Saturday, November 04, 2006
Sebelum artikel ini dibaca saya menyampaikan sebuah apologi dari saya bagi semua teman-teman yang membaca artikel yang berisi gigauanku di waktu tidur, karena lagi-lagi saya mengusung tentang kapitalisme. Mungkin karena saat ini manusia bukan lagi makhluk yang mengendalikan uang melainkan manusia sudah benar-benar dikuasai atau dibodohi oleh uang dan modal. Namun di dalam sistem kapitalisme sendiri tidak sepenuhnya buruk, sosialisme yang dijunjung tinggi oleh Karl Marx sebagai penentangnya sendiripun tidak selamanya membela kaum buruh. Dapat diambil sebagai contoh LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) mereka sebenarnya tak ubahnya seperti kapitalis. Hanya memanfaatkan kaum termarginal untuk pengembangan akademis dan kekayaan mereka sendiri, sementara tidak memiliki dan menciptakan nilai-nilai sosial.
Pada paragraf ini saya akan mengeluarkan seluruh mimpi-mimpi saya semalam mengenai “Media Porno : Euforia Tubuh dan Kelamin dalam Kapitalisme”. Mengapa saya singgung media porno sebagai euforia (kesenangan yang berlebihan-red), karena saat ini hal ini sudah banyak terjadi. Pornografi atau bentuk pelegalan tubuh lainnya tentu memiliki banyak alasan lain yang sering digunakan masyarakat kapitalis untuk menopang aturan moral. Alasan tersebut antara lain : Tubuh dan seks diagung-agungkan sebagai bentuk sakral pengabdian kepada Tuhan (The Da Vinci Code, 2006), Tubuh dianggap sebagai seni dan kebudayaan, atau Tubuh sebagai kebebasan berekspresi. Menurut pendapat saya sendiri, alasan yang pertama adalah pemantik utama bagi turunan berikutnya. Para pelukis yang notabene dibesarkan dengan sebuah etika agama tertentu di Eropa yang mengagung-angungkan seks menjadikannya sebagai bentuk seni dan kebebasan berekspresi. Sehingga Dan Brown dalam bukunya yang berjudul The Da Vinci Code, seolah mengkritik etika ini dan teori keTuhanan yang ada di dalamnya, ujung-ujungnya Buku ini menjadi puncak kehebohan gereja-gereja Eropa tahun ini. Mungkin itu sedikit sejarah mengapa Pornografi diagungkan.
Dalam mitologi Semiotik yang menjadi titik-berangkat paham- paham keagamaan Abrahamik, Tuhan dengan keagungannya adalah yang tersembunyi dengan pakaian kemegahan. Maka, bukanlah sesuatu yang mengejutkan bila tubuh dengan pakaian yang menutupinya dalam paham keagamaan Abrahamik mencerminkan interioritas, dunia batin, dan ketersembunyian. Cara pandang inilah, saya kira, mewarnai pandangan dunia kaum Muslimin mengenai tubuh selama berabad-abad, dan paham keagamaan Abrahamik umumnya.
Perkembangan selanjutnya mengenai pemujaan tubuh, seiring dengan memuncaknya obsesi masyarakat akan nafsunya, hal ini dimanfaatkan oleh para kapitalis untuk mengeruk modal sebesar-besarnya dengan mendirikan media-media baik personal maupun franchise. Objek eksploitasinya memang bukan buruh atau petani miskin, melainkan WANITA. Sebenarnya wanita yang dieksploitasi bisa ditempatkan sebagai buruh suruhan atao pussy cat. Sementara bagi mereka yang menetang penegakan aturan moral antikapitalis ini tentunya orang-orang yang berkepentingan dengan libido dan kapitalis. Mereka menetangnya dengan dalih seni dan kebebasan. Dan celakanya lagi banyak rakyat Indonesia yang tak bisa menilainya sebagai seni, tak mengenyam pendidikan seni, kebanyakan mereka memandangnya sebagai sebuah nafsu. Untuk aturan semacam ini mereka perlu kebebasan lalu untuk aturan pergerakan dan kritik pemerintah justru tak kunjung bebas, jika merugikan pemerintah, gampang saja, tinggal dibreidel. Sebenarnya kebebasan milik siapa ? Apa jadinya jika kebebasan benar-benar berjalan ?
Mengenai libido dan wanita, kembali pada sejarah tubuh wanita di dalam ekonomi politik kapitalisme adalah sejarah pemenjaraannya sebagai tanda atau fragmen-fragmen tanda. Kapitalisme membebaskan tubuh wanita dari tanda-tanda dan identitas tradisionalnya (tabu, etiket, adat, moral, spritual) dan memenjarakannya di dalam ‘hutan rimba tanda-tanda’ yang diciptakannya sendiri sebagai bagian dari ekonomi politik kapitalisme.
Sementara para kapitalis memasang apologi bahwasanya manusia memang bersifat homo mechanicus yang mempunyai kemampuan kognitif untuk menata, menyaring stimulan yang diterimanya, jadi apapun pengaruh iklan kecantikan, wanita pun harus mampu menyaring, bukan malah menggilai produk, jadi jangan salahkan kapitalis. Tapi bukankah manusia juga homo valens? Yakni digerakan oleh hasrat ingin kaya, terkenal, tampir menarik dan berkuasa? Jadi siapa yang harus disalahkan?
KETIDAKPROFESIONALAN PETUGAS DAN SISTEM HEREGISTRASI UGM 2006
Pelayanan heregistrasi mahasiwa UGM semester gasal tahun ajaran 2006/ 2007, ternyata masih membuahkan banyak keluhan dari mahasiswa UGM sendiri. Keluhan itu terutama berasal dari mahasiswa yang mendapatkan bantuan keringanan. Ketidakrofesionalan birokrasi masih saja menjadi kebiasaan instansi yang seharusnya menjunjung profesionalisme ini. Ketidakprofesionalan berawal dari tempat pembayaran bagi penerima bantuan keringanan yang hanya diperbolehkan disatu tempat yakni tempat C. Heregistrasi seharusnya bisa dilakukan pada 15 tempat. Jadi penerima beasiswa yang akan membayar di tempat A harus dilempar ke tempat C tanpa pemberitahuan sebelumnya. Padahal mahasiswa tersebut sudah cukup lama antri di tempat A. Tidak seperti semester genap sebelumnya, bagi semua mahasiswa boleh membayar di tempat-tempat yang disediakan.
Ketidakprofesionalan selanjutnya berasal dari proses pembayaran yang diterapkan. Proses pembayaran yang seharusnya lebih efektif dilakukan dengan satu kali antri saja malah dilakukan dua kali proses. Proses pembayaran tahap pertama mewajibkan mahasiswa untuk antri mengumpulkan kartu tanda mahasiswa atau identitas lainnya. Kemudian dilakukan pengecekan kembali terhadap bantuan yang diperoleh. Proses ini memakan waktu cukup lama. Selanjutnya proses pembayaran tahap kedua dilaksanakan untuk memanggil nama mahasiswa yang telah mengumpulkan identitas pada proses sebelumnya dan transaksi baru bisa dilakukan. Proses tahap dua lagi-lagi memakan waktu berjam-jam. Ini tentunya tidak efisien apalagi pemanggilan nama mahasiswa pada proses kedua dilaksanakan secara tidak urut. Seharusnya mahasiswa yang mengantri lebih awal di antrian tahap pertama bisa melakukan transaksi lebih awal pula pada proses kedua. Tetapi kenyataannya justru lain, mahasiswa yang diutamakan justru mahasiswa yang datang lebih akhir di antrian tahap pertama. Proses pembayaran ini akan lebih efektif jika dilakukan dengan satu kali antri saja. Jadi jelas siapa yang datang awal langsung antri, membawa identitas sendiri dan melaksanakan transaksi. Petugas tidak perlu kerepotan memanggil satu persatu mahasiswa, selain itu mahasiswa juga tak banyak membuang waktu. Dengan proses pembayaran tahap dua yang sangat tidak adil tadi berakibat bahwa mahasiswa yang mengantri di tahap pertama sejak jam sembilan pagi justru belum transaksi. Padahal mahasiswa yang antri tahap pertama pada jam tiga sore sudah selesai transaksi. Hingga saat ini saya belum bisa menangkap maksud birokrasi yang berbelit-belit ini. Profesionalisme macam apa ini ?.
Proses heregistrasi ini berlangsung sejak pukul delapan pagi hingga pukul tujuh malam. Itupun belum semua mahasiswa yang telah mengantri pada proses pertama melaksanakan transaksi pembayaran. Termasuk saya sendiri yang belum dipanggil padahal saya telah mengalami antrian tahap pertama sejak pukul sepuluh pagi hingga jam tujuh malam. Ketika dikonfirmasi lagi ternyata kartu tanda mahasiswa yang telah saya kumpulkan pada antrian tahap pertama hilang. Hilangnya kartu tanda mahasiswa ini bukan saya saja yang mengalami tetapi juga beberapa rekan mahasiswa yang lain. Namun mahasiswa yang belum bertransaksi dipersilahkan untuk kembali esok harinya karena loket pembayaran sudah tutup. “Akan ada loket khusus untuk melayani mahasiswa yang belum transaksi. Memang harusnya bank sudah tutup sejak jam tiga sore tadi, tapi ini sudah jam berapa ? Para kasir tentu sudah kelelahan mbak! dari tadi belum istirahat! “, ujar seorang petugas. Alasan ini terlalu naif untuk diuangkapkan. Siapa yang peduli kasir merasa lelah ? Toh kasir memang dibayar untuk semua kelelahan mereka. Pihak bank sendiri sebagai mesin kapitalis dirasa terlalu naif untuk memikirkan karyawannya dari sisi humanis, padahal mereka biasanya mengeksploitasi pegawai seperti layaknya mesin cetak kapital. Disamping itu mahasiswa juga tak kalah lelahnya karena menunggu dengan pembagian antrian yang tidak adil pula. Akhirnya malah belum transaksi. Apalagi dengan bertambahnya masalah yakni hilangnya beberapa kartu identitas mahasiswa. Sungguh ironis ketika terdapat instansi yang seharusnya mengusung kebaikan pelayanan birokrasi kemahasiswaan, satu pertanyaan yang justru muncul: kebaikan birokrasi macam apa ini ?.
Ospek : Hegemoni Premanisme dalam Tubuh Intelektual Mahasiswa
Tak dapat dipungkiri, budaya kekerasan telah mendarah daging pada jiwa masyarakat Indonesia, sejak zaman kolonial, dengan munculnya sistem kerja Rodi, Romusha, hingga zaman pemerintahan orde baru dan reformasi seperti saat ini meski intensitasnya makin berkurang. Mungkin karena kekerasan yang selalu ditanamkan sehingga bukan lagi isapan jempol ketika elite politik melakukan kekerasan untuk menumbangkan lawannya. Kekerasan identik dengan dua hal yakni keberanian dan kekuasaaan. Sehingga jika ditinjau kembali masa orientasi kampus, yang telah menghalalkan terjadinya kekerasan fisik berujung pada senioritas. Dari tradisi-tradisi kekerasan semacam inilah kemudian berlaku dalil ahli politik Inggris, Lord Acton, kekuasaan cenderung koruptif. Jatuhlah korban jiwa tewas, luka, atau trauma berkepanjangan akibatnya proses ini akan terus terulang. Mahasiswa baru kelak menjadi mahasiswa senior dapat "membalas dendam" perlakuan senior mereka terhadap mahasiswa baru pada awal tahun kuliah berikutnya. Seperti halnya dikemukakan oleh Max Weber yang menyatakan adanya hubungan dekat antara kekuasaan dan kekerasan. Kekerasan dipakai sebagai cara manusia melaksanakan dan memperbesar kekuasaan. Dalam hal ini senioritas yang terjadi pada ritual ospek.
Ketika kita kembali pada esensi utama mahasiswa sebagai kaum intelektual, saat ini yang diperlukan adalah bagaimana semua pihak berpikir untuk mengubah pola orientasi dari pola kekerasan fisik ke pola yang lebih baik, seperti peningkatan sumber daya mahasiswanya. Memang secara global, seperti yang dikemukakan Mahi. M. Hikmat, dosen IAIN Bandung, dalam tulisannya mengenai kekerasan, bahwa pembinaan militerisasi yang demikian dapat menghasilkan jutaan manusia yang tangguh, dan berhasil. Perlu keberanian untuk membangun mental. Namun saat ini bukan masalah berani atau tidak berani, tapi secepatnya budaya kekerasan harus dihentikan dan paling tidak diminimalisir, jika kegiatan yang berdaur ulang ini terus terjadi akan semakin banyak berjatuhan korban dan lagi-lagi esensi kekerasan itu sendiri masih dipertanyakan.
Bentrokan yang terjadi antara Fakultas ISIPOL dan Fakultas Kehutanan UGM pada tahun 2003 silam yang menyebabkan banyaknya korban berjatuhan. Begitu pula yang terjadi dengan meninggalnya praja STPDN dan STTAD bulan lalu karena pembantaian yang dilakukan seniornya. Dari hal-hal tersebut perlu ditinjau kembali apakah ospek masih mempunyai manfaat terhadap masa depan akademis mahasiswa. Perlu ditekankan kembali bahwa ospek sebagai wahana pengenalan mahasiswa terhadap dunia idealisme dan intelektualitas. Maka ospek sebaiknya tidak mengarahkan mahasiswa sebagai bibit-bibit unggul dari pengerasan dan kekerasan. Konsistensi mahasiswa perlu dipertegas dalam perjuangan penegakan nilai-nilai demokrasi, mempertajam pemahaman khususnya bagi mahasiswa dan umumnya masyarakat terhadap hakikat kemanusiaan, demokrasi, dan nilai-nilai humanisme sebagai fundamen perjuangan reformasi.
Mahasiswa adalah kaum yang dipersiapkan untuk bernalar sekaligus calon pemimpin bangsa yang sangat diharapkan menjadi pengawal kehidupan berbangsa ke depan. Namun jika hal ini telah mendarah daging dalam tubuh intelektual mahsiswa, marilah kita melihat kembali pada kekerasan yang dilakukan elite politik di era sebelumnya, apa jadinya jika calon pembangun bangsa ini dididik dengan kekerasan ? masihkah perlu ?
Mengapa aspek pemikiran kurang dieksplorasi dalam membangun dinamika kampus? Padahal penguatan aspek pemikiran dalam dunia kampus menjadi ajang kreativitas berpikir secara kritis dalam menyikapi berbagai persoalan bangsa, mengapa justru asyik bemain dengan kekerasan ?.
Meski dari tahun ke tahun ospek mengalami berbagai dinamika, ospek tak pernah disinggung sama sekali dalam peraturan dan perundangan kependidikan. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan Peraturan Pemerintah No 30/1990 tentang Pendidikan Tinggi tak satu kali pun memuat kata ospek mahasiswa baru. Artinya, ospek memang tidak menjadi bagian strategis penting proses pendidikan.
Namun ospek perlu dipertahankan dengan beberapa syarat. Pertama, lebih dikembangkan semangat memperkenalkan dunia kampus berikut penyesuaian masing-masing. Kedua, jauhkan ospek sebagai ajang ekspresi impulsi-impulsi kekerasan. Ketiga, agar syarat pertama dan kedua terselenggara, mestilah rektor berikut perangkat di bawahnya bertanggung jawab dan mengoordinasi langsung ospek di kampus masing-masing. Sudah saatnya dikembangkan cara berpikir yang mebih edikatif mengenai ospek. (tw)