Ospek : Hegemoni Premanisme dalam Tubuh Intelektual Mahasiswa
Tak dapat dipungkiri, budaya kekerasan telah mendarah daging pada jiwa masyarakat Indonesia, sejak zaman kolonial, dengan munculnya sistem kerja Rodi, Romusha, hingga zaman pemerintahan orde baru dan reformasi seperti saat ini meski intensitasnya makin berkurang. Mungkin karena kekerasan yang selalu ditanamkan sehingga bukan lagi isapan jempol ketika elite politik melakukan kekerasan untuk menumbangkan lawannya. Kekerasan identik dengan dua hal yakni keberanian dan kekuasaaan. Sehingga jika ditinjau kembali masa orientasi kampus, yang telah menghalalkan terjadinya kekerasan fisik berujung pada senioritas. Dari tradisi-tradisi kekerasan semacam inilah kemudian berlaku dalil ahli politik Inggris, Lord Acton, kekuasaan cenderung koruptif. Jatuhlah korban jiwa tewas, luka, atau trauma berkepanjangan akibatnya proses ini akan terus terulang. Mahasiswa baru kelak menjadi mahasiswa senior dapat "membalas dendam" perlakuan senior mereka terhadap mahasiswa baru pada awal tahun kuliah berikutnya. Seperti halnya dikemukakan oleh Max Weber yang menyatakan adanya hubungan dekat antara kekuasaan dan kekerasan. Kekerasan dipakai sebagai cara manusia melaksanakan dan memperbesar kekuasaan. Dalam hal ini senioritas yang terjadi pada ritual ospek.
Ketika kita kembali pada esensi utama mahasiswa sebagai kaum intelektual, saat ini yang diperlukan adalah bagaimana semua pihak berpikir untuk mengubah pola orientasi dari pola kekerasan fisik ke pola yang lebih baik, seperti peningkatan sumber daya mahasiswanya. Memang secara global, seperti yang dikemukakan Mahi. M. Hikmat, dosen IAIN Bandung, dalam tulisannya mengenai kekerasan, bahwa pembinaan militerisasi yang demikian dapat menghasilkan jutaan manusia yang tangguh, dan berhasil. Perlu keberanian untuk membangun mental. Namun saat ini bukan masalah berani atau tidak berani, tapi secepatnya budaya kekerasan harus dihentikan dan paling tidak diminimalisir, jika kegiatan yang berdaur ulang ini terus terjadi akan semakin banyak berjatuhan korban dan lagi-lagi esensi kekerasan itu sendiri masih dipertanyakan.
Bentrokan yang terjadi antara Fakultas ISIPOL dan Fakultas Kehutanan UGM pada tahun 2003 silam yang menyebabkan banyaknya korban berjatuhan. Begitu pula yang terjadi dengan meninggalnya praja STPDN dan STTAD bulan lalu karena pembantaian yang dilakukan seniornya. Dari hal-hal tersebut perlu ditinjau kembali apakah ospek masih mempunyai manfaat terhadap masa depan akademis mahasiswa. Perlu ditekankan kembali bahwa ospek sebagai wahana pengenalan mahasiswa terhadap dunia idealisme dan intelektualitas. Maka ospek sebaiknya tidak mengarahkan mahasiswa sebagai bibit-bibit unggul dari pengerasan dan kekerasan. Konsistensi mahasiswa perlu dipertegas dalam perjuangan penegakan nilai-nilai demokrasi, mempertajam pemahaman khususnya bagi mahasiswa dan umumnya masyarakat terhadap hakikat kemanusiaan, demokrasi, dan nilai-nilai humanisme sebagai fundamen perjuangan reformasi.
Mahasiswa adalah kaum yang dipersiapkan untuk bernalar sekaligus calon pemimpin bangsa yang sangat diharapkan menjadi pengawal kehidupan berbangsa ke depan. Namun jika hal ini telah mendarah daging dalam tubuh intelektual mahsiswa, marilah kita melihat kembali pada kekerasan yang dilakukan elite politik di era sebelumnya, apa jadinya jika calon pembangun bangsa ini dididik dengan kekerasan ? masihkah perlu ?
Mengapa aspek pemikiran kurang dieksplorasi dalam membangun dinamika kampus? Padahal penguatan aspek pemikiran dalam dunia kampus menjadi ajang kreativitas berpikir secara kritis dalam menyikapi berbagai persoalan bangsa, mengapa justru asyik bemain dengan kekerasan ?.
Meski dari tahun ke tahun ospek mengalami berbagai dinamika, ospek tak pernah disinggung sama sekali dalam peraturan dan perundangan kependidikan. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan Peraturan Pemerintah No 30/1990 tentang Pendidikan Tinggi tak satu kali pun memuat kata ospek mahasiswa baru. Artinya, ospek memang tidak menjadi bagian strategis penting proses pendidikan.
Namun ospek perlu dipertahankan dengan beberapa syarat. Pertama, lebih dikembangkan semangat memperkenalkan dunia kampus berikut penyesuaian masing-masing. Kedua, jauhkan ospek sebagai ajang ekspresi impulsi-impulsi kekerasan. Ketiga, agar syarat pertama dan kedua terselenggara, mestilah rektor berikut perangkat di bawahnya bertanggung jawab dan mengoordinasi langsung ospek di kampus masing-masing. Sudah saatnya dikembangkan cara berpikir yang mebih edikatif mengenai ospek. (tw)
tulisan-tulisan mu di blog bagus banget... :D runtun dan kritis... aku suka dengan tulisan ttg ospek ini karena aku juga pernah mengupasnya.. tapi gak sebagus ini... bagus..
ReplyDeletesalam kenal.