Monday, May 25, 2009

Derai Posfeminisme Chicklit dalam Deras Arogansi Literatur

"Ya, ampuun...kenapa rak buku barumu sekarang ada majalah dan novel chiklitnya? ga ada bacaan yang lebih mutu?" Tanya seorang teman yang ngakunya intelek itu dengan nada yang arogan. Setidaknya pertanyaan itulah yang menuntun saya pada tulisan ini. Yah eheem... membaca reproduksi tanda tokoh wanita yang dikonstruksikan pada media majalah dan novel wanita metropolis yang cenderung tangguh, 'seksi', acuh tak acuh, tidak menganggap diri sebagai korban, dan menginginkan kuasa akhirnya membawa Ann Brooks main mewacanakan apa yang disebut dengan posfeminis dalam Posfeminisme & Cultural Studies (Jalasutra, 2008). Saya mungkin tak bisa bertutur banyak perihal manifesto wacana posfeminis, mengingat pengetahuan saya tentang hal tersebut masih sangat prematur.

Dalam buku tersebut, Brooks mendekonstruksi kuasa wanita dalam peran ganda dan budaya patriarkhi. Ini menggelitik saya untuk membaca dan mengamati novel-novel ciklit. Seminggu yang lalu saya baru saja menamatkan novel Allison Pearson yang berjudul I Don't Know How She Does It -Sorry mba Sisca n mas Co2, aku baru sempat membacanya sekarang, bukan tiga tahun lalu saat kalian menghadiahkannya bersama Sejarah Filsafat Barat, Reading @ the University dan Good Essay Writing-. Mengamati perjalanan sang tokoh utama, Kate Reddy, ibu muda yang 'seksi', menjalankan peran ganda; dalam rumah tangga dan kantor dengan rekan-rekan kerja yang seksis, sang Albeheimer, sembari harus mengamati kurs lalu memprediksi dan meramalkan keputusan besar di perusahaannya merupakan fenomena yang tak bisa dihindari bagi wanita karier di perkotaan. Sang Pearson pun menjabarkannya dengan ringan, apa adanya dan tanpa menghakimi. Akhirnya, sang Kate pun jatuh pada satu titik sekaligus disaat itulah dia memenangkan 'keadilan' dengan caranya sendiri tanpa gembar-gembor dengan teori feminisme. Kultur Inggris sebagaimana setting novel tersebut sebenarnya pun tak jauh beda dengan kultur Jawa yang monarkhi. Maka, secara tak sengaja otak saya pun menganalogikannya dengan perjuangan ibu saya selama ini. Ibu dididik dengan budaya 'Jawa' (diberi tanda petik karena masih belum tau Jawa yang sebenarnya seperti apa) yang kata feminis cenderung patriarkhi, mengekang, dan mengonstruksikan wanita cantik harus tampil indah, menjaga nama suami, suargo nunut neroko katut, dsb...dsb... Meski demikian, Ibu terus 'mengabdi' dan akhirnya sekarang kekuatan aktor-aktor dalam budaya jawa yang patriarkhi dan 'menindas' ibuku itu melemah kekuatannya dan tak bisa hidup tanpa ibuku. Sedang ibuku? Sukses menunjukan kekuatan beliau dan berhasil menjadi single parent bagi ketiga putra putrinya meski perjuangan beliau tidaklah ringan.

Dekontruksi lain yang ditawarkan Brooks yakni tentang kecantikan. Selama ini feminisme selalu memposisikan konstruksi kecantikan ala patriarkhi dalam iklan produk kecantikan dan media itu yang menindas perempuan. Analisis Brooks bukan mengkritik tentang konstruksi kecantikan yang menindas-vertikal, melainkan ia menyajikan beragam analisis tanda tentang konstruksi kecantikan secara horizontal. Yah... semangatnya posmodern banget lah. Dua tahun yang lalu iseng-iseng saya membuka-buka majalah cosmopolitan di sebuah warung internet karena sedang antre. Dengan Fun, Fearless Female-nya majalah ini menawarkan isi yang sangat beragam. Kesan pertama sewaktu membaca-baca majalah tersebut; "Wuaaah, majalah kok iklan thok, full branded, ilusi kapitalisme dengan menjadikan tubuh perempuan sebagai komoditas, dsb.. dsb..." Namun, akhirnya saya sampai pada satu rubrik yang menggambarkan pengalaman seorang wanita karier yang akhirnya melepas kariernya, mengabdi di dunia pendidikan dan tetap memiliki pemikiran yang sangat kritis . Penampilan wanita tersebut jauh dari citra kecantikan yang selama ini dikonstruksi oleh sederetan iklan pelangsing tubuh dan pemutih wajah di majalah tersebut. Tak disangka, apa yang diperjuangkan wanita tersebut ikut membantu penelitian saya dalam sebuah jurnal mahasiswa dan menginspirasi skripsi saya sekarang.

Di edisi cosmopolitan yang lain, disajikan pengalaman sepasang ibu muda kembar; Rosi dan Rian yang berpenampilan bak bintang sinetron namun mereka berhasil membebaskan warga di kolong jembatan tiga, tol gedong panjang, pinggir kali Sunter, Cilincing, bantar gebang serta kantong kemiskinan di jakarta lainnya dari buta huruf dan kemiskinan. Kini mereka telah memiliki murid hingga 800 orang. Agar tak terjebak pada 'licik' nya LSM yang menjadikan kemiskinan sebagai proyek dagang, kedua wanita tersebut tetap kritis terhadap LSM plat hitam mauopun merah yang mengajak meraka kerjasama. Saat rosi dan rian diundang ke dalam diskusi sosialisme dan disindir dengan penampilan mereka, toh mereka tetap melenggang kangkung dengan busana bermerk, acuh tak acuh menyatakan bahwasanya sosialismepun sebenarnya sama menindasnya dengan kapitalisme. Dalam rubrik semacam itu, disajikan bagaimana pemikiran tentang konstruksi kecantikan dibenturkan. Bahwasanya permasalahan hegemoni dan kesadaran tergantung siapa yang mengkonstruksi. Jikalau feminisme mengklaim dirinya sebagai yang menyadarkan atas penindasan kapitalisme toh posfeminis justru mengklaim usaha feminisme tersebut dengan menilainya sebagai usaha membentuk hegemoni tandingan. Posfeminisme akhirnya menonjolkan kesadaran dan nalar pada diri masing-masing perempuan tanpa menafikan kekuatan iklan kosmetik di media dalam membentuk konsep cantik. Akhirnya, toh wacana posfeminis tetap menyerahkan konstruksi kecantikan pada kenyamanan dan rasionalisasi dalam diri masing-masing perempuan.


Jantung Metropolitan setelah menghadiri pernikahan saudara yang melelahkan

1 comment:

  1. Nice, mencerahkan. Kebetulan saya sedang membaca buku Ann Brook tsb utk yg ketiga kalinya. Krn pertama kali membaca gak ngerti, membaca kedua tambah gak ngerti dan membaca yg ketiga kalinya baru ngerti. Saya seorang laki-laki yang anti pologami dn mendukung perjuangan perempuan meskipun buat para laki-laki perjuangan perempuan itu membingungkan. Nah buku Ann Brook ini membuka mata saya ternyata feminisme juga bukan satu-satunya alat pembebas, bahkan mungkin malah bentuk lain dari penindasan, yah intinya feminisme perlu dikaji ulang karena ternyata banyak sisi dari feminisme yang justru merugikan perempuan.

    ReplyDelete