KETIDAKPROFESIONALAN PETUGAS DAN SISTEM HEREGISTRASI UGM 2006
Pelayanan heregistrasi mahasiwa UGM semester gasal tahun ajaran 2006/ 2007, ternyata masih membuahkan banyak keluhan dari mahasiswa UGM sendiri. Keluhan itu terutama berasal dari mahasiswa yang mendapatkan bantuan keringanan. Ketidakrofesionalan birokrasi masih saja menjadi kebiasaan instansi yang seharusnya menjunjung profesionalisme ini. Ketidakprofesionalan berawal dari tempat pembayaran bagi penerima bantuan keringanan yang hanya diperbolehkan disatu tempat yakni tempat C. Heregistrasi seharusnya bisa dilakukan pada 15 tempat. Jadi penerima beasiswa yang akan membayar di tempat A harus dilempar ke tempat C tanpa pemberitahuan sebelumnya. Padahal mahasiswa tersebut sudah cukup lama antri di tempat A. Tidak seperti semester genap sebelumnya, bagi semua mahasiswa boleh membayar di tempat-tempat yang disediakan.
Ketidakprofesionalan selanjutnya berasal dari proses pembayaran yang diterapkan. Proses pembayaran yang seharusnya lebih efektif dilakukan dengan satu kali antri saja malah dilakukan dua kali proses. Proses pembayaran tahap pertama mewajibkan mahasiswa untuk antri mengumpulkan kartu tanda mahasiswa atau identitas lainnya. Kemudian dilakukan pengecekan kembali terhadap bantuan yang diperoleh. Proses ini memakan waktu cukup lama. Selanjutnya proses pembayaran tahap kedua dilaksanakan untuk memanggil nama mahasiswa yang telah mengumpulkan identitas pada proses sebelumnya dan transaksi baru bisa dilakukan. Proses tahap dua lagi-lagi memakan waktu berjam-jam. Ini tentunya tidak efisien apalagi pemanggilan nama mahasiswa pada proses kedua dilaksanakan secara tidak urut. Seharusnya mahasiswa yang mengantri lebih awal di antrian tahap pertama bisa melakukan transaksi lebih awal pula pada proses kedua. Tetapi kenyataannya justru lain, mahasiswa yang diutamakan justru mahasiswa yang datang lebih akhir di antrian tahap pertama. Proses pembayaran ini akan lebih efektif jika dilakukan dengan satu kali antri saja. Jadi jelas siapa yang datang awal langsung antri, membawa identitas sendiri dan melaksanakan transaksi. Petugas tidak perlu kerepotan memanggil satu persatu mahasiswa, selain itu mahasiswa juga tak banyak membuang waktu. Dengan proses pembayaran tahap dua yang sangat tidak adil tadi berakibat bahwa mahasiswa yang mengantri di tahap pertama sejak jam sembilan pagi justru belum transaksi. Padahal mahasiswa yang antri tahap pertama pada jam tiga sore sudah selesai transaksi. Hingga saat ini saya belum bisa menangkap maksud birokrasi yang berbelit-belit ini. Profesionalisme macam apa ini ?.
Proses heregistrasi ini berlangsung sejak pukul delapan pagi hingga pukul tujuh malam. Itupun belum semua mahasiswa yang telah mengantri pada proses pertama melaksanakan transaksi pembayaran. Termasuk saya sendiri yang belum dipanggil padahal saya telah mengalami antrian tahap pertama sejak pukul sepuluh pagi hingga jam tujuh malam. Ketika dikonfirmasi lagi ternyata kartu tanda mahasiswa yang telah saya kumpulkan pada antrian tahap pertama hilang. Hilangnya kartu tanda mahasiswa ini bukan saya saja yang mengalami tetapi juga beberapa rekan mahasiswa yang lain. Namun mahasiswa yang belum bertransaksi dipersilahkan untuk kembali esok harinya karena loket pembayaran sudah tutup. “Akan ada loket khusus untuk melayani mahasiswa yang belum transaksi. Memang harusnya bank sudah tutup sejak jam tiga sore tadi, tapi ini sudah jam berapa ? Para kasir tentu sudah kelelahan mbak! dari tadi belum istirahat! “, ujar seorang petugas. Alasan ini terlalu naif untuk diuangkapkan. Siapa yang peduli kasir merasa lelah ? Toh kasir memang dibayar untuk semua kelelahan mereka. Pihak bank sendiri sebagai mesin kapitalis dirasa terlalu naif untuk memikirkan karyawannya dari sisi humanis, padahal mereka biasanya mengeksploitasi pegawai seperti layaknya mesin cetak kapital. Disamping itu mahasiswa juga tak kalah lelahnya karena menunggu dengan pembagian antrian yang tidak adil pula. Akhirnya malah belum transaksi. Apalagi dengan bertambahnya masalah yakni hilangnya beberapa kartu identitas mahasiswa. Sungguh ironis ketika terdapat instansi yang seharusnya mengusung kebaikan pelayanan birokrasi kemahasiswaan, satu pertanyaan yang justru muncul: kebaikan birokrasi macam apa ini ?.
No comments:
Post a Comment