Thursday, January 22, 2009

Skandal Lembaga Survey Pemilu Seratus Juta

Matahari 2009 terbit, pesta perebutan kuasa lima tahunan siap digelar lagi. Jargon-jargon romantis tentang perubahan dimaklumatkan dan ah… tak lupa tebaran gambar wajah senyum penuh kepentingan pun mulai mengganggu pemakai fasilitas umum. Selain itu, sepertinya legitimasi akademis mulai sering digunakan calon-calon terpilih untuk saling melumatkan kekuatan lawannya. Akademisi tak kalah lihai membaca pasar dengan beramai-ramai mendirikan lembaga survey politik praktis. Fenomena demikian pun terjadi di semua provinsi negeri angin, tak terkecuali berdirinya sebuah lembaga survey yang dipelopori dosen sebuah fakultas pada salah satu universitas di kota gudeg ini.

Kebanyakan lembaga survey ini memberi cap sedemikian gemerlap pada institusinya: andal, data reliabel dan valid, serta mampu menjaring ribuan responden dengan waktu cepat. Tag line semacam itu memang cukup mantap tuk sekadar jual kecap, sayangnya cukup gagap ditataran praktek.

Lusa, seorang kawan bertandang ke flat saya dan mengajukan penawaran untuk menjadi surveyor atau enumerator di lembaga survey milik seorang dosen.

“Ayo Tiw, bergabunglah bersama survey ini. Aku merekomendasikanmu pada supervisinya. Lumayan lho seminggu bayarannya bisa lebih dari setengah juta. Pye?”

“Memang sih aku biasa melakukan survey, tapi baru kali ini aku ditawari jadi ‘buruh’ di bidang politik praktis. Jawabanku: Emoh.”

“Lho kok?”

“Alesane; pertama, saat ini bukanlah saat yang tepat untuk berpeluh keringat mencari penghasilan lagi. Ada tuntutan lain yang harus diselesaikan dengan segera. Kedua, aku masih belum selesai dengan persoalan pengetahuan dan kepentingan apalagi sangkutannya politik praktis. Ketiga, jangan kira responden sekarang bisa gampang diambil datanya. Mereka akan menanyakan padamu survey ini tentang apa? Tujuan dan kepentingannya apa? yang mendanai siapa? Dan aku sedang malas menghadapi mereka. Eh, sik.. sik…; emange lembaga ini didanai berapa dan oleh siapa?”

“Kira-kira seratus jutaan, yang ndanai ya partai ********************* dan media ****************”

Wow dasyat! Saya memang tak meragukan kapabilitas dan kredibilitas para perancang survey tersebut. Hanya kemudian lagi-lagi berpikir; ternyata di ruang public dalam hal ini media cetak dan elektronik terdapat sebuah kesatuan: kepentingan, kuasa dan pengetahuan. Saya rasa ini sah-sah saja meski saya sendiri belum selesai dengan persoalan ini. Akhirnya, dengan agak sok-sok an saya menolak tawaran teman saya itu ;)

Seminggu kemudian kawan saya datang lagi ke flat saya dengan wajah murung namun terlihat lega.

“Pye surveynya sudah selesai?”

“Sudah. Tapi, selesai dengan sangat licik dan busuk”

“Lho?”

”Jadi, aku ditugaskan menjaring responden di Sleman dan Kota Yogya. Aku yang sendirian ini ditugaskan untuk menjaring seratus responden dalam waktu satu minggu. Seperti yang kita ketahui bersama, birokrasi di kelurakan, kecamatan itu sangat berbelit dan tak butuh waktu sehari dua hari. Sedangkan di Kota dan Sleman itu terdiri puluhan kecamatan. Kebanyakan responden yang juga beberapa birokrat ini tak mau mengisi kuesioner tanpa izin dari Kecamatan. Dan satu kuesioner itu ada puluhan pertanyaan. Gila ga sih? Apakah cukup realistis jika aku hanya diberi waktu satu minggu?”

“Uh huh? Tapi akhirnya selesai kan?”

“Seharusnya memang demikian. Tapi tiba-tiba di hari kelima tim pendana yang dari Jakarta datang ke Yogya dan meminta semua data yang belum selesai itu dan olahannya. Sinting tu mereka semua! They did it for their fucking media! Perjanjiannya kan tujuh hari dan menurutku itu tidak cukup realistis, mereka malah datang pada hari kelima. Deadline diajukan. SINTING!”

“Trus pada selesai ga?”

“Ya belum lah, temenku banyak yang belum, aku masih kurang sedikit.”

“So?”

”Ya, supervisiku yang mengisi kuesioner yang belum terisi itu seenaknya. “

“Lho kok begitu? Datanya ga valid dong?”

“Jelas. Trus supervisiku itu bilang ya sudah, lha wong mereka ga fair, saya juga ga fair dong. Kalo mereka cukup realistis ya saya realistis. Data dimanipulasi agar sekiranya hasilnya sesuai harapan.”

Ternyata benar perkiraan saya selama ini. Fenomena ini menunjukan ternyata kepentingan bahkan ada diatas pengetahuan. Pengetahuan bisa seenaknya dimanipulasi demi sebuah kepentingan. Tag line (sok) cakap bak jual kecap ternyata di tataran praktek cukup gagap dan bermuara pada gagalnya penelitian. Jadi, perlukah kita percaya dengan hasil penelitian lembaga survey politik?

2 comments:

  1. Anonymous10:21 AM

    waduh, untung saya gak pernah ikut pryek politik praktis...hehe..apologi...tapi bener wik, uang dari hasil mroyek tidak langgeng....dulu aku beli helem, kamera dll dari uang mroyek eh helm malah ilang, kamera malah rusak dll. Hape ku masih aman karena emang didapat bukan dari proyek tapi dari kerjaan yg lain...hehe....uang mroyek emang ga berkah...

    ReplyDelete
  2. Anonymous8:45 PM

    bukan maslah berkah atau g berkah bos...itu masalah udah dizakatin apa belum...lembaga survey politik? hmm....sampling errornya dicantumin kan? so, percaya aja kan penelitiannya g cuman satu lembaga.

    ReplyDelete