Media Porno : Euforia Tubuh dalam Kapitalisme
Sebelum artikel ini dibaca saya menyampaikan sebuah apologi dari saya bagi semua teman-teman yang membaca artikel yang berisi gigauanku di waktu tidur, karena lagi-lagi saya mengusung tentang kapitalisme. Mungkin karena saat ini manusia bukan lagi makhluk yang mengendalikan uang melainkan manusia sudah benar-benar dikuasai atau dibodohi oleh uang dan modal. Namun di dalam sistem kapitalisme sendiri tidak sepenuhnya buruk, sosialisme yang dijunjung tinggi oleh Karl Marx sebagai penentangnya sendiripun tidak selamanya membela kaum buruh. Dapat diambil sebagai contoh LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) mereka sebenarnya tak ubahnya seperti kapitalis. Hanya memanfaatkan kaum termarginal untuk pengembangan akademis dan kekayaan mereka sendiri, sementara tidak memiliki dan menciptakan nilai-nilai sosial.
Pada paragraf ini saya akan mengeluarkan seluruh mimpi-mimpi saya semalam mengenai “Media Porno : Euforia Tubuh dan Kelamin dalam Kapitalisme”. Mengapa saya singgung media porno sebagai euforia (kesenangan yang berlebihan-red), karena saat ini hal ini sudah banyak terjadi. Pornografi atau bentuk pelegalan tubuh lainnya tentu memiliki banyak alasan lain yang sering digunakan masyarakat kapitalis untuk menopang aturan moral. Alasan tersebut antara lain : Tubuh dan seks diagung-agungkan sebagai bentuk sakral pengabdian kepada Tuhan (The Da Vinci Code, 2006), Tubuh dianggap sebagai seni dan kebudayaan, atau Tubuh sebagai kebebasan berekspresi. Menurut pendapat saya sendiri, alasan yang pertama adalah pemantik utama bagi turunan berikutnya. Para pelukis yang notabene dibesarkan dengan sebuah etika agama tertentu di Eropa yang mengagung-angungkan seks menjadikannya sebagai bentuk seni dan kebebasan berekspresi. Sehingga Dan Brown dalam bukunya yang berjudul The Da Vinci Code, seolah mengkritik etika ini dan teori keTuhanan yang ada di dalamnya, ujung-ujungnya Buku ini menjadi puncak kehebohan gereja-gereja Eropa tahun ini. Mungkin itu sedikit sejarah mengapa Pornografi diagungkan.
Dalam mitologi Semiotik yang menjadi titik-berangkat paham- paham keagamaan Abrahamik, Tuhan dengan keagungannya adalah yang tersembunyi dengan pakaian kemegahan. Maka, bukanlah sesuatu yang mengejutkan bila tubuh dengan pakaian yang menutupinya dalam paham keagamaan Abrahamik mencerminkan interioritas, dunia batin, dan ketersembunyian. Cara pandang inilah, saya kira, mewarnai pandangan dunia kaum Muslimin mengenai tubuh selama berabad-abad, dan paham keagamaan Abrahamik umumnya.
Perkembangan selanjutnya mengenai pemujaan tubuh, seiring dengan memuncaknya obsesi masyarakat akan nafsunya, hal ini dimanfaatkan oleh para kapitalis untuk mengeruk modal sebesar-besarnya dengan mendirikan media-media baik personal maupun franchise. Objek eksploitasinya memang bukan buruh atau petani miskin, melainkan WANITA. Sebenarnya wanita yang dieksploitasi bisa ditempatkan sebagai buruh suruhan atao pussy cat. Sementara bagi mereka yang menetang penegakan aturan moral antikapitalis ini tentunya orang-orang yang berkepentingan dengan libido dan kapitalis. Mereka menetangnya dengan dalih seni dan kebebasan. Dan celakanya lagi banyak rakyat Indonesia yang tak bisa menilainya sebagai seni, tak mengenyam pendidikan seni, kebanyakan mereka memandangnya sebagai sebuah nafsu. Untuk aturan semacam ini mereka perlu kebebasan lalu untuk aturan pergerakan dan kritik pemerintah justru tak kunjung bebas, jika merugikan pemerintah, gampang saja, tinggal dibreidel. Sebenarnya kebebasan milik siapa ? Apa jadinya jika kebebasan benar-benar berjalan ?
Mengenai libido dan wanita, kembali pada sejarah tubuh wanita di dalam ekonomi politik kapitalisme adalah sejarah pemenjaraannya sebagai tanda atau fragmen-fragmen tanda. Kapitalisme membebaskan tubuh wanita dari tanda-tanda dan identitas tradisionalnya (tabu, etiket, adat, moral, spritual) dan memenjarakannya di dalam ‘hutan rimba tanda-tanda’ yang diciptakannya sendiri sebagai bagian dari ekonomi politik kapitalisme.
Sementara para kapitalis memasang apologi bahwasanya manusia memang bersifat homo mechanicus yang mempunyai kemampuan kognitif untuk menata, menyaring stimulan yang diterimanya, jadi apapun pengaruh iklan kecantikan, wanita pun harus mampu menyaring, bukan malah menggilai produk, jadi jangan salahkan kapitalis. Tapi bukankah manusia juga homo valens? Yakni digerakan oleh hasrat ingin kaya, terkenal, tampir menarik dan berkuasa? Jadi siapa yang harus disalahkan?
Saturday, November 04, 2006
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment