nyata. Cirinya yang lain yaitu film ini dilukiskan untuk mempunyai sifat menarik dan berkarakter yang biasanya cenderung bersifat komedi.
Maka setelah kesuksesan film nyata Mr Bean yang diperankan dan sekaligus diproduseri oleh Rowan Atkinson, Perusahaan Tiger Aspect mengeluarkan Film Mr. Bean dalam bentuk animasi. Mr. Bean sebagai tokoh sekaligus bagian dari masyarakat Inggris seakan memberi kritikan tersembunyi terhadap golongan pemerintah dan bangsawan Inggris yang notabene identik dengan aristokrasi, pembatasan-pembatasan tata karma, Feodalis, dan symbol-simbol monarki yang dibawanya. Sosok Mr. Bean sangat jelas diungkapkan bertolak belakang dengan tradisi kebangsawanan Inggris tersebut. Oleh Mr. Bean segala aturan ini diputarbalikan dengan sentuhan komedi melalui ekspresi wajah dan tingkah lakunya.
Keunikan inilah yang mendorong Triarani Susy Utami, mahasiswi jurusan Ilmu Komunikasi UGM untuk mengambil penelitian ini dalam skripsinya yang berjudul “Mr. Bean dan Representasi Perilaku Masyarakat Inggris” . Dalam skripsinya tersebut, ia mengungkapkan bahwa sebuah film itu diciptakan untuk mampu menembus batas-batas kelas dan mencapai banyak lapisan sosial, film memiliki kemampuan untuk mempengaruji masyarakat berdasar pengaruh yang dibawanya. Namun pada realitas masyarakat saat ini tidak sesederhana itu, jika film hanya mencerminkan kenyataan dalam masyarakat dimana film itu dibuat, maka film tidak akan memiliki kekuatan untuk mempengaruhi masyarakat. Dalam film kita dipengaruhi untuk mempercayai apa yang dihadirkan dalam film.
Sebagai obyek dalam penelitian ini adalah film animasi Mr. Bean yang pertama kali disiarkan di televise Inggris. Film yang tidak jauh berbeda dengan versi senyatanya ini menggambarkan kehidupan sehari-hari Mr. Bean yang diwarnai humor, tingkah laku aneh, jorok, menentang tata karma, dan seenaknya sendiri. Film ini telah dibuat 25 episode yang berdurasi 26 menit ( 13 menit / seri, sehingga ada 50 seri )selain telah diputar di televise Inggris juga telah ditayangkan di stasiun televise di Indonesia, beredar pula dalam bentuk DVD.
Dalam penelitian ini Triarani menggunakan pendekatan semiotic yaitu kajian mengenai suatu tanda yang terus berkembang di masyarakat. Pendekatan ini melihat objek penelitian sebagai media komunikasi yang didalamnya berjalan sebuah produksi serta pertukaran makna oleh objek penelitian sebagai sebuah teks sekaligus hasil dari kebudayaan yang terus berkembang.
Metode analisis wawancara dengan analisis semiotic juga digunakan dalam penelitian ini. Semiotik adalah sebuah pembelajaran sistematis tentang tanda. Mengingat objek penelitian merupakan suatu teks yang terdiri dari berbagai macam symbol yang tergabung dalam suaru system maka metode ini digunakan untuk menelaah tanda-tanda tersebut dan mengetahui makna apa yang terkandung di dalamnya. Dalam penelitian ini digunakan dua teknik semiotic, yaitu teknik analisis semiotic menurut Saussure dan Teknik analisis semiotic menurut Bartness agar dapat saling melengkapi. Pada analisis semiotic Saussure mengungkapkan bahwa sebuah tanda terdiri dari petanda dan penanda, petanda lebih bersifat material, fisik sedangkan penanda bersifat mental yang lebih luas cakupannya. Berbeda pada teknik analisis menurut Bartnes, pemahamannya dengan melihat hubungan antara latar belakang cultural pembaca yang dibagi dua yaitu konotasi yaitu pemapanan data berupa tanda-tanda perfilman dan konotasi yang merupakan hasil dari analisis data.
Jenis penelitian ini tergolong jenis penelitian deskriptif karena data dan hasil penelitian diungkapkan dalam bentuk gambaran umum.
Dari hasil penelitian dan analisis datanya, diperoleh beberapa temuan mengenai kisah cerita dan hal-hal yang dinilai menyimpang dengan kewajaran. Dalam film ini Mr. Bean digambarkan hidup disebuah rumah kost bersama seorang pemilik kost yang galak dan menyebalkan beserta seekor kucingnya yang menyebalkan pula. Dari keadaan tersebut maka tercipta sejumlah konflik mulai pada masalah tata karma, bersih-bersih rumah, hingga kegiatan berbelanja, namun dengan semua itu Mr. Bean menjalani semuanya dengan apa adanya bersama boneka teddy mungilnya. Suatu contoh pada satu adegan film ketika makan di ruang makan cirri khas bangsawan, kondisi ruang makan itu tidak terlalu terawatt baik karena melambangkan si nyonya bangsawan yang telah ditinggal mati suaminya sibuk dengan hartanya, bagi kaum bangsawan harta adalah segalanya. Dengan bentuk meja panjang dengan segala aturan yang mengatur berbagai macam hal mulai dari cara memegang garpu dan pisau, cara mengunyah, menggunakan lap hingga sikap tubuh saat makan, pada keadaan seperti itu Mr. Bean merasa kesulitan, maka ia mengambil roti sekenanya dan memotongnya dengan gerakan kasar sehingga roti yang keras itu jatuh terloncat, ini melambangkan bahwa di kehidupan bangsawan masih ada makanan yang keras. Di pojok ruangan terdapat seekor kucing milik si nyonya yang kurus dan hanya diberi sisa tulang ikan, hal ini melambangkan kaum bangsawan yang pelit.
Dari hasil analisis contoh temuan kita dapat mengetahui tata krama apa saja yang berlaku pada kehidupan institusi masyarakat Inggris khususnya pada bangsawan dan kalangan elit di Inggris. Aturan ini menjadi suatu penentu perilaku dan kebiasaan bagi golongan tersebut. Mr. Bean, dalam film ini ditembatkan sebagai tokoh yang terjebak dalam perilaku tersebut. Inin berarti bahwa Mr. Bean seharusnya mengikuti segala aturan dalam institusi tersebut, tetapi Mr. Bean sebagai tokoh yang eksentrik berhasil mengatasi semua kondisi tersebut dengan caranya sendiri dan apa adanya. Mr. Bean menjadi tokoh pendobrak bagi segala aturan tersebut meski ia tidak melakukannya dengan sengaja. Dengan sentuhan humor, dan ejekan yang dihadirkan tentu dapat memberi hiburan yang mampu membuat orang tertawa.
Dalam penelitian ini berhasil diungkap beberapa bentuk sindiran atas kekakuan tata karma, kemunafikan golongan bangsawan yang berlindung di bawah aristokrasi, juga merupakan symbol bahwa dalam hidup itu harus berjuang.